Tahun 2005 Kepulauan Tanimbar, Maluku.
Pagi yang sudah memanas, saya masih berdiri mematung di pinggir dermaga, memandang permukiman di sisi barat yang tak jauh di depan. Dermaga tampak sepi, tidak ada kapal besar, kecuali beberapa kapal ikan yang diparkir sembarangan.
Di sisi kiri dermaga, terlihat beberapa perahu kecil parkir berjajar. Beberapa orang duduk di dalam perahu tersebut, seperti menunggu sesuatu atau seseorang.
Semenit kemudian, datang perahu kecil yang mirip dengan banyak perahu yang diparkir tadi, merapat tepat di sela-sela jajaran perahu tadi.
Beberapa orang di dalam perahu yang baru datang tadi segera berjalan hati-hati antar perahu dan menjejakkan kaki di beton tangga dermaga.
Mereka memberikan sejumlah uang kepada seseorang yang sepertinya pemilik atau pembawa perahu yang baru datang tadi.Â
Ah, ini dia rupanya, angkutan penumpang antar desa itu yang mengantarkan masyarakat dari pelabuhan Larat tempat saya berdiri, ke Desa Lelingluan yang berada di ujung Pulau Yamdena, permukiman di seberang sana.
Larat adalah nama pulau sekaligus permukiman ibu kota Kecamatan Tanimbar Utara di Kepulauan Tanimbar, Maluku.Â
Kepulauan Tanimbar sendiri merupakan bagian dalam Busur Banda (Banda Arc) yang menakjubkan, yaitu busur vulkanik yang aktif dan sangat kompleks dengan formasi geologi melengkung 180 derajat di Kepulauan Maluku (wikipedia.org).
Pulau Larat sendiri terdiri dari beberapa desa, dan dermaga tempat saya berdiri ini berada di Desa Ritabel. Daerah kecil ini ramai dengan pertokoan segala rupa, pusat perekonomian di sekitarnya.Â
Ketika saya berkunjung pertama ke daerah ini pada 2005 silam juga telah terdapat beberapa penginapan.
Dermaga di pelabuhan Larat memang dapat menjadi tempat untuk sekedar "hiburan" melihat aktivitas masyarakat dengan lanskap yang cukup luas.Â
Saya sendiri akan menuju ke Desa Lelingluan, mencari kepala desa untuk menyampaikan rencana kegiatan kami terkait pelestarian keanekaragaman hayati di Kepulauan Tanimbar ini.
Saya segera beranjak menuju parkiran perahu-perahu kecil tadi.
"Lelingluan?" Tanya saya kepada seseorang di perahu yang sudah terdapat beberapa orang tadi, yang ternyata adalah calon-calon penumpang.
"Iya," jawab salah seorang mereka.Â
Perahu segera oleng ketika saya menjejaki kaki di dalam ceruknya. Penumpang lain tenang, saya yang gelagapan.
Setelah sekitar hampir sepuluhan penumpang, operator kapal segera mendorong perahu dengan tongkat panjang, lepas dari kumpulan perahu-perahu lain, menghidupkan mesin ketinting yang diletakkan di belakang, dan perahu pun meluncur pelan akhirnya makin kencang.
Saya duduk di salah satu papan yang tersedia memang untuk para penumpang. Sisi perahu saya genggam erat, inilah perahu kole-kole, khas Maluku dan Papua, perahu tanpa cadik yang terkenal lincah.
Jarak Larat ke Lelingluan hampir 500 meter. Perahu kami pun segera membelah Teluk Larat dalam sekejap, tak sampai lima menit telah sampai ke Desa Lelingluan.Â
Perahu sandar di salah satu dermaga kecil dan kami pun turun semua. Tentu setelahnya membayar ongkos.
---
Bagi saya yang tidak pandai berenang, naik perahu kole-kole memiliki ketegangan sendiri.Â
Saya seakan-akan harus mematung tidak bergerak selama di perahu padahal harusnya santai saja. Karena saya tahu, ketika saya bergerak ke kanan atau kiri, perahu pun akan ikut oleng ke arah tersebut.
Ukuran kole-kole cukup beragam, dari yang kecil sekitar dua meteran sampai yang lebih dari lima meteran.Â
Di Kepulauan Tanimbar ini, kole-kole seperti kendaraan pribadi, hampir semua keluarga memilikinya.Â
Bagi keluarga yang lebih berkecukupan, mereka menempeli perahu ini dengan ketinting sebagai mesin penggerak, namun masih banyak juga yang hanya cukup mendayung.
Sebagian besar kole-kole biasanya digunakan sebagai perahu angkut kecil untuk jarak dekat.Â
Perahu tersebut memang sangat pas untuk menyusuri sungai-sungai kecil. Beberapa digunakan juga untuk mencari ikan, namun umumnya untuk jarak-jarak yang tidak terlalu jauh pula.
Menurut Bapak Bambe, tetua adat di Lelingluan tempat saya menginap, dahulu kole-kole umumnya dibuat dari kayu utuh yang diambil di hutan.Â
Para pembuat perahu akan memahat dan membentuk perahu ini sedemikian rupa, hanya dengan peralatan kapak dan parang.
Saat ini, sudah mulai banyak perahu yang tidak lagi terbuat dari kayu utuh. Mereka menggunakan papan-papan kayu, seperti membuat perahu-perahu biasa lainnya.Â
Tak lain penyebabnya karena ketidak-tersediaan kayu utuh yang cukup besar lagi di hutan, atau pun demi kepraktiksan saja. Papan lebih mudah tersedia di pasaran desa.
Selat Larat, walaupun sangat sempit, namun sesungguhnya merupakan selat yang konon sedalam lebih dari 20 meter.Â
"Lihat kakak, air biru begitu berarti dalam," kata kawan saya dari Lelingluan. Tak heran, beberapa kapal besar baik kapal barang maupun penumpang singgah di pelabuhan ini.
Selat ini merupakan penghubung antara Laut Banda di sisi barat Yamdena dengan Laut Arafura di sisi timur.Â
Jalur itu juga merupakan jalan pintas yang menghubungkan kapal-kapal dari sisi barat ke timur Yamdena maupun sebaliknya, daripada mereka harus memutari Pulau Larat.
Satu kali ketika kami bertiga mengunjungi Desa Lelingluan, kami bertiga. Salah satu teman kami memiliki bobot tubuh yang lumayan besar, lebih dari 100 kilogram. Nah, kami pun memutuskan untuk jalan-jalan sekitar desar dengan kole-kole ini, menyusuri Selat Larat.
Beberapa sisi sekitar pesisir Desa Lelingluan memang masih merupakan hamparan karang-karang dangkal yang indah.Â
Pemandangan ini masih cukup indah bahkan hanya dilihat dari atas permukaan laut, di atas kole-kole yang kami tumpangi ini hanya dengan menengoknya saja.
Saking takjub, kawan kami ini dengan penuh antusias menengok ke kanan kiri kapal seenaknya saja.
"Wah ini bagus sekali," sahut dia tiba-tiba sambil menjulurkan kepala bersama badannya ke arah kanan.Â
Sontak kapal terguncang dan secara refleks kami mencondongkan badan ke arah kiri untuk menyeimbangkan perahu.
Jadi sesungguhnya apa yang dia tunjukkan tak pernah kami lihat, karena tak mungkin ketika dia miring ke satu sisi, kami pun ikut miring ke sisi tersebut, bisa-bisa terbalik kole-kole kami.
Pengalaman paling mengasyikkan bagi saya dengan kole-kole adalah ketika Bapak Bambe dari Lelingluan tadi, mengajak saya untuk berkunjung ke kebunnya.Â
Kami bertiga menyusuri sisi Lelingluan kemudian masuk ke sungai kecil dengan kanan kiri hutan bakau.Â
Memasuki sungai kecil, mesin ketinting dimatikan oleh Bapak Bambe, kemudian beliau mulai mendayung.
Di sinilah damainya, tanpa suara mesin, menyusuri sungai kecil, hening hanya gemercik suara air sungai tertoreh dayung.Â
Akhirnya kami berhenti di kebun milik Bapak Bambe, membantu beliau mengambil umbi-umbian dan pisang sebagai bahan pangan harian mereka, kemudian kembali membawa penuh hasil kebun tersebut dengan kole-kole tadi.
Ya, seperti itulah umumnya kole-kole ini banyak digunakan oleh masyarakat Tanimbar dan Maluku secara umum.Â
Tua muda anak-anak, laki perempuan, semua sangat fasih mengendalikan kole-kole. Saya, tetap gemetaran.
Terima kasih untuk Bapak Bambe dan Mama Tis, orang tua saya di Lelingluan.Â
Mama Tis yang sangat baik dan selalu menganggap saya anak lelaki bungsunya.Â
Rest in peace mama. Sedih sekali saya tidak pernah berkunjung kembali ke sana.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H