Judul Buku: Juru Kunci Makam
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan I: 2020
Tebal: 136 Halaman
ISBN:978-623-253-022-5
Peresensi: Hamsiah*
Mengangkat kisah anak-anak remaja usia empat belasan tahun. Kisah ini menceritakan seorang anak bernama Unggul yang berlatar belakang dari orang tua penggali makam.
Kadang dalam hidup ini, ada sesuatu hal yang tidak sesaui dengan keinginan. Di luar sana begitu banyak anak-anak dengan keterbatasan ekonomi masih bersemangat untuk bersekolah. Namun, keadaan menguburkan harapan dan cita-cita mulia itu.
Buku ini, mengajarkan anak untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar, terhadap teman-teman yang berbeda. Tidak memandang remeh mereka yang kurang beruntung. Membangun rasa simpati, melatih bersyukur, dan menghargai setiap profesi.
Membaca buku ini, membuka wawasan, terhadap kehidupan di lingkungan luar. Pesan yang ingin disampaikan penulis adalah agar anak peka terhadap lingkungan dan terhadap teman sekitar.
Hidup dipenuhi beragam suku, bahasa, agama, pendidikan, pekerjaan. Tidak memulu tentang anak dengan orang tua yang pekerjaan bagus, berjas dan berdasi, memiliki tempat tinggal layak, keluarga harmonis. Kalau ingin sekolah tinggal bilang saja, semua perlengkapan akan disediakan oleh orang tua. Itulah mereka yang hidup dalam suasana serba kecukupan.
Anak-anak yang tugasnya hanya belajar, tidak perlu memikirkan dari mana uang di dapatkan, anak-anak yang tidak perlu memikirkan kalau lapar tinggal bilang saja, makanan sudah di sediakan. Bahkan kalau bosan tinggal bilang, dan minta di ajak jalan-jalan.
Tentu berbeda suasananya, jika menilik dari kisah Unggul dalam cerita yang ditulis oleh Sinta Yudisia. Ada seorang anak dengan keterbatasan ekonomi yang tidak memiliki rumah permanen, penghasilan orang tuanya hanya sekedar cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan itupun kadang masih kurang dari yang dibutuhkan.
Hidup dalam kemiskinan, kadangkala erat kaitannya dengan kesejahteraan, penyakit dengan mudah datang menghampiri, dan mengambil orang-orang yang tersayang.
Unggul yang hidup dalam situasi di atas, diperparah dengan berpulangnya sang ibu menghadap sang pencipta, sementara sang ayah hanya bekerja sebagai penggali makam yang penghasilannya dari hasil menggali makan tidak tentu jumlahnya. Kondisinya juga sedang sakit-sakitan.
Banyak anak-anak bangsa ini, yang harus memikul beban yang sama seperti yang di kisahkan dalam kisah Unggul ini. Mereka yang terpaksa mengorbankan masa sekolah hanya untuk membantu orang tua mempertahankan hidup. Mencari nefkah untuk mencari sesuap nasi.
Berawal dari kisah praktikum biologi, yang mengharuskan setiap anak bekerjasama dalam berkelompok. Sofi, Nadia, dan Donni, juga Unggul. Mereka adalah satu kelompok yang dibagi oleh ibu guru. Dalam misi berkelompok ini, bu guru memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk melakukan penelitian terkait struktur katak. Mereka harus membedah katak dan melihat sendiri strukturnya. Kemudian membuat laporan terkait hasil yang didapatkan.
Masalah muncul ketika, Unggul yang satu kelompok dengan Sofi, Nadia, dan Donni. Awalnya ada penolakan dari anggota kelompok yaitu Donni.
Donni tidak suka satu kelompok dengan Unggul karena suatu hal. Ia menilai Unggul hanya seorang anak yang berpenampilan lusuh, susah bergaul, dan biasa-biasa saja.
Unggul lebih sering absen sekolah ketimbang teman-teman yang lain. Ia juga tidak pernah menceritakan bagaimana kehidupan yang sedang dialaminya.
Penilaian Donni, tentu tidak salah, semua orang mestinya ingin berteman, bergaul dengan orang-orang hebat, berbakat, sehingga meminimalisir kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Namun, ada hal yang di luar itu, tidak semua yang kita inginkan harus selalu dituruti. Belajar menerima dan berbesar hati. Hidup tidak memulu tentang semua orang harus menuruti apa yang menjadi keinginan seseorang.
Kisah Juru Kunci Makam, memberikan kita sedikit gambaran dari sekian banyak peristiwa yang terjadi dan dialami anak-anak bangsa ini. Yaitu keterbatasan ekonomi. Kebanyakan mereka yang dalam kondisi ini, banyaknya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Apa jadinya jika banyak anak-anak generasi penerus bangsa ini tidak berpendidikan?
Apa jadinya bangsa ini, jika bibit dan calon penerus berhenti belajar, lalu memutuskan untuk mencari uang. Entah itu dengan menjadi buruh kasar, mengamen, atau pekerjaan lainnya.
Dunia terus berkembang, teknologi pun ikut berlari kencang, bangsa-bangsa yang lamba akan tertinggal dari kemajuan.
Bangsa yang menguasai teknologi dan ilmu pengetahuanlah yang akan menjadi menguasai dunia.
Tentunya kita, sebagai bangsa Indonesia dengan semangat leluhur yang telah memperjuangkan bangsa ini dengan semangat pantang menyerah, mengorbankan sampai titik darah penghabisan, tidak mau tentunya bansa ini kembali dijajah oleh bangsa luar.
Solusi yang diberikan penulis terhadap tulisan ini adalah, adanya tokoh penengah yaitu Sofi dan Nadia. Sahabat perempuan yang juga satu kelompok yang tidak sependapat dengan Donni, mereka berbesar hati dan menyelidiki ada apa dengan Unggul.
Apa yang sebernarnya di alami oleh Unggul.
Sofi dan Nadia adalah anak yang hebat, meski dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan, mereka tidak tinggi hati, mereka mau membantu.
Setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya, dan menceritakan kepada ibu guru, simpati datang kepada Unggul. Paling tidak ia bisa masih bisa merasakan mengenyam pendidikan.
Sebagai anak-anak yang masih diberik rizki, keluarga yang lengkap, utuh, dan bisa bersekolah. Semangat dan bersyukur juga suatu pesan yang ingin disampaikan penulis dalam buku ini.
buku ini coco sebagai bahan bacaan untuk anak-anak dalam rentang usia SMP. Untuk anak yang masih menduduki bangsu SD, juga cocok. Namun, tergantung bagaimana tingkat membacanya. Bagi anak SD yang tinggat bacanya terbiasa dengan buku-buku yang lebih banyak tulisan dan sedikit gambar, maka buku inipun sangat cocok untuk melatih anak, dan menambah wawasan terhadap lingkungan sekitar, sehingga anak peka terhadap lingungan.
Setiap kalimat yang disajikan, tidak menggurui, sehingga terkesan anak sedang membaca buku yang mendikte.
Alur yang diciptakan santai, mengalir, tidak berat dan membutuhkan berfikir lebih keras.
Sebagai buku peralihan, buku ini juga dilengkapi dengan gambar, hanya saja porsi yang diberikan lebih sedikit dibandingan dengan bacaan anak-anak di bawah delapan tahun.
Miliki dan baca buku ini, ada banya hikmah dan wawasan yang berguna buat anak, membentuk karakter peduli dan semangat pantang menyerah dalam menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H