Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Broken Youth [Chapter 4: Hold My Hand]

17 Juli 2016   21:12 Diperbarui: 17 Juli 2016   21:19 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak mau terlalu larut dengan pertanyaan-pertanyaan yang kini berserakan di pikirannya, Namie putuskan untuk melakukan hal lain. Ia membuka laci meja kerja ayah, lalu memeriksa isinya. Tidak ada yang penting; karena ia harap, apa yang ditemukannya bisa menjadi petunjuk atas rahasia-rahasia ayah selama ini.

Namie beralih ke lemari tempel di sisi kanannya. Ia mulai mengambil map yang paling bawah dari tumpukan. Lagi-lagi, bukan hal penting. Isinya hanya sekadar daftar gaji karyawan ayahnya tahun lalu. Ia menatap keseluruhan isi lemari itu, lalu mengembuskan napas. Ini akan memakan banyak waktu untuk memeriksa semuanya. Kemudian, ia berpikir, dan beberapa saat setelahnya, muncul sesuatu di pikirannya.

Peluang. Ya, peluang. Sama seperti pelajaran Matematikaku sewaktu SMP dulu, Namie membatin.

Setelah mengembalikan apa yang diambilnya tadi ke tempat semula, Namie mulai melakukan aktivitas penghitungan di otaknya. Jenis warna map di lemari tempel itu ada lima. Lalu, jumlah mapnya sendiri kira-kira ada 500. Lima dibagi 500 sama dengan 0, 01. Kosong, kosong berarti putih. Ya, Namie melihat ada dua map putih, kemudian di sebelahnya ada map berwarna hijau. Lalu, apa isi map itu berisi hal penting baginya? Ia pun buru-buru mengambilnya. Di dalamnya banyak sekali lembaran-lembaran dengan banyak tulisan serta gambar-gambar. Akan lebih baik jika ia mengambil seluruh isinya, kemudian meneliti satu persatu di kamarnya. Selain itu, telinganya samar-samar mendengar suara mesin mobil memasuki halaman, yang mungkin saja itu ayahnya. Bisa gawat kalau sampai ia ketahuan.

Namie buru-buru keluar ruangan, lalu memasuki kamar. Ia mengunci pintunya agar tidak ketahuan juga jika seumpama saja ayahnya masuk, dan melihatnya sedang cukup panik menyembunyikan berkas-berkas yang ia “curi.” Begitu mendengar pintu terkunci yang berusaha dibuka serta seorang lelaki yang memanggil namanya, Namie mengacak-acak rambutnya agar seolah-olah tampak bangun tidur.

“Iya, ayah,” katanya seraya menuju pintu. “Ada apa?” lanjutnya dengan mata yang sengaja ia sipit-sipitkan saat berhadapan langsung dengan pria paruh baya itu.

“Kau sedang tidur, kan?”

Namie mengangguk sekali, kemudian berpura-pura menguap.

“Baguslah,” ayah mengecup kening putri tomboynya itu. “Selalu kunci pintumu saat tertidur atau pun mandi,” lanjutnya, kemudian ia buru-buru menuju ruang kerjanya.

Namie memandang bahu lelaki itu sampai hilang dari indera penglihatannya. Tiada hari tanpa hal mencurigakan yang kau lakukan, ayah. Aku memang diam sesuai permintaanmu. Tapi, bukan berarti aku menghentikan rasa penasaranku untuk menyelidiki ini semua.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun