Kematian memang sudah digariskan dalam hidup manusia. Namun, bagaimana dengan kematian karena kejahatan kemanusiaan? Perang yang selalu berulang, korban yang tidak berkurang, dan trauma yang terus bersarang. Dalam setiap tangis dan doa makhluk bentala, pasti terselipkan kebungkaman suara teriakan pembebasan. Teriakan hidup berdamai, teriakan pertanggungjawaban nyawa terkasinya, teriakan rasa lelah dan keputusasaan. Suara tembak terus beradu, senjata nuklir bergemuruh, jerit tangis tergugu dan tawa sumbang tanpa tertuju.
Siang ini Afya merasakan kembali bagaimana dunianya hancur seketika. Ia harus mendengarkan kabar bahwa semestanya harus dilarikan di rumah sakit terdekat. Hari kelam itu dimulai saat Afya harus keluar demi mencari keperluan pokok mereka. Ia dengan terpaksa meninggalkan Aleena sendiri di rumah dengan harapan putrinya lebih aman. Namun ternyata Aleen justru keluar rumah untuk mencari ibunya. Tepat saat itu serangan dari udara terjadi. Aleen menjadi salah satu korbannya.
"Bagaimana kondisi putri saya dokter?" Afya hanya bisa menangis menyaksikan bidadari kecilnya terbaring lemah diranjang rumah sakit. Tubuh kecil itu dipenuhi luka, goresan dan perban.
"Ibu yang tenang ya. Putrinya pasti bangun dan kembali ke kondisi semula" ucap dokter.
"Tolong ya, Dok. Tolong sembuhkan putri saya" pengharapan satu-satunya yang dimiliki Afya ada di Aleen. Nyawa Aleena bahkan jauh lebih penting dari nyawanya sendiri.
"Kita sama-sama berdoa dan berusaha ya, Bu." Kini Afya berada di ruang perawatan bersama korban-korban lain. Ia usap pelan jemari kecil putrinya yang kini tidak sehalus tadi pagi. Jari kecil itu penuh dengan goresan sana-sini.
"Sayangnya ibu, bangun yuk sayang. Setelah ini kita pergi jauuh dari sini yaa. Kita jalan-jalan seperti yang Aleen mau. Nanti Aleen sekolah biar jadi jurnalis seperti ayah" hanya satu permintaan Afya saat ini, Aleen bangun dari tidurnya. Jiwanya sudah ia titipkan pada Aleen sejak kepergiaan sang suami. Bagaimana jika Aleen pergi dulu? Bagaimana Afya menjalankan hidupnya? Haruskah dia menyusul dua orang terkasihnya? Rasanya ia tidak dibiarkan untuk bahagia. Setelah masa kecilnya harus tinggal bersama sang tante karena ayah dan ibunya yang lebih dulu pergi, saat menemukan bahagianya bersama Firdaus pun harus direnggut lagi, apakah Aleen juga akan ikut pergi?
Di tengah lamunannya Afya....
"Permisi, Bu. Benar dengan orang tua Aleena Firdaus?" tanya seorang suster.
"Iya saya ibunya" jawab Afya.
"Apakah ibu membawa perlengkapan Aleena? Maaf sekali rumah sakit kami kekurangan baju dan peralatan pribadi lain. Apakah tempat tinggal ibu dekat?" Ucap suster dengan wajah yang nampak lelah itu.