Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ranciere: Perselisihan dan Kesetaraan Radikal

25 Juni 2019   20:19 Diperbarui: 25 Juni 2019   20:30 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Penulis aksi kendeng di acara Kamisan Depan istana negara.

 

MENGAPA kita selalu menemui jalan buntu dalam mendefinisikan atau mengubah realitas secara radikal? Kemudian pada titik tertentu kekayaan dari apa yang kita pahami menuai berbagai konsekuensi yang seringkali berpusat pada tafsir-tafsir yang sebetulnya keliru? Lebih dari itu, prosedur-prosedur yang diyakini akan menjadi alat untuk menggapai suatu tujuan bersama pada akhirnya menyadur kekecewaan yang tak terbendung dari setiap perjalananya?

Barangkali seperti yang segera kita ketahui melalui tulisan ini; mengenai bagaimana kehidupan atau realitas yang kita tempuh sekarang, seringkali berdamai dengan cara-cara memeluk erat nilai harmonis, keseimbangan dan stabilitas---hanyalah suatu ilusi belaka. Lewat pendapat dan pemikiran pemikir asal Perancis, Jean Jacques Rancire. 

Penulis mencoba mendedah sekaligus menerapkan kerangka berpikir Ranciere yang lumayan rumit dan cenderung menerja aral-tantangan  berkenaan dengan hutan belantara fikiranya---menerka sejumlah pertanyaan di awal paragraf sebelumnya sekaligus melakukan ressensi terhadap karya disertasi lulusan STF Driyarkara bernama Sri Indriyastutik berjudul "Disensus". 

Maka, tanpa mengurangi rasa hormat kepada pembaca yang budiman, pada bagian awal tulisan ini perkenankanlah penulis akan memperkenalkan kehidupan Jean Jacques Ranciere dalam biografi filsuf post-anarkis Perancis yang cukup singkat sebagai berikut. Hal ini juga dimaksudkan untuk mendudukan pemikiran Ranciere dengan konteks yang melingkupinya. Sebab penulis percaya sebagaimana benih tanaman membutuhkan tanah untuk tumbuh.

Biografi Singkat Jean Jacques Rancire

Ranciere sumber egs.edu
Ranciere sumber egs.edu
Jacques Rancire adalah seorang pemikir filsafat dari Prancis kelahiran Aljazair (1940 -- sekarang). Saat ini ia adalah professor emeritus filsafat dari Universitas Paris VIII (St. Denis). Ia dikenal sebagai pemikir filsafat politik pendidikan dan seni. Ia pemikir yang tangguh sekaligus konsisten dengan gagasanya tentang kesetaraan pada setiap orang dengan semua orang, yaitu meletakkan kesetaraan akal budi sebagai pengandaian dalam memandang hubungan antar manusia dengan pemikiran mutakhir lainnya.

Rancire mulai dikenal luas oleh kalangan pemikir pada tahun 2000-an ketika bukunya yang berjudul Disagreement: Politics and Philosophy diterbitkan  dalam bahasa inggris pada tahun 1999. Rancire tumbuh dalam situasi perang di Aljazair (1954 adalah permulaan perang) sebelum akhirnya dia meneruskan studi di cole Normale Suprieure (ENS) di Paris pada 1960. Di ENS, Rancire adalah murid Louis Althusser (1918-1990), seorang pemikir Marxis yang cukup terkenal waktu itu. 

Rancire muda aktif di Persatuan Mahasiswa Komunis (Union des tudiants Communistes) sebelum akhirnya  kedekatan dengan guru intelektualnya Louis Althusser terputus sejak terbitnya peristiwa demonstrasi mahasiswa dan buruh di Prancis tahun 1968.

Setidaknya telah lahir 19 karya dahsyat intelektual dalam buku yang terbit dari tangan dingin Rancire, beberapa diantaranya begitu menarik perhatian sekaligus memicu perdebatan dan tafsir yang beragam. Seperti, Disagreement: Politics and Philosophy (1999), The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation (1991), The Nights of Labour : The Workers' Dream in Nineteenth-Century France (1991) dan masih banyak lainnya.

Perselisihan sebagai Jalan Panjang Demokrasi

Rancire menekankan pandanganya terhadap demokrasi sebagai praktik subjektivasi---dalam konteks politik hal tersebut dapat dimaknai sebagai suatu selain organisasi kesatuan-kesatuan kelompok dan tata kelola tempat-tempat, kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi.

Lebih, jelas Rancire mengandaikan bahwa subjektivasi merupakan perselisihan tanpa henti; berangkat dari suatu pengandaian kemampuan terhadap akalbudi. proses tersebut berupaya mempertanyakan serta mengganggu dominasi tatanan sosial sebagai ketidaksepakatan. 

Artinya, Politik adalah upaya untuk membuka celah kemungkinan bahwa sesuatu yang tidak dihitung menjadi dihitung dalam tatanan sosial serta memiliki kesinambungan yang kontingen pada beberapa subjek-subjek lainnya. 

Pada, makna yang mendasar Politik [(P besar) bagi marxisme ialah Revolusi] mendapat makna seutuhnya sebagai upaya mempertanyakan ulang logika arkhe[1] dan tatanan sosial dominan. Lantas, Rancire memberikan istilah yang-politis untuk merujuk terhadap arena yang menjadi perselisihan antara logika Politik dengan logika tatanan sosial. Baginya, perselisihan tersebut berfungsi memverifikasi arkhe sebagai fungsi kestabilan yang sesungguhnya. sebuah perselisihan tanpa henti; berangkat dari suatu pengandaian kemampuan. 

Pandangan tersebut merupakan point of views yang mengritik cara berpikir idealisme Hegel (tentang roh absolute) dan Marxisme Orthodox (tentang masyarakat tanpa kelas) yang terjebak pada suatu telos historis. 

Sedangkan Rancire mencoba memporak-porandakan bangunan filsafat lama yang terpaku dan bersifat ajek tersebut dengan memberikan suatu skema mengenai emansipasi yang bersifat setara sekaligus mempertahankan perselisihan.

Dalam tesis yang dirangkum untuk menyelesaikan studi S-2 filsafat di STF  Driyarkara, Sri Indiyastutik atau yang akrab dipanggil Tuti berhasil merangkum pemikiran Jean Jacques Rancire dengan begitu lugas, terampil dan cermat. 

Tuti menampilkan beberapa karya mahsyur Rancire termasuk menyandingkanya dengan beberapa wawancara via email langsung denga Ranciere.  Salah satu yang menarik adalah intisari Tuti dalam menggambarkan skema subyektivasi yang menjadi pokok perhatian pada bagian tulisan ini. Simaklah bagan di bawah ini:

Arsip pribadi
Arsip pribadi
Berangkat dari bagan tersebut, Rancire membedakan politik dengan bukan politik. Menurutnya tidak semua hal itu politik. Baginya politik adalah kebalikan dari pembagian logika kekuasaan oleh arkh. Sedangkan tindakan yang tidak termasuk ke dalam politik, menurut Rancire berada di luar tatanan sosial dan tidak bersifat mengganggu stabilitas atau cenderung mempertahankan status quo.

Namun bukan berarti pula segala bentuk gerakan/tindakan politik dapat dikategorikan sebagai yang-politis. Untuk menjawab pertanyaan yang kemudian muncul, penulis menambatkan jawaban pada bagian selanjutnya yang akan dibahas pada pembahasan mengenai Kesetaraan Radikal. Pada kesempatan ini penulis akan mencoba menkontekstualisasikan sejauh mana gerakan sosial Mayday 2019 dapat dikategorikan sebagai tindakan yang-politis sesuai dengan presuposisi yang telah diformulasikan oleh Rancire.

Kesetaraan Radikal dan MayDay 2019 di Indonesia

Dokumentasi Penulis Aksi Mayday 2019
Dokumentasi Penulis Aksi Mayday 2019

Mari kita mulai dengan pertanyaan: Apa yang begitu terlintas dalam benak kita membicarakan tentang kesetaraan? Apakah kesetaraan merupakan tujuan yang sedang kita perjuangkan atau kerjakan? Atau justru segalanya telah berangkat dari bentuk kesetaraan sebagai umat manusia?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis menemukan pokok pemikiran Rancire yang membicarakan kesetaraan--- tentu dengan sentuhan tertentu, penulis menambahkan tafsir kesetiaan sebagai term yang layak untuk menggambarkan ulang pemikiran tersebut---dus menautkan dengan salah satu contoh gerakan sosial MayDay 2019, sebagai upaya untuk mendekatkan paparan teoritis dengan situasi kontekstual. Hal ini diharapkan  untuk memudahkan pembaca yang budiman dalam memahami seluk beluk pemikiran Rancire.

Berikut pandangan Rancire mengenai kesetaraan. Pertama, konsep kesetaraan dibangun atas pendasaran setiap orang dan semua orang. Artinya kesetaraan tidak bersifat aritmatis dan geometris. Karenanya kesetaraan selalu bersifat kontingen dalam tatanan sosial dominan sesuai dengan kehendak "yang salah" untuk mengujinya. 

Kedua, tiga pokok pikiran mengenai konsep kesetaraan dijabarkan kedalam posisi pengandaian, titik tolak serta pengujian atau tolak ukur. Ketiga, "yang salah" adalah bagian yang tidak punya bagian dalam tatanan sosial dominan. Mereka tidak punya bagian karena cara pandang manusia terhadap dunia telah terbagi-bagi. Cara pandang ini merupakan pengalaman perseptif indra yang terberi di mana akan selalu ada bagian yang tidak terlihat atau terhitung sebagai bagian.

Keempat, politik terjadi di dalam tatanan sosial. Tindakan politik dilakukan demos mentransformasi tatanan sosial dominan menjadi bentuk baru karena demos menjadi suplemen yang sebelumnya tidak ada didalam menu tatanan tersebut. dalam konteks tatanan sosial sebagai tatanan negara, suplementasi demos ada di dalam teks konstitusi, kebijakan public yang dikeluarkan oleh pemerintah, lembaga-lembaga negara, dan sebagainya. 

Kelima, politik adalah tindakan disidentifikasi, sebuah gerakan singular (unik/khas) demos yang tidak diidentifikasi berdasarkan identitas tertentu. Gerakan politik demos  merupakan gerakan solidaritas untuk melampaui identitas. 

Jika dalam contoh konkret gerakan politik demos yang pernah menggunakan istilah identitas tertentu, hal ini tidak berarti para pelakunya adalah identitas tersebut, melainkan lintas identitas. Keenam, perlu adanya definisi yang jelas mengenai politik dan tatanan sosial demi membendung penafsiran ganda dan tumpang tindih yang seringkali muncul sebagai cikal bakal evakuasi demos dari tatanan dominan seolah-olah sudah mengakomodasi kesetaraan bagi setiap orang dan semua orang.

Lantas bagaimana kesetaraan dapat dikontekstualisasikan dengan berbagai gerakan yang akhir-akhir ini muncul? Sejauh mana gerakan itu dapat dikategorikan sebagai tindakan Politik dan yang-politis? apakah gerakan tersebut dapat menjadi jawaban atas formula kesetaraan radikal menurut Rancire?  Bagi, penulis pengamatan mengenai gerakan Mayday 2019 yang banyak menuai kontroversi, perhatian sekaligus perbincangan khalayak umum dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan Politik dan yang-politis.

Mengapa? berangkat atas kondisi presuposisi kesetaraan radikal menurut Jean Jacques Rancire, keberadaan identitas buruh yang menjadi kontingen terhadap berbagai identitas lainnya (lihat; gerakan pemuda,anarko,perempuan, LGBT,guru honorer, pekerja kreatif, dsb) sebagai bentuk ketidaksepakatan atas distribusi pengetahuan oleh tatanan dominan. Pada akhirnya, mempertanyakan ulang bangunan pengetahuan itu sekaligus menyediakan keterbukaan akses terhadap identitas lainnya sehinggga dapat mengalami apa yang disebut sebagai kesatuan atas berbagai lintas identitas sesuai dengan konsep kesetaraan bagi semua orang dan setiap orang sekaligus membaca ulang atas tiap bentuk arkhe.

Kesetaraan, sebagai titik tolak terbukti bahwa buruh tidak mau diperlakukan semena-mena oleh pemilik modal sekaligus aparatur negara. Buruh yang mengalami subjektivasi berangkat dengan relevansinya dengan konsep Kesetaraan Radikal ala Ranciere,  pengandaian bahwa kesetaraan adalah hal yang sepatutnya diperjuangkan secara setia memberikan definisi terhadap gerakan tersebut menjadi lebih sempurna dalam menjaga perselisihan dengan negara serta pemilik modal sebagai verifikasi atas segala bentuk ketidak-setaraan.

Sebelum menutup tulisan ini dengan kesimpulan, perlu sekiranya diketahui bersama bahwa beberapa gerakan buruh yang tergabung dalam unjuk rasa MayDay 2019 yang-politis tidak merta semudah membaca operasional konsep teori Rancire. Berawal, dari solidaritas massa yang gigantis berkumpul di sepanjang jalan dukuh atas sebelum melakukan aksi long nnmmarch dari Bundaran HI menuju Taman Aspirasi Monas yang bergemuruh sempat mendapat blockade dari pihak aparat yakni Polisi, dengan proses negoisasi yang alot, membuktikan bahwa "yang-salah"  memiliki potensi untuk diperhitungkan.

Sebagai, kesimpulan dengan pengandaianya posisi setara buruh terlepas dari kondisi yang tidak terhitung dan terlihat yang terus di produksi oleh kepentingan oligarki melalui proses subjektivasi lewat arena MayDay 2019. Sebelum pada akhirnya biarkanlah waktu dan kesetiaan terhadap sebuah perselisihan yang menjadi jawaban.

(*) @studentmerah_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun