Para pembuat perahu akan memahat dan membentuk perahu ini sedemikian rupa, hanya dengan peralatan kapak dan parang.
Saat ini, sudah mulai banyak perahu yang tidak lagi terbuat dari kayu utuh. Mereka menggunakan papan-papan kayu, seperti membuat perahu-perahu biasa lainnya.Â
Tak lain penyebabnya karena ketidak-tersediaan kayu utuh yang cukup besar lagi di hutan, atau pun demi kepraktiksan saja. Papan lebih mudah tersedia di pasaran desa.
Selat Larat, walaupun sangat sempit, namun sesungguhnya merupakan selat yang konon sedalam lebih dari 20 meter.Â
"Lihat kakak, air biru begitu berarti dalam," kata kawan saya dari Lelingluan. Tak heran, beberapa kapal besar baik kapal barang maupun penumpang singgah di pelabuhan ini.
Selat ini merupakan penghubung antara Laut Banda di sisi barat Yamdena dengan Laut Arafura di sisi timur.Â
Jalur itu juga merupakan jalan pintas yang menghubungkan kapal-kapal dari sisi barat ke timur Yamdena maupun sebaliknya, daripada mereka harus memutari Pulau Larat.
Satu kali ketika kami bertiga mengunjungi Desa Lelingluan, kami bertiga. Salah satu teman kami memiliki bobot tubuh yang lumayan besar, lebih dari 100 kilogram. Nah, kami pun memutuskan untuk jalan-jalan sekitar desar dengan kole-kole ini, menyusuri Selat Larat.
Beberapa sisi sekitar pesisir Desa Lelingluan memang masih merupakan hamparan karang-karang dangkal yang indah.Â
Pemandangan ini masih cukup indah bahkan hanya dilihat dari atas permukaan laut, di atas kole-kole yang kami tumpangi ini hanya dengan menengoknya saja.