Mohon tunggu...
Mukhamad Hamid Samiaji
Mukhamad Hamid Samiaji Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Penulis, freelance, dan design grafis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengistimewakan Anak-anak Difabel

1 Oktober 2023   11:00 Diperbarui: 1 Oktober 2023   11:19 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari yang lalu, saya diberi kesempatan untuk mengajar di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) tingkat SMP yang ada di Purwokerto. Ini adalah pengalaman baru bertemu dengan anak-anak yang istimewa. Sebab biasanya mengajar anak-anak normal seperti pada umumnya, tapi kali ini benar-benar bertemu dengan anak-anak luar biasa. Pertama kali menginjakkan kaki kanan di dalam ruang kelas, sontak saya langsung terdiam dan dikejutkan dengan berbagai perilaku setiap anak yang memiliki keterbelakangan mental berbeda-beda. Di sana, saya banyak sekali menemukan anak-anak istimewa. Namun, saya hanya akan bercerita tentang tiga anak istimewa.

 

Pertama, cerita tentang si Joy.

Pagi itu, susasana kelas mendak riuh.

“Joy, sakit tau?” teriak dimas kesakitan.

“Joy, yang baik ya? Ayo segera minta maaf dan bersalaman sama Dimas?” perintahku pada si Joy.

“Ah, mending aku pulang saja, Kak!” jawab si Joy penuh emosi.

“Ya, sudah Joy duduk di sebelah sini dulu ya. Tapi jangan memukul temannya lagi ya. Coba kalau Joy yang dipukul bagaimana rasanya? Sakit, kan?” ucapku yang sedikit bingung berusaha melerai anak istimewa itu.

“Iya, Kak.”

Joy adalah anak laki-laki berusia 11 tahun. Ia didiagnosis mengalami keterbelakangan mental sulit mengontrol emosi dan suka memukul teman-temannya setiap hari. Hal yang menarik untuk disimak dari kisah Joy adalah sejak berusia empat tahun ia memang berbeda dari kebanyakan anak seusianya.

 

“Pada usia empat tahun, Joy bersekolah di PAUD Permata Hati. Pada waktu itu guru di sekolah menyarankan kepada Ibunya agar dimasukkan ke SLB dengan alasan ia sulit meredam emosinya dan banyak teman-temannya yang menangis yang dibuat olehnya. Pada waktu itu Ibunya tidak terima. Ia marah karena ia berpendapat kalau si Joy sama dengan anak normal lainnya. Di rumah, Joy bisa mewarnai, menggambar, dan berbicara dengan baik. Setelah masuk SD, Ibunya baru tersadar dan menerima kenyataan bahwa Joy harus disekolahkan di SLB. Meskipun demikian, Ibu si Joy masih memiliki harapan kalau suatu hari nanti Joy bisa kembali normal seperti anak lainnya.”

Di balik kekurangan Joy, ada satu keistimewaan dari Joy yang membuatku terkagum, yakni setiap kali pulang sekolah ia selalu menyempatkan diri ke ruang guru untuk berpamitan ke semua guru dan mengatakan “Bu, Pak, Joy pulang dulu ya. Jangan lupakan nama baik Joy, ya Bu, Pak”.

Kedua, cerita tentang si Dimas.

Sewaktu istirahat saya melihat Dimas yang asyik menatap beberapa koin uang yang terisolasi di tangannya tapi nampak dipenuhi rasa bingung dan tidak tahu. Akhirnya, saya pun mendekatinya.

“Hai, Dimas. Apa yang sedang kamu lakukan?”

“Ini Kak, aku mau tanya, ini si jumlah uangnya berapa?” tanya Dimas sambil menunjukkan beberapa koin uang yang tersisolasi rapi.

“Oh, ini yang satu jumalahnya sembilan ribu. Lalu, yang satu ini ada empat ribu. Coba jumlahnya berapa?” tanyaku mencoba.

Dimas terdiam dan mencoba berpikir lama.

“Nggak tau kak. Aku ke kantor dulu ya kak mau nukar uangnya sama Bu Guru Ayu”

“Lho, Dimas ingin menukarkan uangnya dengan uang kertas?

“Iya, Kak”

Setelah melihat kejadian itu, saya mencari informasi tentang Dimas pada Bu Guru Ayu. Teryata, si Dimas ini didiagnosis mengalami keterbelakangan mental sulit memahami nilai uang sekalipun ia tahu uang itu dapat digunakan untuk membeli sesuatu, tapi ia belum bisa memahami jumlah uang.

Satu hal yang menarik dari si Dimas ini adalah ia menunjukkan karyanya dengan bangga berupa kipas pendingin gawai yang dibuat dari kipas bekas CPU dan menghubungkannya ke powerbank hingga menyala. Selain itu, ia juga menceritakan telah membuat mobil-mobilan di rumahnya.

 

Ketiga, cerita tentang si Elsa yang mengalami hambatan dalam beberapa kemampuan membantu diri sendiri (self-help). Waktu itu, saya meminta anak-anak untuk membuat patung yang terbuat dari gypsum dan bunga dari kain flannel. Semua teman-temannya berhasil menyelesaikan tugasnya, namun tidak dengan Elsa. Ia memilih untuk tidak menyelesaikannya.  Namun, di balik kekurangannya ia memiliki keistimewaan memiliki rasa sabar yang lebih. Sekalipun di ledek sama teman-teman yang lainnya ia tidak pernah marah ataupun membalasnya.

Masih ada cerita lain di luar sana yang sama seperti peristiwa di atas. Kita barangkali pernah melihat atau mendengar seorang anak yang mengalami kesulitan mengontrol emosi maupun kesulitan dalam belajar terutama di sekolah yang disebabkan oleh gangguan perkembangan dan pertumbuhan atau difable (istilah bagi seseorang yang memiliki keterbelakangan). Akibatnya, banyak anak yang mengalami tekanan oleh tuntunan orang tua yang sering kali tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya pada anak. Untuk kasus Joy, Dimas, atau Elsa di atas, ketidaktahuan orang tua akan kondisi mereka dan ketakutan orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya memiliki kondisi yang berbeda dengan anak lain mengakibatkan kondisi mereka tidak diketahui sejak dini. Untuk itu, penting bagi setiap orang tua untuk selalu memperhatikan dan mendampingi tumbuh kembang anak dengan baik.

Kita tentu pernah mendengar adanya sejumlah anak yang luar biasa. Mereka tergolong luar biasa karena berbeda dari anak-anak lainnya, baik dalam kemampuan mental, fisik, sensoris, perilaku sosiemosional, komunikasi, dan jenis dari sejumlah kemampuan di atas. Mereka yang luar biasa memiliki “keunggulan” yang juga luar biasa pada satu atau lebih kemampuannya, sering disebut sebagai anak berbakat. Seperti halnya cerita tentang Dimas di atas, misalnya. Sekalipun memiliki keterbelakangan mental, namun di sisi lain ia juga memiliki bakat di bidang mekanik.

Dengan keberbakatanya yang sangat menonjol dibanding anak-anak lain inilah sudah seharusnya mereka mendapat pendidikan yang juga “luar biasa”. Mereka sepantasnya untuk diistimewakan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kondisi khusus yang dimiliki serta kebutuhan untuk pengembangan dirinya. Namun, untuk memahami berbagai pendekatan yang sesuai untuk anak-anak seperti Joy, Dimas, dan Elsa perlu kita pahami lebih dahulu mengenai keterbelakangan mental seutuhnya. Mulai dari memahami kriteria dalam mendiagnosisnya, mengidentifikasinya sejak dini, pengukuran secara psikologis, faktor-faktor penyebabnya, hingga penanganan yang sesuai untuk mereka.

Dengan demikian, maka harapan anak-anak luar biasa ini bisa terwujud untuk memperoleh hak pendidikan maupun hak-hak lainnya secara utuh dengann mengistimewakannya sedini mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun