Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kedudukan Suami Istri dalam Undang -Undang Perkawinan

6 Februari 2023   11:57 Diperbarui: 6 Februari 2023   13:36 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergaulan suami isteri tidak terikat hanya sebagai pasangan, seorang lelaki yang berperan sebagai suami dan seorang perempuan bergelar isteri lalu menggenapkan dari sisi kekurangan dan menguatkan secara terus menerus kehebatan yang di miliki keduanya. Tentu ada kedudukan-kedudukan tertentu yang membuat suami isteri harus tahu diri dan saling memahami. Hal inilah sebagai kunci dasar untuk bisa menikmati dan mengambil manfaat dalam berkeluarga.

kbbi.wed.id menyebut suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita. Sedang isteri adalah seorang wanita (perempuan) yang telah menikah atau bersuami. Dalam definisi ini menekankan telah menikah atau kawin, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. 

Maka ketiak seorang pria dan waita mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan harus bersedia untuk menjadi suami atas isterinya, dan menjadi isteri atas suaminya. 

Pernyataan bersedia atau melebur menjadi suami isteri  sepertinya remeh, sehingga yang terjadi ketika sudah berumah tangga masih memguatkan kata aku, bukan kita. Kata aku menjadikan semuanya diaku-aku dan bila dihadapkan pada suami isteri timbullah sikap saling mengakui-aku, walaupun bukan miliknya.

Untuk itu Undang-Undang perkawinan mengatur sedemikian rupa kedudukan suami isteri dalam mengarungi bahtera rumah tangga, agar menjalan seiring sejalan bergandengan tangan dan serasi menuju tujuan hakiki berumah tangga sebagai sendi dasar susunan masyarakat.

Bila dirumuskan secara sederhana rumah tangga sebagai susunan sendi dasar masyarakat, maka situasi rumah tangga akan mempengaruhi kondisi suatu masyarakat dan bangsanya. Maka Undang-Undang menegaskan agar suami isteri memiki niatan luhur membangun rumah tangganya. Sehingga suatu negara akan jaya damai dan sejahtera, bila dalam bilik rumah tangga warga negaranya tercipta kedamaian dan kesejahteraan.

KESEIMBANGAN HAK

Dalam rumah tangga suami dan isteri haruslah terlaksana hak dan mendapat kedudukan yang seimbang, terutama dalam melakukan perbuatan hukum.

Dengan melakukan perkawinan, seorang laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) tidak hilang haknya dalam melakukan perbuatan hukum, keduanya bisa melakukan hak hukum atas hal yang melekat dalam dirinya. 

Kesamaan hak dan kedudukan suami isteri baik dalam rumah tangganya atau di masyarakat agar tertib, maka pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan nomor 1 TAHU 1974 suami sebagai kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Hal ini sangat penting karena perkumpulan atau berkumpulnya dua manusia harus ada yang menjadi pemimpin atau yang dikuti sebagai arah melakukan sesuatu dalam hal ini adalah  berkaitan dengan rumah tangganya.

Dalam kbbi.lektur.id. mendefinikan Kepala keluarga adalah orang yang bertanggung jawab suatu keluarga (biasanya bapak), dan ibu rumah tangga memiliki dua pengertian yaitu  wanita yang mengatur  penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah dan isteri atau ibu yang hanya mengurusi berbagai macam pekerjaan dalam rumah tangga, tidak bekerja di kantor. 

Pengertian ibu rumah tangga yang kedua ada frase tidak bekerja di kantor adalah ibu rumah tangga tulen, hanya sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya mengurusi rumah tangganya sendiri.  

Tentu kedudukan kepala keluarga dan ibu rumah tangga  walau sudah mengalami perluasan pengertian dan penyesuaian dalam praktek berumah tangga seiring dengan kemajuan jaman, namun pelabelannya tidak berumah, sehingga ada penjelasan pembagian tugas yang saling dimengerti dan rela akan hal tersebut.

MEMILIKI KEDIAMAN 

Sebagai pilar atau sendiri masyarakat, maka Undang-Undang menegaskan bahwa setiap rumah tangga atau keluarga memiliki kediaman, bukan memiliki rumah. Karena beda antara kediaman dan rumah. Kediaman adalah tempat yang ditinggal, suatu rumah bisa memiliki sendiri, orang lain, sewa atau kontrak atau dipinjami. Sedangkan memiliki rumah artinya rumah sendiri.

Agar kediaman atau tempat tinggal ini ditempati dengan  nyaman, maka harus diputuskan bersama sehingga masing-masing merasa ikut dalam pengambilan keputusan.

Kediaman adalah identitas alamat seseorang yang menunjukkan domisili sebagaia warga negara. Maka salah satu ciri rumah tangga yang sejahtera adalah dimilikinya tempat tingga. Di sinilah semua diputuskan bersama dan dijalani bersama.

SUAMI MEMILIKI TANGGUNG JAWAB LEBIH

Dasar utama dalam pasal 33 Undang- Undang Perkawinan adalah saling mencintai dan menyayangi, saling menghomati dan bahu membahu dalam rangka memenuhi kebutuhan lahir batinnya.

Meski begitu suami adalah menanggung jawab dalam rumah tangga sedang isteri mengelolanya dengan baik. Dalam konteks sekarang kewajiban pemeuhan tanggung jawab mengacu kepada kesepakatan dan kesepahaman bersama dengan tidak melupakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.

Sedang dalam hal pengasuhan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa  suami isteri berkewajiban memenuhi kebutuhan jiwa dan raga anaknya dan mengawal pertumbuhannya dengan baik baik pengetahuan agama ataupun kecerdasannya. Artinya dalam hal kebersamaan suami isteri tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, harus bersama dan saling menguatkan. 

Hal yang lebih penting adalah masing-masing harus menjaga kehormatan rumah tangga, karena martabat keluarga atau rumah tangga inilah sebuah pernikahan memiliki arti dan manfaat positif

Undang-Undang Perkawinan memberikan rambu-rambu yang tujuan besarnya adalah sebagai pemandu dalam berumah tangga, namun dalam prakteknya bisa dimaknai dan ditafsiri berdasarkan kesepakatan bersama sejauh tidak bertentangan dengan hukum agama dan norma sosial. Karena bagaimanapun pijakan pernikahan adalah hukum agama dan praktek dalm kehidupannya adalah norma yang berlaku dalam masyarakat. 

Dengan demikian masing-masing  keluarga bisa merumuskan alur kebijakan sesuai denga kehendak suami isteri dengan tetap berpedoman kepada syarat dan ketentuan yang berlaku insa Allah kebahagiaan dapat diraih.

 

Kedudukan  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun