Mohon tunggu...
Hamid
Hamid Mohon Tunggu... Tutor - Wiraswasta

Suka menulis apa saja, tapi lebih suka olahraga dan politik tanah air

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menembus Asa dari Kerasnya Jalanan: Kisah Kurir JNE yang Kerap Dipandang Rendah Namun Berjasa Bagi Banyak Orang

28 Juli 2024   10:03 Diperbarui: 28 Juli 2024   11:34 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 gambar: Kuriran.id

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan teman lama yang bekerja sebagai kurir JNE Express di salah satu kota kecil di provinsi Kalimantan Selatan. Sebut saja Sugandi, pria berambut keriting dengan tinggi 170 an cm dan wajah yang tidak sebersih sebelum dia mengais rezeki di jalanan. 

Saat itu saya dan dia bertemu di jalan besar di tengah kota itu, lalu kami melipir ke salah satu taman di kota tersebut yang kerap jadi tempat bersantai dan menikmati berbagai jajanan yang harganya cukup ramah dikantong untuk orang seperti kami. Setelah memarkirkan motor, kami menuju ke seorang kakek penjual dawet yang sudah tua renta, namun masih gigih mencari sekeping rezeki untuk keluarganya.

Setelah memesan, kami duduk di kursi panjang terbuat dari semen yang terlihat usang seolah dibiarkan tanpa perbaikan. Saat itu awalnya Gandi bertanya kepada saya tentang kehidupan saya saat ini, namun setelah saya bertanya ia terlihat muram seakan malu dengan keadaannya. 

"Aku ya beginilah mid, bekerja sebagai kurir di JNE Express untuk menghidupi keluarga kecilku." Kata Sugandi.

Wajahnya menunduk, kakinya bergetar, tangannya bergerak kesana kemari saat menjawab pertanyaan itu.

"Tidak apa-apa bro, selagi halal kenapa harus malu?" Jawabku sambil menepuk pelan pundaknya.

...

Sugandi yang tampak muram melanjutkan omongannya, seolah ada sesuatu yang harus dia ceritakan.

"Kalau kau mau tahu mid, sebelum kerja disana, kehidupan kami serba kekurangan, aku kerja sebagai pekerja harian di ladang dan pekerjaan serabutan lainnya, istriku juga hanya bekerja sebagai kuli cuci di rumah tetangga, jelas itu tidak bisa mencukupi kebutuhan kami dan kedua anakku..." Kata Sugandi.

"Saking susahnya dulu, setiap ada hajatan, aku selalu minta berkat walau sepiring ke tuan rumah buat istri dan anak dirumah, sebenarnya aku malu, tapi keadaan membuat aku harus menanggalkan urat malu ku, saat itu aku benar-benar tidak mempunyai uang untuk sekedar membeli beras." Lanjutnya lagi.

"Kenapa tidak minta bantuan ke keluargamu ndi?" Tanyaku lagi.

"Hmm... kamu tahu sendirilah mid, keluarga ku ekonominya seperti apa..." Kata Sugandi sambil menghela nafas.

"Keluarga istrimu?" Tanyaku lagi sambil mengernyitkan dahi.

"Semenjak menikah, mertuaku terutama ibu mertua memang seperti tidak suka denganku karena mungkin pekerjaanku yang tidak sesuai dengan harapannya..." Jawab Sugandi.

"Saat aku minta bantuan, beliau memang memberinya, namun dari ekspresi beliau aku tahu bahwa kehadiran ku dibenci olehnya..." 

"Aku tidak bisa marah, aku juga sadar diri mid..."

"Karena itulah setelah beberapa bulan, aku berpikir kalau masih bertahan kampung, mungkin keluarga ku akan terus menderita." Terang Sugandi mengakhiri penjelasannya.

"Iya terus gimana hingga kau bisa sampai di kota ini?" Tanyaku.

"Jangan kau jawab dulu, ini rokok (sambil menyodorkan rokok lenteng yang dibawanya dari rumah), tenang dulu, isap dulu rokoknya ndi" Kataku.

...

Busssshhh... asap putih pun keluar dari mulut keduanya, tak lama kemudian Sugandi berkata.

"Iya seperti yang ku bilang tadi, aku sudah lelah dengan keadaan dan kami memutuskan untuk merantau ke kota ini..."

"Beruntung setelah 1 bulan disini, ada lowongan kurir di JNE Express dan sejak saat itulah aku bekerja disana sampai sekarang." Lanjut Sugandi.

"Gajinya bagaimana ndi?" Tanyaku lagi.

"Alhamdulillah mid, semenjak jadi kurir JNE kebutuhan primer anak istriku terpenuhi, kami juga bisa menabung sedikit perbulannya dari sisa penghasilanku, tapi..." Kata pria berusia 28 tahun itu.

"Tapi apa?" Tanyaku.

"Tapi mertua ku masih belum mengganggapku seutuhnya, satu perkataan yang tak akan ku lupakan sampai sekarang ialah..."

"Orang itu baru bisa dibilang berhasil kalau jadi PNS, kamu apa? Cuma kurir." Kata Sugandi lirih.

Jleeb aku yang mendengarnya pun langsung tersentak.

"Astagfirullah... bisa-bisanya beliau berkata begitu." Kataku.

"Begitulah mid, beliau sama seperti mertua Baby Boomer kebanyakan yang menjunjung tinggi profesi PNS." Jawab Sugandi.

"Iya tapi sukses itu bukan hanya jadi PNS atau profesi berseragam lainnya, menurutku kurir justru pekerjaan yang mulia, karena bisa melayani banyak orang setiap harinya..." Kataku.

"Kau pikir kalau tidak ada kurir barang orang akan sampai dengan sendirinya, kau harusnya bangga jadi kurir, kurir adalah ujung tombak perusahaan, meski tak berdasi, tampak kotor dengan debu jalanan, panas-panasan, hujan-hujanan, belum lagi resiko kecelakaan, tidak semua orang bisa menjadi kurir seperti dirimu." Lanjutku.

...

Setelah mendengar kata-kataku, raut sedih di wajah Sugandi tadi mulai menghilang, wajah sumringah yang kerap ditutupinya akhirnya kembali muncul.

Sambil meminum dawet yang hampir habis, dalam hati aku berkata "Ternyata hidupku tak seburuk itu, masih banyak orang diluar sana yang memiliki problematika hidup jauh lebih banyak dariku, walau aku kerap dianggap sebagai pengangguran karena hanya hanya bekerja sebagai freelancer tapi kehidupanku masih lebih mudah daripada orang lain yang harus bertaruh nyawa di jalanan demi menyambung kehidupan."

Tak lama setelah itu kami berpisah dan kembali ke kehidupan masing-masing untuk menghadapi realita hidup yang penuh tantangan.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya 

* Note: artikel ini tidak bermaksud mendiskreditkan profesi tertentu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun