2. Pemilihan secara tidak langsung
Pilkada tidak langsung merupakan sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD atau yang dikenal dengan sistem perwakilan (Hutapea, 2015). Sistem ini bukanlah pola baru, tetapi pernah digunakan dalam sejarah perkembangan pilkada di Indonesia. Sebut saja dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah, UU No.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menggunakan mekanisme keterwakilan DPRD sebagai pemilih kepala daerah.
Apabila merujuk pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Adapun jika kita melihat di dalam Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 bahwa Frasa "demokratis" bisa berarti pemilihan secara langsung maupun pemilihan secara tidak langsung. Oleh karena itu pemilihan melalui sistem perwakilan yakni melalui DPRD tidaklah bertentangan dengan Konstitusi.
DPR sendiri merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Sehingga atas dasar kepentingan masyarakat dan perlindungan terhadap masyarakat, maka pemilihan Kepala Daerah dapat dilakukan secara tidak langsung. Kemudian J.J Rousseau dalam teori kontrak sosialnya juga menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya telah menyerahkan kehendak-kehendaknya kepada Pemerintah yang dalam hal ini adalah wakil rakyat demi perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak asasi masyarakat itu sendiri.Â
Lebih jauh J.J Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social juga mengungkapkan bahwa wakil rakyat yang dalam hal ini adalah DPR tidak lain merupakan pembantu daripada rakyat itu sendiri, sehingga DPR sudah semestinya mampu untuk mewujudkan kehendak-kehendak rakyat, yang dalam hal ini adalah memilih Kepala Daerah yang berkualitas.
Oleh karena itu, hukum tidak hanya sekedar dijadikan alat untuk mewujudkan ketertiban semata, namun juga sebagai alat untuk mencapai tatanan kehidupan bermasyarakat yang dicita-citakan.
Pemilihan secara tidak langsung ini juga dinilai akan mengurangi potensi praktik money politik. Di tengah keterbatasan para Paslon dalam mencari suara masyarakat, maka potensi para Paslon Kepala Daerah dalam mencari jalan pintas jauh lebih besar. Terlebih dengan melihat pendidikan hukum masyarakat yang masih rendah sehingga praktik money politik sampai dengan saat ini masih saja terjadi.Â
Namun melalui pemilihan tidak langsung, potensi para paslon kepala daerah untuk melakukan praktik money politik tentu akan berkurang, karena terpilih tidaknya mereka sebagai Kepala daerah ditentukan oleh DPRD. Walaupun potensi praktik money politik di tingkat perwakilan rakyat masih tetap ada, namun potensi tersebut setidaknya dapat diredam, mengingat ruang lingkup dan jangkauan Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu akan lebih kecil, sehingga Bawaslu akan lebih seksama dalam melakukan pemantauan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H