Dalam kontek Keindonesiaan perlulah dihayati nukilan lagu Indonesia Raya "bangunlah Jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya", ada secercah harapan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa hal yang utama adalah membangun jiwa diiringi dan diimbangi dengan badan.
Bisa jadi para perintis kemerdekaan memandang pentingnya pembangunan jiwa sebagai bentuk mengisi kemerdekaan adalah membebaskan diri dari belenggu penjajahan berupa belenggu kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kemenadirian sikap. Hal ini dapatlah dimaklumi betapa penjajahan telah memasung jiwa anak bangsa lalu lumpuhlah badannya.
Seperti halnya gajah sirkus, jinak dengan pawang dan gelang besi yang dilingkarkan di kaki, bila dibandingkan berat gelang besi deng an tenaga gajah, harusnya langlah gajah bisa bebas dan berlari kencang, tetapi mengapa gajah langkahnya tertatih tatih.
Kesadaran gajah telah dipasung, gajah kecil merasa berat memakai gelang besi, lingkarang gelang besi beriringan dengan tumbuh besarnya kaki gajah, seperti para penjajah menina bubukkan bangsa Indonesia, mengintimidasi dan mempersempit ruang gerak, karenanya tugas berat pasca kemerdekaan adalah memulihkan kewarasan jiwa anak bangsa menjadi negeri yang kuat dan bangsa yang terhormat.
Pembangunan jiwa hasilnya tidaklah tampak, bisa dilihat secara kasat mata, begitu pula kewarasan jiwa seseorang tidak bisa serta merta diketahui tanpa melakukan diagnosa secara tepat. Para seniman konvensional, orang-orang yang sedang mengamalkan laku, para pengamen, pemulung dan pengemis pakaiannya sederhana bahkan cenderung kumuh, tetapi mereka memiliki kewarasan dalam tingkat kesadaran sejati. Tidak mengganggu hak orang lain dan tertib dalam lingkungan sosialnya.
Di sisi lain, para pemuja fisik dan kemasan (bungkus), selalu berpenampilan climis atau glowing, baju-baju terkini dan modelnya aduhai, sementara hatinya rapuh, badannya ringkih karena beratnya beban yang dipikul dan kebesaran nama yang disandang.
Lalu siapakah di antara keduanya yang memiliki derajat kewarasan lebih tinggi ? sayangnya mereka yang berpakaian rapi memandang gembel-gembel sebagai orang yang tidak waras, penyakit sosial dan sampah masyarakat.
Beberapa pekan terakhir dunia birokrasi sedang disibukkan oleh pendataan pegawai, ada cerita yang patut disimak sebagai bahan kajian sadar kesehatan jiwa "dua hari ibu yang usianya genap lima puluh tahun tidak masuk kerja, ijin sakit sesak nafasnya kambuh" selidik punya selidik ternyata sang ibu ini sedang memikirkan nasibnya sebagai penerima honor dari pemerintah dan sedang meminang jabatan pengawas pemilihan umum, bila diterima ibu ini harus memilih, dipikirlah dari waktu ke waktu, bila dilepas honorernya, di Bawaslu hanya sementara waktu, tapi gajinya cukup menggiurkan.
Pegawai di sebuah instansi pemerintah ini menjadi tenaga honorer selama dua puluh empat tahun, dalam data pra finalis ia tidak menemukan namanya, padahal seluruh syarat telah dipenuhi, berulang dipandangi nama-nama yang mirip atau sama dengan namanya, sekali lagi namanya selalu menghilang secepat kilat. Pegawai ini tidak mau menyampaikan masalah ini kepada teman-teman atau pihak yang berkompeten, dipendam sendiri, seperti ibu di atas, penyakit sesaknya kambuh dan disertai vertigo, seakan tidak ada lagi harapan, pupuslah semua usaha.
Hanya orang-orang yang sadar kesehatan jiwa yang merasakan rumit dan pelik ketika hidup ini dijumpai masalah, terlebih lambat dalam menemukan solusi atau selalu bertemu dengan jalan buntu, sehingga sadar kesehatan jiwa berubah menjadi tidak sadaran dan berkurang kesehatan jiwanya.