Sifat perfeksionis seringkali meningkat saat seseorang mendapatkan peran baru, seperti menjadi mahasiswa baru atau karyawan baru. Oleh karena itu, kalangan tersebut cenderung lebih mengalami impostor syndrome daripada orang-orang yang sudah lama berada pada jenjang tersebut. Kepribadian perfeksionis akan semakin bertumbuh dalam sebuah lingkungan yang kompetitif dan berstandar sosial yang tinggi. Semakin tinggi budaya kompetitif tersebut dalam suatu kelompok, maka akan semakin tinggi pula tingkat impostor syndrome yang akan dialami anggota dalam kelompok tersebut (Canning et al., 2020).
Dampak negative yang ditimbulkan impostor syndrome seperti depresi dan kecemasan yang berlebihan, membuat masalah ini perlu dihadapi dan diminimalisir. Terdapat beberapa cara dalam menghadapi impostor syndrome yang dikategorikan menjadi internal dan eksternal. Secara internal, seseorang dapat melakukan refleksi, menyadari, serta menerima segala kemampuan dan kelemahan yang ada.Â
Hal ini membantu kita untuk menjadi sepenuhnya sadar atas keadaan kita saat ini dan lebih mengapresiasi diri sendiri. Secara eksternal, seseorang dapat berfokus pada proses pembelajaran daripada hasil yang didapat. Hal ini membantu kita untuk menikmati proses yang kita lakukan sehingga lebih menghargai hasil yang kita capai.Â
Berikutnya adalah membicarakan hal ini dengan orang yang dipercaya. Dengan menceritakannya ke orang lain, secara tidak langsung, kita membuka "penipuan" yang kita lakukan sehingga menghilangkan rasa takut kita. Dengan saling bercerita, kita juga dapat menyadari bahwa kita bukanlah satu-satunya orang yang mengalami gejala ini. Selain itu, kita juga bisa melakukan terapi atau konsultasi dengan psikolog. Cara eksternal ini terbukti lebih signifikan mengurangi tingkat impostor syndrome (Barr-Walker et al., 2020).
Dalam pidatonya di kelulusan Harvard, Natalie Portman membagikan pengalamannya menghadapi impostor syndrome. "Kadang, ketidakpercayaan diri dan perasaan kurang berpengalaman mengarahkan kamu untuk mengamini ekspektasi, standar, atau nilai orang-orang lain. Namun, kamu perlu mengendalikan perasaan tersebut agar bisa mengukir sendiri jalanmu, jalan yang bebas dari beban mengetahui bagaimana sesuatu seharusnya menjadi. Jalan yang didefinisikan sendiri atas dasar alasan-alasan tertentu. Prestasi akan tampak indah saat kamu tahu kenapa kamu melakukan sesuatu untuk memperolehnya. Dan bila kamu tidak mengetahuinya, prestasi bisa jadi jebakan mengerikan," ungkapnya (Harvard University, 2015).
Â
Â
REFERENSI
Barr-Walker, J., Werner, D. A., Kellermeyer, L., & Bass, M. B. (2020). Coping with impostor feelings: Evidence based recommendations from a mixed methods study. Evidence Based Library and Information Practice, 15(2), 24--41.
Canning, E. A., LaCosse, J., Kroeper, K. M., & Murphy, M. C. (2020). The effect of perceived classroom competition on the daily psychological experiences of first-generation college students. Social Psychological and Personality Science, 11(5), 647--657.
Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241.