Mohon tunggu...
hamidah amalia
hamidah amalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psychology Student

enjoy~

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Impostor Syndrome, Si Cerdas yang Ragu dengan Kemampuan Diri

28 Desember 2021   10:35 Diperbarui: 28 Desember 2021   11:45 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Impostor Illustration/http://www.johnholcroft.com/

Istilah impostor sering terdengar dan sempat menjadi booming sejak adanya permainan Among Us yang dimainkan oleh banyak generasi milenial. Arti impostor dalam game tersebut merupakan pemain yang menipu dan bertugas membunuh karakter pemain yang lain secara diam-diam serta mengacaukan permainan. Ternyata di dalam psikologi, ada istilah impostor syndrome.

Impostor syndrome atau Impostor Phenomenon pertama kali dijelaskan oleh Dr Pauline Clance dari pengamatan observasinya dalam setting klinis (Clance & Imes, 1978). Impostor syndrome merupakan kondisi yang terjadi dimana seseorang merasa kurang memiliki kemampuan diri ataupun kepandaian serta merasa telah "menipu" orang lain bahwa dirinya bukanlah seperti yang terlihat sebenarnya (Wulandari & Tjundjing, 2007). 

Orang dengan sindrom ini merasa khawatir, cemas hingga depresi karena takut orang lain akan tahu jika dirinya adalah seorang penipu yang terlihat kompeten sehingga tidak layak mendapatkan banyaknya keberhasilan dan prestasi yang telah diraihnya.

"Ada kekhawatiran ketahuan, sebab ia merasa selama ini melakukan penipuan atau berbuat curang. Padahal pencapaian atau prestasi itu nyata karena memang benar-benar pintar" kata Nuning, Dosen Fakultas Psikologi UGM yang dimuat di laman resmi UGM, 18 Oktober 2020.

Meskipun dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) impostor syndrome tidak termasuk penyakit jiwa, namun dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sindrom ini cukup banyak ditemui dalam masyarakat.

Pada awalnya Clance dan Imes menduga bahwa hanya kaum perempuan berprestasi tinggi yang mengalami sindrom ini. Tetapi kemudian berbagai penelitian telah menemukan bahwa impostor syndrome ini dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Mereka juga mengatakan bahwa semakin tinggi pencapaian akademik yang diraih, maka semakin menguatkan terjadinya seseorang mengalami sindrom tersebut (Ferrari et al., 2005).

Dr Pauline Rose Clance menjelaskan enam karakteristik potensial yang dimiliki oleh impostor. Jika seseorang memiliki minimal dua dari enam karakteristik tersebut, maka orang tersebut mengalami impostor syndrome. 

Enam karakteristik tersebut adalah mengalami impostor cycle, kebutuhan menjadi yang terbaik atau sempurna, cenderung perfeksionis, takut mengalami kegagalan, menyangkal kompetensi pribadi dan mengabaikan pujian, serta takut merasa bersalah saat sukses.

Gejala atau tanda-tanda seseorang mengalami impostor syndrome yaitu antara lain sering meragukan kemampuan dirinya sendiri, sering mengaitkan kesuksesan dan pencapaian dengan faktor eksternal, tidak mampu menilai kompetensi dan keterampilan diri secara objektif, dan merasa akan gagal suatu hari.

Menurut Young (2004), seorang peneliti sekaligus penulis buku yang telah melakukan penelitian pada orang-orang sukses, ia berhasil mengidentifikasi beberapa tipe impostor syndrome, yaitu antara lain :

1. The Perfectionist

Seorang perfeksionis adalah orang yang ingin segala sesuatunya dapat terselesaikan dengan sempurna. Tetapi, mereka akan menjadi gelisah, cemas, hingga khawatir dan kemudian meragukan dirinya sendiri ketika gagal mencapai target yang telah ditentukan.

2. The Superhero

Tipe ini adalah seseorang yang meyakini bahwa dirinya mampu melakukan segala hal. Hal ini disebabkan karena mereka bekerja sangat keras daripada orang-orang di sekitarnya serta memiliki sifat ambisius yang tinggi.

3. The Expert

Seseorang yang bertipe ini akan mengukur kompetensi dan pengetahuannya berdasarkan seberapa banyak hal yang ia ketahui dan mampu dilakukan. Mereka sangat takut jika dikenal sebagai orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki pengetahuan.

4. The Natural Genius

Mereka adalah orang-orang yang mampu menguasai kemampuan baru secara cepat. Ketika orang dengan tipe ini membutuhkan waktu yang lama untuk memahami suatu hal, mereka akan merasa malu dengan dirinya sendiri.

5. The Individualist

Seseorang yang individualis dikenal sebagai orang dengan rasa individual yang tinggi. Mereka lebih suka bekerja sendiri daripada berkelompok. Meminta bantuan pada orang lain hanya akan menunjukkan kelemahan mereka.

Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan seseorang dapat mengalami impostor syndrome ini. Pertama adalah dari faktor keluarga. Lingkungan keluarga dan pola asuh orang tua dapat mempengaruhi cara seseorang menilai dan menghadapi kesuksesan maupun kegagalan. Keluarga yang terlalu gila prestasi dan kesuksesan, kurang menghargai pencapaian, dan kurang melatih respon anak dalam menerima kesuksesan ataupun kegagalan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk tumbuhnya sifat impostor syndrome tersebut. Karena seorang anak yang kurang mendapat pengakuan dan dukungan dari keluarga akan dapat sulit menerima keberhasilannya sehingga akan cenderung menjadi seorang impostor ketika ia dewasa.

Faktor kedua yaitu dari faktor kepribadian dan sifat individu sendiri. Sifat perfeksionisme dan neurotisme seperti cenderung gelisah, depresi, dan meragukan diri sendiri yang ada dalam kepribadian seseorang cenderung akan memicu munculnya impostor syndrome. Hal ini berhubungan dengan impostor cycle dimana seorang impostor ketika ingin mengerjakan sesuatu dengan perfect atau sempurna, tetapi justru gairah akan kesempurnaannya tersebut membuatnya menjadi semakin takut, gelisah, dan ragu pada diri sendiri sehingga tidak dapat menerima kesuksesannya tersebut sebagai hasil dari kemampuannya sendiri (Sakulku & Alexander, 2011).

Sifat perfeksionis seringkali meningkat saat seseorang mendapatkan peran baru, seperti menjadi mahasiswa baru atau karyawan baru. Oleh karena itu, kalangan tersebut cenderung lebih mengalami impostor syndrome daripada orang-orang yang sudah lama berada pada jenjang tersebut. Kepribadian perfeksionis akan semakin bertumbuh dalam sebuah lingkungan yang kompetitif dan berstandar sosial yang tinggi. Semakin tinggi budaya kompetitif tersebut dalam suatu kelompok, maka akan semakin tinggi pula tingkat impostor syndrome yang akan dialami anggota dalam kelompok tersebut (Canning et al., 2020).

Dampak negative yang ditimbulkan impostor syndrome seperti depresi dan kecemasan yang berlebihan, membuat masalah ini perlu dihadapi dan diminimalisir. Terdapat beberapa cara dalam menghadapi impostor syndrome yang dikategorikan menjadi internal dan eksternal. Secara internal, seseorang dapat melakukan refleksi, menyadari, serta menerima segala kemampuan dan kelemahan yang ada. 

Hal ini membantu kita untuk menjadi sepenuhnya sadar atas keadaan kita saat ini dan lebih mengapresiasi diri sendiri. Secara eksternal, seseorang dapat berfokus pada proses pembelajaran daripada hasil yang didapat. Hal ini membantu kita untuk menikmati proses yang kita lakukan sehingga lebih menghargai hasil yang kita capai. 

Berikutnya adalah membicarakan hal ini dengan orang yang dipercaya. Dengan menceritakannya ke orang lain, secara tidak langsung, kita membuka "penipuan" yang kita lakukan sehingga menghilangkan rasa takut kita. Dengan saling bercerita, kita juga dapat menyadari bahwa kita bukanlah satu-satunya orang yang mengalami gejala ini. Selain itu, kita juga bisa melakukan terapi atau konsultasi dengan psikolog. Cara eksternal ini terbukti lebih signifikan mengurangi tingkat impostor syndrome (Barr-Walker et al., 2020).

Dalam pidatonya di kelulusan Harvard, Natalie Portman membagikan pengalamannya menghadapi impostor syndrome. "Kadang, ketidakpercayaan diri dan perasaan kurang berpengalaman mengarahkan kamu untuk mengamini ekspektasi, standar, atau nilai orang-orang lain. Namun, kamu perlu mengendalikan perasaan tersebut agar bisa mengukir sendiri jalanmu, jalan yang bebas dari beban mengetahui bagaimana sesuatu seharusnya menjadi. Jalan yang didefinisikan sendiri atas dasar alasan-alasan tertentu. Prestasi akan tampak indah saat kamu tahu kenapa kamu melakukan sesuatu untuk memperolehnya. Dan bila kamu tidak mengetahuinya, prestasi bisa jadi jebakan mengerikan," ungkapnya (Harvard University, 2015).

 

 

REFERENSI

Barr-Walker, J., Werner, D. A., Kellermeyer, L., & Bass, M. B. (2020). Coping with impostor feelings: Evidence based recommendations from a mixed methods study. Evidence Based Library and Information Practice, 15(2), 24--41.

Canning, E. A., LaCosse, J., Kroeper, K. M., & Murphy, M. C. (2020). The effect of perceived classroom competition on the daily psychological experiences of first-generation college students. Social Psychological and Personality Science, 11(5), 647--657.

Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241.

Ferrari, J. R., O'Callaghan, J., & Newbegin, I. (2005). Prevalence of Procrastination in The Unites States, United Kingdom, and Australia: Arousal and Avoidance Delays Among Adults. North American Journal of Psychology, 7, 1--6.

Harvard University. (2015). Natalie Portman Harvard Commencement Speech | Harvard Commencement 2015. https://www.youtube.com/watch?v=jDaZu_KEMCY

Sakulku, J., & Alexander, J. (2011). The Impostor Phenomenon. International Journal of Behavioral Science, 6(1), 75--97.

Wulandari, A. D., & Tjundjing, S. (2007). Impostor Phenomenon, Self-Esteem, dan Self-Efficacy. Indonesian Psychological Journal, 23(1), 63--73.

Young, V. (2004). How to feel as bright and capable as everyone seems to think you are: What every woman (and man) needs to know about competence, the imposter syndrome, and the art of winging it. http://paesmem.stanford.edu/html/proceedings_8.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun