Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkawinan Siti Nurbaya Antara Hak Anak dan Kewajiban Orangtua

2 Maret 2023   13:55 Diperbarui: 2 Maret 2023   13:57 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik sekali pendapat para ulama yang mengisyaratkan penolakan bukan dalam bentuk "membantah", maka orang tua harus peka dengan ekrpresi sang anak. Sehingga tidak membuka ruang perdebatan panjang dan menjadikan permusuhan seumur hidup.

BISAKAH KAWIN PAKSA MENCAPAI BAHAGIA

Ekspresi "kegamangan" seorang perempuan atas pernikahan yang dijodohkan, sebagaimana yang saya lihat dalam cerita di awal tulisn ini, ya seperti itu, banyak tingkah yang tanpa tujuan, ucapan yang gak jelas, namun sama sekali ucapan dan ekspresinya ditujukan kepada orang tua, ia hanya menikmati  "jeda" masa lajang dalam menyongsong rumah tangga dengan seorang yang tidak pernah terlintas dalam bayangan pikiran bawah sadarnya.

Perempuan yang menerima dan menjalani takdir kawin paksa, sebagaimana pendapat para ulama terlebih dahulu diberi kesempatan untuk melihat calon suaminya, hal yang demikian sebagai bahan untuk membayangkan sosoknya, sehingga si perempuan bisa menyiapkan diri dalam memerankan sebagai isteri yang baik dan patut dibanggakan.

Keterpaksaan dalam pernikahan karena dijodohkan, bukan berarti memadamkan api cinta, justru banyak terbukti pernikahan tanpa menjalani masa pacaran bisa bahagia, karena prinsipnya akan berpacaran ketika berumah tangga, ketika semuanya dibolehkan dan tidak lagi haru sembunyi-sembunyi atau menahan hasrat yang telah mencapai puncaknya.

Namun semuanya bergantung dari kesiapan atau tidaknya menerima pasangannya, karena ketidak relaan akan menjadikan penyakit dan berusaha membuat jarak dan pada akhirnya  menjauh dari pasangannya. Maka harus ada konsekuensi logis atas ketersediaan menerima takdir ini, sehingga apapun yang terjadi menjadikannya sebagai sumber kebahagiaan.   

 Sumber referensi Kitab Kifayatul Akhyar Karya Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, terj. KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, Penerbit Bina Iman Surabaya. Dan Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar oleh Drs. Moh. Rifa'i, Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Salomo, Penerbit Karya Toha Putra, Semarang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun