Setelah diguyur hujan semalaman di Desa Gintu, pagi ini terlihat cukup cerah di Lembah Bada. Kami sarapan mie goreng plus telur di warung makan Barokah, setelahnya bergegas menuju Desa Tuare, desa paling barat di Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, tempat kegiatan mo'hangu akan berlangsung beberapa saat lagi.
Sisa basah hujan semalam masih terlihat di pagi akhir November 2021 ini. Kami melintas jembatan panjang, membelah Sungai Lariang yang menggelora, sungai terbesar di Lembah Bada sekaligus terpanjang di Sulawesi.Â
Sungai yang berhulu di pegunungan-pegunungan hijau dalam lanskap Lore Lindu di Sulawesi Tengah, kemudian alirannya bermuara sampai di Selat Sulawesi, Sulawesi Barat.
Lembah Bada dengan ketinggian 700--800 meter di atas permukaan laut, merupakan dataran tinggi yang berada di Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan, Kabupaten Poso.Â
Lembah ini dikelilingi oleh hutan-hutan pegunungan Taman Nasional Lore Lindu di bagian utara dan barat serta hutan lindung di bagian selatan dan timur.
Baca juga: Berjumpa Loga di Bada
Dari Palu, Lembah Bada dapat ditempuh sekitar sepuluh jam perjalanan darat yang santai, dengan jarak tempuh lebih dari 300 kilometer.Â
Perjalanan dari Palu dengan kondisi jalan yang cukup baik, dan akan melewati daerah-daerah yang cukup legendaris di Sulawesi Tengah, seperti Kota Poso dan Tentena. Dalam perjalanan, kita pun dapat melihat lanskap Danau Poso yang mempesona.
Dari Desa Gintu menuju Tuare, menggunakan mobil kami menyusuri jalan yang baik walaupun tidak beraspal mulus.Â
Di kiri kami tampak Lariang coklat berbuih-buih menampung aliran deras sisa-sia air hujan semalam. Sedangkan di sebelah kanan, kebun-kebun coklat berseling dengan kebun campur. Sesekali tersembul latar hutan hijau berkabut nan megah, itulah kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Taman Nasional Lore Lindu sendiri merupakan salah satu kawasan konservasi terluas di Pulau Sulawesi, menjadi bagian zona inti dari Cagar Biosfer Lore Lindu yang ditetapkan sejak 1977 oleh UNESCO.Â
Cagar biosfer merupakan kawasan yang dikelola dengan tujuan mengharmonikan antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi yang berkelanjutan.
Tak sampai setengah jam, kami tiba di pusat Desa Tuare. Aroma asam menyengat hidung kami, dari hamparan biji coklat yang mulai dijemur di tepi-tepi jalan. Sementara itu, puluhan sepeda motor terus saja melaju dari arah timur menuju barat desa.
Hari ini, kami akan mengunjungi panen perdana dari sebuah kolam tradisional di Desa Tuare. Masyarakat Bada menyebut tradisi ini sebagai mo'hangu, yaitu sebuah tradisi khas Lembah Bada dalam memanen ikan dengan menggunakan peralatan tradisional.
Itulah kenapa, motor-motor yang melintas tadi, hampir semuanya mengikat atau menenteng semacam kurungan dari bambu, yang sesungguhnya alat untuk menangkap ikan.
"Pak, mari kita kumpul dulu di balai desa. Ada sedikit sambutan singkat untuk bapak-bapak," tiba-tiba Ithong, kawan kami yang asli Bada membisiki saya. Kami pun tentu menurut saja.
Di balai desa, ternyata telah menunggu beberapa orang dengan menggunakan pakaian adat. Tak berapa lama setelah kami dipersilakan duduk, kami berlima yang bukan asli Bada ini, diminta untuk berdiri di depan. Majulah lima tetua adat saling berhadapan dengan kami satu-satu.
Di tangan kanan para tetua adat, terpegang erat sekeranjang kecil beras yang di atasnya tertahta lima buah telur bebek. Sementara di tangan kiri mereka mendekap masing-masing satu ekor ayam kampung.
Dengan menggunakan bahasa lokal yang sesungguhnya tidak kami mengerti, salah seorang dari mereka berucap sesuatu.Â
Setelahnya, kami diminta untuk memegang keranjang dan ayam tadi, kemudian memakan sejumput beras yang ada di hadapan kami tersebut.
"Ritual tadi kami sebut metinuwu'i, yaitu semacam ritual keselamatan bagi para tamu atau pendatang dari Bada," ujar Daemas Mendai, salah satu tetua adat yang terlihat paling tua.
Keluar balai desa, motor-motor telah menunggu. Kami akan ke area Tambaga, sebuah tempat di tepi Sungai Lariang, sekitar tiga kilometer lagi dari desa.Â
Di sinilah Leonard Baturu [39] beserta masyarakat Tuare, bahu membahu menghidupkan kembali sebuah kolam pemancingan tradisional desa yang telah lama terbengkalai.
Leonard menjabat Ketua Lembaga Pengelola Konservasi Desa [LPKD] Tuare, sebuah lembaga yang bertujuan menjadi payung dan penggerak utama dalam setiap usaha konservasi yang dilakukan di tingkat desa, yang bersentuhan langsung dengan TN Lore Lindu maupun lingkungan sekitar desa.
Salah satu kegiatan LPKD Tuare ini adalah menghidupkan kembali kolam pemancingan ikan yang dulu digunakan masyarakat desa secara tradisional. "Kami menyebutnya wuhu, dalam bahasa Lore berarti kolam," terang Leonard beberapa waktu sebelumnya.
Baca juga: Ke Bada Lagi, Berjumpa Arca-Arca Megalitik Nan Misterius
---
Sekitar sepuluh menit dibonceng, akhirnya kami tiba di area Tambaga. Ratusan partisipan dalam mo'hangu ini ternyata telah menunggu. Lelaki, perempuan, pemuda, orang tua, maupun anak-anak semua berhambur campur.
Sebelum ke Bada ini, kami mendapatkan penjelasan bahwa mo'hangu dalam bahasa Lore di Bada, berasal dari dua kata.Â
Mo' berarti melakukan sesuatu dan hangu merujuk pada suatu nama alat untuk menangkap ikan yang terbuat dari bambu. Sehingga sejatinya kata mo'hangu bermakna usaha menangkap ikan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari bambu.
Bagi masyarakat Bada, kegiatan mo'hangu merupakan suatu tradisi yang masih diwariskan sampai saat ini.
Kegiatan mo'hangu biasanya dilakukan secara perorangan untuk mendapatkan kebutuhan lauk pauk bagi keluarga, tetapi juga seringkali  dilakukan secara komunal pada acara-acara tertentu.
Mo'hangu secara komunal biasanya dilakukan menjelang akhir tahun di suatu tempat atau kolam  alami milik desa dengan melibatkan desa-desa tetangga.
Melewati sedikit kerumunan masyarakat di jalan setapak, kami akhirnya tiba di tepi kolam. Sebagai tamu undangan, kami dipersilakan menuju sabua atau tempat berteduh kecil, yang terbuat dari panggung kayu, tepat di tengah kolam. Sabua ini dihubungkan dengan jalan dari papan-papan yang bersambung sebagai jembatan.
Kanan kiri saya tampak air kolam jernih bercampur dengan beberapa rerumputan liar yang masih tersembul dari dasar kolam. Tampak ikan-ikan nila sebesar telapak tangan berseliweran. Sesekali ikan mas merah melintas. Wah, pasti ramai ini nanti.
Sekitar pukul sembilan pagi, setelah pembacaan doa dan sedikit seremoni, akhirnya aba-aba berkumandang. Para peserta segera berhambur memasuki area kolam.
Hanya dua alat tangkap yang diperkenankan untuk digunakan, yaitu hangu dan pehao. Hangu berbentuk semacam kurungan terbuat dari bambu, berdiameter sekitar 50cm.Â
Alat ini digunakan oleh peserta laki-laki. Untuk wanita atau ibu-ibu, mereka menggunakan pehao, semacam saringan keranjang yang juga terbuat dari bambu dengan diameter hampir sama, sekitar 50cm.
Beberapa hari sebelum mo'hangu ini dimulai, para calon peserta diminta untuk membayar semacam tiket. Penggunaan satu hangu diharuskan membayar 100 ribu rupiah, sedangkan pehao 50 ribu rupiah. Tiket ini dibayarkan kepada pengelola kolam sebagai pihak yang mengelola dan memelihara ikan di kolam tersebut.
Satu buah hangu dapat dipakai oleh berapa orang. Namun umumnya yang datang merupakan keluarga dan anak-anak muda.Â
Berbekal hangu atau pehao, ditambah karung kecil tempat menampung ikan hasil tangkapan nantinya, mereka akhirnya turun setelah aba-aba tadi berkumandang.
Perbauran lelaki perempuan tua muda anak-anak pun terjadi. Mereka bergerak secara serentak dari tepi kolam secara bersamaan, menuju tengah kolam sambil menghunjam-hunjamkan hangu mereka ke dalam air.
Air kolam yang semula jernih pun tak seberapa lama berubah menjadi kehitaman. Lumpur telah naik bercampur aduk.
"Biasa di awal masih susah mendapatkan ikan, tapi nanti setelah sekitar satu jam, biasanya baru mulai ramai peserta mendapatkan ikan karena ikan telah mabuk dengan kondisi kolam yang keruh teraduk-aduk," jelas Ithong kepada saya.
Setengah jam berlalu, kemudian beberapa peserta mulai berteriak, menandakan sudah mendapatkan ikan. Satu per satu teriakan makin menjadi dari sepenjuru kolam.
Dengan meminjam hangu teman, saya pun penasaran ikut menceburkan diri ke kolam yang airnya secara umum hanya sebatas paha. Berkali-kali hangu saya hunjamkan ke dalam air keruh di depan dan samping saya.
Beberapa peserta mengatakan, ketika hangu dihunjamkan dan terdapat ikan terperangkap, maka hentakan ikan yang berontak ingin keluar dari hangu akan terasa. Itulah tandanya. Namun apa mau dikata, setelah hampir satu jam mencoba peruntungan, tak satu pun ikan yang saya peroleh dari hangu saya.
Hampir tengah hari, namun matahari tidak terlalu menyengat panas. Satu per satu peserta menunjukkan hasilnya. Karung-karung mereka mulai terisi. Ada pula yang hanya menggantung ikan hasil tangkapan dengan untaian tali hutan.
Beragam ikan mereka peroleh, mulai dari ikan nila dan mas, sampai belut. Bahkan konon ada ular juga. Ikan terbesar yang kami catat sampai seberat satu setengah kilogram.
"Kami cukup puas. Sebanyak 200 lebih tiket kami terjual. Mungkin ada sekitar 300 orang berpartisipasi saat ini," jelas Leonard bersemangat. "Para peserta termasuk dari desa-desa sekitar Tuare, seperti Gintu, Lengkeka, Tomehipi, dan Kageroa."
"Hasil dari mo'hangu ini akan kami kembangkan dan gulirkan lagi. Sebagian akan kami gunakan untuk mengisi kolam dengan ikan kembali, sebagian lagi akan kami putar untuk usaha lain yang produktif. Mudah-mudahan ke depan, mo'hangu ini juga dapat menjadi potensi menarik untuk pariwisata," dengan penuh semangat, Leonard menjelaskan.
Bagi kami, menyaksikan sebuah tradisi khas suatu daerah sudah cukup luar biasa. Walaupun saya tidak mendapatkan ikan, tapi bisa bergabung dan merasakan kebersamaan dalam tradisi unik ini, merupakan suatu kehormatan.
Sebelum kembali ke Gintu, kami disuguhi makan siang. Ya, tentu dengan ikan dari kolam ini yang telah ditangkap sebelum acara mo'hangu dilakukan pagi tadi. Ikan segar selalu terasa enak. Ketika kami pergi meninggalkan kolam, para peserta kembali bergiat setelah istirahat juga. Kolam kembali ramai.
"Bukan sekedar ikan yang ingin kami dapat. Kami cukup senang banyak masyarakat dan teman-teman berkumpul di sini. Biasanya juga nanti, hasil yang kami peroleh akan kami bagi-bagikan kepada tetangga di rumah," terang Ithong.
Semoga penghidupan kembali tradisi warisan mo'hangu di lembah ini, tidak saja terus mempererat persaudaraan dan kebersamaan masyarakat, namun juga bermanfaat secara ekonomi, serta menjadi komitmen masyarakat Bada untuk terus menjaga hutan dan lembah mereka yang indah ini. *
Catatan: sebagian narasi dalam naskah ini, khususnya mengenai makna mo'hangu, disampaikan oleh Robby Tungka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H