Perkawinan ala Siti Nurbaya, ternyata bukan hanya yang tersebut dalam Novel, pernikahan yang didasarkan atas kehendak orang tua, bukan atas pilihannya sendiri, yaitu dijodohkan dan lebih seru bila disebut :terpaksa"
Padahal salah satu pilar membangun rumah tangga adalah cinta kasih, yang berarti kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan harus saling mengenal dan saling mencinta, sehingga akan  terwujud tujuan perkawinan, yaitu bahagia langgeng, sakinah Mawaddah wa Rahmah.
Dua hari lalu, di saat akad nikad nikah dimulai, sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, yaitu pukul 08.00 WIB. Selaku Pegawai Pencatat Nikah saya telah berada di tempat akad nikah, namun akad nikah tidak segera dilaksanakan. Apa sebab ? karena pak Kiai yang diberi pasrah wakil dari walinya masih di perjalanan, diperkirakan empat puluh menit hingga satu jam baru sampai tujuan.
Sambil menunggu kedatangan sang kiai, saya ingin memastikan ulang tentang kelengkapan syarat administrasi dan meminta kepada  kedua calon mempelai memperhatikan foto dan tulisan yang ada pada buku Kutipan Akta Nikah, untuk memastikan kebenarannya, dan bila ada yang kurang tepat untuk dikoreksi.
Saya merasakan ada hal yang tidak biasa, tingkah laku calon mempelai perempuan seperti tidak dalam kendali pikiran sadarnya, banyak tingkah dan bicara sekenanya, "aadiik.." begitu perempuan yang memakai gaun pengantin berwarna putih itu memanggil kepada seorang laki-laki yang ada di depannya, ya .. dia calon suaminya.
Kemudian secara spontan perempuan kira-kira berusia enam puluh tahunan berkata "maaf pak penghulu, memang calon mempelai perempuan sama sekali tidak kenal dengan calon suaminya, kami yang menjodohkan, dan kalau ditelisik dari urutan keluarga, calon mempelai laki-laki adalah paman dari calon mempelai perempuan". Dalam sapaan, sang calon mempelai perempuan memanggil calon suaminya om (paman), kelak ketika usai akad nikah, ia akan menjadi suaminya, boleh memanggilnya mas, kakang atau sayang.
Â
Peristiwa pernikahan atau perkawinan ala Siti Nurbaya patut untuk dijadikan kajian  yang bersandarkan hukum munakahad (hukum yang ditetapkan oleh para ulama dengan mendasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadits), untuk mendapatkan jawaban dari sebuah pertanyaan "bagaimana hak perempuan dalam pernikahan ala Siti Nurbaya?"
Dalam kitab Kifayatul Akhyar Bab Nikah pasal Akad Nikah yang di antara bahasannya adalah wali sebagai salah satu rukunnya, di dalamnya juga dibahas tentang hak wali dan hak perempuan dalam menentukan calon suaminya.
Kewenangan ayah atau kakek sebagai wali juga memiliki hak untuk menjodohkan kepada lelaki lain, bahkan boleh memaksa atas perjodohan itu. Menurut Pendapat sebagian besar ulama bahwa siapa yang berkuasa melangsungkan pernikahan, berkuasa pula membuat pengakuan, dalam hal ini adalah pemaksaan (menjodohkan atau memilih calon suami)
AYAH ATAU KAKEK BOLEH MEMAKSA
Sebagian besar ulama sebagaimana disebutkan di atas memperbolehkan orang tua atau kakek menentukan jodoh bagi anak atau cucunya, sebagaimana kedudukan ayah dan kakek adalah sama dalam perwalian, maka keduanya boleh memaksa untuk menjodohkan.
Kewenangan ayah dan kakek dalam hal perwalian dan menjadi wali yang paling dekat, keduanya memiliki rasa kasih sayang luar biasa, sehingga tidak memungkinkan bagi keduanya yang waras akal menjerumuskan keturunannya dalam neraka rumah tangga, bagai menggenggam bara. Maka tujuan keduanya menjodohkan telah mencapai beberapa pertimbangan yang menurut hati dan nalurinya akan mengantarkan rumah tangga bahagia.
Kasih sayang ayah dan kakek bahkan menjadi ajang perebutan bahkan permusuhan. Betapa dalam kehidupan sehari-hari, orang tua bisa marah bahkan bertengkar dengan sang anak gara-gara cucu. Ini menunjukkan betapa sang kakek menginginkan kebaikan untuk cucu perempuannya dalam hidup sehari-hari, apalagi untuk membangun rumah tangganya.
APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEH PEREMPUAN KETIKA DIPAKSA
Syaikh Abu Sujak mengatakan "perempuan itu ada dua ; janda dan perawan, yang perawan ayah dan kakek boleh memaksanya untuk menikah. Sedangkan yang janda tidak boleh mengawinkannya kecuali sesudah baligh dan mendapat izinnya".
Meskipun ayah dan kakek boleh memaksa, namun tetap berlaku syarat dan ketentuannya, yaitu  dinikahkan dengan lelaki yang sekufu dan tetap dimintai persetujuannya, maka apabila seorang perempuan ditawari menikah dengan seorang lelaki pilihan ayah atau kakeknya, kemudian tidak memberi jawaban (diam) maka berarti perempuan itu sudah rela atau setuju.
Rasulullah bersabda, artinya :
"perempuan yang janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dan anak perawan dimintai pertimbangannya, dan izinnya adalah diamnya"
Ekspresi diam sebagai respon perempuan yang dijodohkan menurut pendapat umum bisa juga dalam bentuk tertawa atau menangis, kecuali menangis histeris atau menampar pipinya.
Atas tangis histeris dan memukul pipi adalah bagian dari bentuk penolakan, maka orang tua atau kakek tidak boleh memaksa atau melanjutkan perjodohannya, ditunggu sampai semuanya sudah normal baru dilanjutkan perencanaan pernikahannya.
Menarik sekali pendapat para ulama yang mengisyaratkan penolakan bukan dalam bentuk "membantah", maka orang tua harus peka dengan ekrpresi sang anak. Sehingga tidak membuka ruang perdebatan panjang dan menjadikan permusuhan seumur hidup.
BISAKAH KAWIN PAKSA MENCAPAI BAHAGIA
Ekspresi "kegamangan" seorang perempuan atas pernikahan yang dijodohkan, sebagaimana yang saya lihat dalam cerita di awal tulisn ini, ya seperti itu, banyak tingkah yang tanpa tujuan, ucapan yang gak jelas, namun sama sekali ucapan dan ekspresinya ditujukan kepada orang tua, ia hanya menikmati  "jeda" masa lajang dalam menyongsong rumah tangga dengan seorang yang tidak pernah terlintas dalam bayangan pikiran bawah sadarnya.
Perempuan yang menerima dan menjalani takdir kawin paksa, sebagaimana pendapat para ulama terlebih dahulu diberi kesempatan untuk melihat calon suaminya, hal yang demikian sebagai bahan untuk membayangkan sosoknya, sehingga si perempuan bisa menyiapkan diri dalam memerankan sebagai isteri yang baik dan patut dibanggakan.
Keterpaksaan dalam pernikahan karena dijodohkan, bukan berarti memadamkan api cinta, justru banyak terbukti pernikahan tanpa menjalani masa pacaran bisa bahagia, karena prinsipnya akan berpacaran ketika berumah tangga, ketika semuanya dibolehkan dan tidak lagi haru sembunyi-sembunyi atau menahan hasrat yang telah mencapai puncaknya.
Namun semuanya bergantung dari kesiapan atau tidaknya menerima pasangannya, karena ketidak relaan akan menjadikan penyakit dan berusaha membuat jarak dan pada akhirnya  menjauh dari pasangannya. Maka harus ada konsekuensi logis atas ketersediaan menerima takdir ini, sehingga apapun yang terjadi menjadikannya sebagai sumber kebahagiaan.  Â
 Sumber referensi Kitab Kifayatul Akhyar Karya Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, terj. KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, Penerbit Bina Iman Surabaya. Dan Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar oleh Drs. Moh. Rifa'i, Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Salomo, Penerbit Karya Toha Putra, Semarang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H