Rancire menekankan pandanganya terhadap demokrasi sebagai praktik subjektivasi---dalam konteks politik hal tersebut dapat dimaknai sebagai suatu selain organisasi kesatuan-kesatuan kelompok dan tata kelola tempat-tempat, kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi.
Lebih, jelas Rancire mengandaikan bahwa subjektivasi merupakan perselisihan tanpa henti; berangkat dari suatu pengandaian kemampuan terhadap akalbudi. proses tersebut berupaya mempertanyakan serta mengganggu dominasi tatanan sosial sebagai ketidaksepakatan.Â
Artinya, Politik adalah upaya untuk membuka celah kemungkinan bahwa sesuatu yang tidak dihitung menjadi dihitung dalam tatanan sosial serta memiliki kesinambungan yang kontingen pada beberapa subjek-subjek lainnya.Â
Pada, makna yang mendasar Politik [(P besar) bagi marxisme ialah Revolusi] mendapat makna seutuhnya sebagai upaya mempertanyakan ulang logika arkhe[1] dan tatanan sosial dominan. Lantas, Rancire memberikan istilah yang-politis untuk merujuk terhadap arena yang menjadi perselisihan antara logika Politik dengan logika tatanan sosial. Baginya, perselisihan tersebut berfungsi memverifikasi arkhe sebagai fungsi kestabilan yang sesungguhnya. sebuah perselisihan tanpa henti; berangkat dari suatu pengandaian kemampuan.Â
Pandangan tersebut merupakan point of views yang mengritik cara berpikir idealisme Hegel (tentang roh absolute) dan Marxisme Orthodox (tentang masyarakat tanpa kelas) yang terjebak pada suatu telos historis.Â
Sedangkan Rancire mencoba memporak-porandakan bangunan filsafat lama yang terpaku dan bersifat ajek tersebut dengan memberikan suatu skema mengenai emansipasi yang bersifat setara sekaligus mempertahankan perselisihan.
Dalam tesis yang dirangkum untuk menyelesaikan studi S-2 filsafat di STF Â Driyarkara, Sri Indiyastutik atau yang akrab dipanggil Tuti berhasil merangkum pemikiran Jean Jacques Rancire dengan begitu lugas, terampil dan cermat.Â
Tuti menampilkan beberapa karya mahsyur Rancire termasuk menyandingkanya dengan beberapa wawancara via email langsung denga Ranciere. Â Salah satu yang menarik adalah intisari Tuti dalam menggambarkan skema subyektivasi yang menjadi pokok perhatian pada bagian tulisan ini. Simaklah bagan di bawah ini:
Namun bukan berarti pula segala bentuk gerakan/tindakan politik dapat dikategorikan sebagai yang-politis. Untuk menjawab pertanyaan yang kemudian muncul, penulis menambatkan jawaban pada bagian selanjutnya yang akan dibahas pada pembahasan mengenai Kesetaraan Radikal. Pada kesempatan ini penulis akan mencoba menkontekstualisasikan sejauh mana gerakan sosial Mayday 2019 dapat dikategorikan sebagai tindakan yang-politis sesuai dengan presuposisi yang telah diformulasikan oleh Rancire.
Kesetaraan Radikal dan MayDay 2019 di Indonesia