Jawabannya sudah (hampir) jelas: Iya, anda harus terima. Karena kita mencintai Indonesia, di atas ideologi, di atas parpol, di atas tokoh politik apapun. Dan anda wajib berpartisipasi pada kehidupan bernegara, patuh pada undang-undang, dan berkontribusi pada bangsa dan negara di bawah pemimpin yang tidak anda dukung saat pemilu itu.
Kelihatannya premis ini terlalu normatif, tapi harus saya katakan bahwa dalam kenyataannya, ada lho orang yang gak berpikir begini. Ada orang yang berpikir:
"Saya tidak suka dengan calon A, maka itu saya akan pilih calon B. Bukan masalah jika si calon B ini tidak bisa memimpin dengan baik, tidak bisa memenuhi janji pada konstituennya, atau bahwa ternyata si B ini sebenernya wibu idiot penggemar Puella Magi Madoka Magica dan gak ada kemampuan jadi pemimpin politik sama sekali. Yang penting saya tidak mau si A yang terpilih! kalaupun daerah/negeri ini hancur karena dipimpin oleh B yang saya pilih, ya tidak apa-apa. Dunia ini hanya sementara, yang penting saya masuk surga."
Waduh.
Perilaku seperti inilah yang tidak dewasa dan berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Dan tenang saja, kasus ini saya temukan di kedua belah pihak pendukung politik kok. Dari mulai pendukung Jokowi yang hanya tidak ingin Prabowo jadi presiden di tahun 2014 lalu, hingga pendukung Anies Baswedan yang hanya tidak ingin Ahok jadi gubernur pada Pilkada 2017 lalu.Â
Saya tidak akan kaget kalau tahun 2019 nanti, akan ada pola serupa juga, yang berprinsip yang penting ganti presiden, terserah presiden penggantinya siapa, atau yang penting pelanggar HAM tidak jadi presiden, tidak penting yang jadi presiden siapa.
Oh tidak, saya tidak meminta anda untuk pindah haluan jika kemudian lawan politik anda bekerja lebih baik daripada kubu politik yang anda dukung. Saya punya ide yang lebih baik: jadilah oposisi yang keren. Yang memang bisa membuat narasi kritis atas petahana yang tidak anda dukung.Â
Jujur saja, seperti yang saya bilang tadi, saya adalah pendukung Jokowi, saya cebong dari sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Tapi saya sendiri pun bisa mengkritik Jokowi, jika saya rasa perlu.Â
Dari mulai nawacitanya yang gak jelas, revolusi mental yang cuman jargon politik, pembangunan infrastruktur yang mengalami friksi dengan masyarakat lokal, hingga menko titipan mama yang entah apa kerjanya.Â
Lho? Cebong kok ngomong gitu? Ya, kenapa tidak? Saya kan cebong yang punya otak. Jika saya punya nyali untuk mengkritik lawan politik saya, harusnya saya juga punya keberanian untuk mengkritik idola politik saya sendiri.Â
Malah saya tidak terima kalau 250 juta rakyat Indonesia jadi cebong garis keras semua. Memuji dan memuja Jokowi seperti Imam Mahdi. Sama saja seperti punya pemerintahan yang otoriter, dengan pemimpin berkekuatan absolut, dan tidak ada oposisi yang bisa menjadi penyeimbang. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.