Oleh: Fathul Hamdani & Ana Fauzia
"Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk membuat norma dan normal baru (memperbarui kebiasaan, tingkah laku, dan berbagai aturan). Hak kesehatan adalah HAM, yang muncul karena demokratisasi, maka rasanya kurang elok bila hak kesehatan dikorbankan atas nama demokrasi".Â
Perkembangan penyebaran wabah pandemi secara signifikan terus meningkat, tidak terkecuali negara Indonesia menjadi negara terdampak akibat wabah pandemi ini. Dengan mengingat bahaya wabah tersebut, melalui mandat yang tertuang dalam  pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Presiden kemudian menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan.
Merujuk ke dalam kajian hukum tata negara darurat, penetuan keadaan darurat ini masih dalam lingkup staatsnoodrecht, dimana negara diwajibkan mengeluarkan kebijakan untuk menghadapi situasi darurat (Asshiddiqie, 2012). Implementasi kebijakan tersebut tertuang kedalam penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar berupa Pembatasan-pembatasan yang mulai dilakukan dan himbauan untuk menghindari kegiatan yang melibatkan orang banyak mulai diterapkan.
Jika melihat secara masif dan komprehensif, akibat dari pandemi ini ternyata berdampak keberbagai lini sektor, salah satunya ialah sektor ketatanegaraan. Dalam hal ini, yang menjadi sorotan adalah ketika pandemi datang pada saat tahun politik yakni  agenda pemilihan kepala daerah. Dalam konteks pemilihan kepala daerah Tahun 2020, seluruh aktor pilkada meliputi penyelenggara, bakal calon hingga partai partai politik sepenuhnya menunggu respon dan sikap tanggap pemerintah terkait keadaan pandemi covid-19.Â
Secara teknis sebagai antisipasi penyebaran covid-19, Komisi Pemilihan Umum telah mengeluarkan kebijakan yang tertuang di dalam Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau WaliKota dan Wakil WaliKota Tahun 2020.
Secara filosofi kehadiran suatu negara memiliki peran yang signifikan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Terminologi kedaulatan rakyat merujuk pada suatu kekuasaan tertinggi berada pada rakyat sebab dalam pembentukan negara menurut John Locke rakyat berperan dalam membentuk suatu kesatuan Negara melalui Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis. Perjanjian antar negara dengan yang disebut pactum unionis dan pactum subjectionis melahirkan adanya penjagaan dan perlindungan maksimum terhadap kepentingan rakyat.
Lahirnya kedaulatan rakyat sebagai the supreme of authority didasari oleh suatu asas yang berbunyi solus populous supreme lex, kepentingan rakyat adalah hukum paling tertinggi. Hal tersebut dikuatkan dengan pengukuhan kedaulatan rakyat dalam Konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (2) "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".Â
Sebagaimana diungkapkan oleh Jean Bodin dalam bukunya De La Republique bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi yang bersifat absolute. Maka dengan dikukuhkannya rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi melalui konstitusi agar menjamin segala kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemangku kebijakan haruslah senantiasa didasarkan pada kepada kepentingan rakyat.Â
Hal ini tidak terlepas dari tujuan bernegara yang termaktub dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni "......melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia....." Ia bukan hanya sekedar tujuan bernegara, namun juga merupakan norma dasar atau Grundnorm dalam setiap penyelenggaraan negara, salah satunya adalah pelaksanaan Pilkada.
Pemikiran mengenai kedaulatan rakyat sesungguhnya mesti dipahami dari berbagai sudut pandang, dengan adanya wabah Covid 19 menjadi sebuah ancaman besar ditengah masyarakat, angka korban yang tidak kunjung menurun dan cenderung fluktuatif dari hari kehari membuktikan bahwa peran pemerintah dan kesadaran masyarakat masih sangat kurang, sehingga mitigasi pandemi seharusnya menjadi perhatian utama.Â
Pilkada tidak terbatas pada persoalan pemungutan suara, namun terdiri dari beberapa rangkaian mulai dari pendaftaran calon, verifikasi data lapangan, kampanye, dll, yang berpotensi menimbulkan kerumunan masa. Hal inilah yang dikhwatirkan akan semakin meningkatkan potensi penularan Covid-19 dan justru akan memperburuk keadaan dan bukannya menyelesaikan problem yang saat ini terjadi.
Sebagaimana data yang didapatkan dari laman resmi Kemenkes RI per 13 November 2020, bahwa tercatat adanya sebanyak 5.444 kasus baru pada hari Jumat (13/11/2020). Maka, total kumulatif kasus Covid-19 di Tanah Air sebanyak 457.735 kasus. Walaupun dari segi penyelenggaraan akan tetap diberlakukan sesuai dengan protokol kesehatan dan Pemerintah telah menyepakati untuk memberikan penambahan dana sebesar 4,7 M untuk keperluan dan kebutuhan dilapangan kepada penyelenggara, namun peserta dan pemilih tetaplah menjadi perhatian utama. Sehingga jangan sampai pelaksanaan Pilkada justru menjadi cluster baru penyebaran Covid-19.
Dalam teori state responsibility (tanggung jawab negara), bahwa negara pada dasarnya memiliki tanggungjawab untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, memelihara ketertiban dan keamanan bagi warga negara. Hak-hak warga negara dalam hal ini tentu mencakup perlindungan terhadap hak kesehatan sebagaimana juga termuat dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, bahwa pemenuhan hak asasi warga negara merupakan tanggung jawab Pemerintah.
Selain itu, adanya potensi berkurangnya partisipasi publik juga sangat mempengaruhi kualitas pelaksanaan Pilkada. Dengan melihat realitas yang terjadi saat ini ditengah pandemi Covid-19, di mana tahapan-tahapan pelaksanaan Pilkada termasuk kampanye maupun sosialisasi paslon tidak akan mampu secara efektif menyisir masyarakat-masyarakat secara keseluruhan, maka hal tersebut akan berdampak terhadap partisipasi masyarakat, yakni menurunnya partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemilihan, baik karena masyarakat tidak terlalu mengenal paslon yang akan mereka pilih maupun karena takut terhadap potensi penularan Covid-19.Â
Potensi berkurangnya partisipasi masyarakat ini dapat dianalisa melalui adanya penurunan indeks kepercayaan masyarakat, sebagaimana hasil survey nasional Saiful Mujani Research and Consulting  (SMRC) bahwa kepercayaan warga negara terhadap jalannya demokrasi di Indonesia menurun  pada masa Covid-19. Terlebih lagi ditengah keterbatasan pelaksanaan Pilkada dan keterbatasan-keterbatasan dalam mencari paslon kepala daerah yang berkualitas.
SKENARIO YANG BISA DITAWARKAN: PENGATURAN DI DALAM UU PILKADA
Apabila merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam UU No.10/2016 tentang perubahan kedua atas UU No.1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Maka terdapat beberapa mekanisme yang bisa dilakukan apabila terjadi kondisi yang memaksa atau memungkinkan tahapan pemilihan kepala daerah harus ditunda. Pilihan tersebut salah satunya adalah pemilihan lanjutan.Â
Di dalam Pasal 120 UU Pilkada menyebutkan bahwa pemilihan lanjutan adalah sebuah mekanisme penundaan Pilkada yang nanti melanjutkan tahapan yang terhenti, adapun syarat ditetapkannya pemilihan lanjutan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 120 ayat (1), yakni:
"Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan Pemilihan lanjutan".
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 120 UU Pilkada maka dalam kondisi force majeure, pelaksanaan Pilkada dapat dilakukan penundaan. Jika merujuk pada kondisi saat ini, Pandemi Covid-19 merupakan bencana yang bersifat non-alam, namun di dalam Pasal 120 UU Pilkada terdapat frasa "atau gangguan lainnya" maka atas dasar demikian, pelaksanaan Pilkada dapat ditunda.Â
Sehingga pemilihan lanjutan merupakan mekanisme yang cukup tepat untuk dilakukan. Selain itu, pondasi dasar tahapan Pilkada pun sudah ditunda, sehingga dalam lingkupnya tahapan hari pemilihan harus turut ditunda, dan perlu dipahami bahwa tidak mungkin untuk menyelenggarakan pilkada secara langsung sementara pandemi belum sepenuhnya selesai. Oleh karena itu Pemerintah seharusnya lebih fokus pada hal-hal yang bersifat fundamental yaitu upaya penanganan wabah pandemi Covid-19.
Menyikapi hal tersebut, Pemerintah memang telah mengeluarkan Perppu No.2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 201A ayat (3) yang menyatakan:
"Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat 121 tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A".
Ketentuan Pasal 210A ayat (3) tersebut merupakan kebijakan hukum yang bersifat terbuka (open legal policy), hal ini memungkinkan adanya penundaan pilkada lanjutan bila kondisi pandemi Covid-19 belum mereda. Hal ini nantinya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan KPU, Pemerintah, dan DPR yang dituangkan dalam Penetapan KPU. Sementara untuk pelaksanaan pilkada lanjutan harus diatur dalam peraturan KPU sebagaimana tercantum dalam Pasal 122A ayat (2) dan (3).
Maka apabila kita mencermati frasa "Pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir". Maka dengan memperhatikan bunyi frasa tersebut, tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada secara langsung namun Pandemi Covid-19 belum berakhir.
Konsekuensi logis dari adanya penundaan pelaksanaan Pilkada adalah adanya kekosongan jabatan. Namun ada dua alternatif yang sekiranya mungkin untuk bisa diterapkan, yang pertama adalah penunjukan Pelaksana Tugas (PLT), dan yang kedua adalah pemilihan secara tidak langsung.
1. Penunjukan PLT
Menurut catatan sejarah, Aceh dan Yogyakarta pernah mengalami penundaan pilkada akibat bencana alam. Namun, Indonesia baru kali ini mengalami penundaan pilkada akibat pandemi yang penyebarannya meluas. Oleh karena itu sebagai bentuk antisipasi terhadap adanya kekosongan jabatan, maka alternatif pola yang diusulkan dalam hal pengisian jabatan adalah melalui penunjukkan pelaksana tugas atau penjabat sementara.
Penunjukkan pelaksana tugas untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah bersangkutan berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk jabatan Gubernur berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU No. 8 Tahun 2015 dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk jabatan Bupati/ Walikota berdasarkan Pasal 201 UU No. 8 Tahun 2015.Â
Dalam hal tanggungjawab dilimpahkan kepada PLT, maka optimalisasi PLT merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Adapun skenario yang harus dijalankan adalah, PLT pada disamping meneruskan program dari kepala daerah sebelumnya, PLT juga memiliki tanggungjawab untuk bersama-sama dengan Pemerintah Pusat dalam melakukan mitigasi pandemi Covid-19. Dengan demikian Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah melalui PLT dapat terfokus dalam penanganan Covid-19 sehingga pandemi ini cepat terselesaikan.
Selanjutnya dengan melihat kewenangan yang terbatas sebagaimana Pasal 132A PP No. 49 Tahun 2008 yakni PLT tidak berwenang mengambil keputusan maupun kebijakan strategis. Maka PLT haruslah terfokus pada program-program atau kebijakan kepala daerah yang sebelumnya untuk pemajuan kesejahteraan rakyat dan bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk melakukan mitigasi Covid-19.Â
Adapun sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan wewenang PLT tersebut apabila Pandemi Covid-19 tidak juga berakhir, sementara kewenangan PLT yang terbatas sangat berpotensi mengganggu roda pemerintahan daerah serta perkembangan daerah, maka alternatif kedua yang bisa dilakukan adalah pelaksanaan Pilkada secara tidak langsung apabila Pandemi Covid-19 tidak juga berakhir di tahun 2021.
2. Pemilihan secara tidak langsung
Pilkada tidak langsung merupakan sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD atau yang dikenal dengan sistem perwakilan (Hutapea, 2015). Sistem ini bukanlah pola baru, tetapi pernah digunakan dalam sejarah perkembangan pilkada di Indonesia. Sebut saja dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah, UU No.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menggunakan mekanisme keterwakilan DPRD sebagai pemilih kepala daerah.
Apabila merujuk pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Adapun jika kita melihat di dalam Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 bahwa Frasa "demokratis" bisa berarti pemilihan secara langsung maupun pemilihan secara tidak langsung. Oleh karena itu pemilihan melalui sistem perwakilan yakni melalui DPRD tidaklah bertentangan dengan Konstitusi.
DPR sendiri merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Sehingga atas dasar kepentingan masyarakat dan perlindungan terhadap masyarakat, maka pemilihan Kepala Daerah dapat dilakukan secara tidak langsung. Kemudian J.J Rousseau dalam teori kontrak sosialnya juga menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya telah menyerahkan kehendak-kehendaknya kepada Pemerintah yang dalam hal ini adalah wakil rakyat demi perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak asasi masyarakat itu sendiri.Â
Lebih jauh J.J Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social juga mengungkapkan bahwa wakil rakyat yang dalam hal ini adalah DPR tidak lain merupakan pembantu daripada rakyat itu sendiri, sehingga DPR sudah semestinya mampu untuk mewujudkan kehendak-kehendak rakyat, yang dalam hal ini adalah memilih Kepala Daerah yang berkualitas.
Oleh karena itu, hukum tidak hanya sekedar dijadikan alat untuk mewujudkan ketertiban semata, namun juga sebagai alat untuk mencapai tatanan kehidupan bermasyarakat yang dicita-citakan.
Pemilihan secara tidak langsung ini juga dinilai akan mengurangi potensi praktik money politik. Di tengah keterbatasan para Paslon dalam mencari suara masyarakat, maka potensi para Paslon Kepala Daerah dalam mencari jalan pintas jauh lebih besar. Terlebih dengan melihat pendidikan hukum masyarakat yang masih rendah sehingga praktik money politik sampai dengan saat ini masih saja terjadi.Â
Namun melalui pemilihan tidak langsung, potensi para paslon kepala daerah untuk melakukan praktik money politik tentu akan berkurang, karena terpilih tidaknya mereka sebagai Kepala daerah ditentukan oleh DPRD. Walaupun potensi praktik money politik di tingkat perwakilan rakyat masih tetap ada, namun potensi tersebut setidaknya dapat diredam, mengingat ruang lingkup dan jangkauan Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu akan lebih kecil, sehingga Bawaslu akan lebih seksama dalam melakukan pemantauan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H