Jong Woon tertawa geli—hingga menelan mata sipitnya. “Waktu akan menjawab semua teka-teki itu, So.”
***
The Philosophy of Sadness.Dalam kurun waktu enam bulan, buku itu menjadi bestseller di Korea, dan bahkan sudah diterjemahkan dalam enam bahasa.Buku yang mengupas tentang masa lalu, juga kesedihan.Ada tiga penulis di buku itu. Marcus, Jeremy, dan Dylan. Dan, ketiga nama itu sebenarnya adalah nama pena.
Waktu akan menjawab semua teka-teki. Jadi, seseorang tak harus bersusah payah memecahkannya?Tuhan sudah ‘menurunkan’ orang yang tepat dan saat yang tepat juga.Berarti, sejatinya teka-teki membuat manusia lebih sabar dalam menunggu.
“Benar ‘kan kataku, kita pasti ada kesempatan bertemu lagi. Ya, walau ini tak akan lama. Setelah talk show, aku harus kembali ke Amerika,” ujar seorang lelaki yang tubuhnya dibalut jas dan celana abu-abu senada.
“Aku sudah merasa cukup dengan pertemuan ini; karena semakin lama melihatmu, semakin sedih jika kau harus pergi dari hadapanku.”
“Kau mulai berpikir filosofis ternyata,” lelaki itu terbahak kemudian meraih seorang gadis dalam pelukannya. Dikecupnya pucuk kepala dengan tatanan rambut braid itu, dan tercium bau segar yang ditimbulkan dari shampo yang gadis itu gunakan.
“Hai, lima belas menit lagi kita on!”Seorang lelaki berseru beberapa langkah dari belakang Kyu Hyun. Sentak mereka melepaskan pelukan dan menatap sang penyeru.
Kyu Hyun tersenyum tipis.“Paman, kau baru saja datang?”
“Iya, tadi aku sempat terjebak macet.”Lelaki berkacamata plus itu menoleh ke putrinya.“So, itu mini dress yang Jong Woon pilihkan untukmu?Kau sangat pas memakainya.Dan, lihatlah… kau sangat serasi dengannya!”Sam Dong menarik tangan Jong Woon.Berniat mendekatkannya dengan So Hwan.Mereka pun tersipu malu.
“Jong Woon, So… kalian pernah memilih ubi di keranjang saat di pasar?”