Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak Politik Mantan Narapidana Korupsi dalam Negara Demokrasi dan Pemilu di Indonesia

2 April 2020   16:16 Diperbarui: 30 Juni 2020   07:53 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pancasila sebagai sebuah ideologi dan acuan sistem demokrasi di Indonesia telah melewati waktu yang panjang. Apabila sebuah negera hendak menjadi suatu negara yang ideal, maka dalam penyelenggaraannya haruslah berlandaskan demokrasi karena pemerintahan yang demokratis akan mencurahkan kebaikan pada rakyat secara keseluruhan. 

Pada dasarnya, demokrasi melekat pada kebebasan dan partisipasi individu. Menggunakan kebebasan, hak-hak sipil dan politik merupakan bagian dari kehidupan yang melekat pada individu sebagai makhluk sosial. 

Partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik mengandung nilai intrinsik bagi kehidupan manusia. Semua itu sejalan dengan cita-cita demokrasi Pancasila.

Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya terungkap dalam pernyataan Abraham Lincoln; bahwa demokrasi adalah suatu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” 

Dari pernyataan ini bisa dinyatakan bahwa demokrasi dibangun di atas dua prinsip, yaitu pemerintahan sendiri dan penetapan atau pembuatan undang-undang secara langsung oleh rakyat (Pierre Rosalvallon, 1995: 140).

Menurut Affan Gafar, selain pemahaman yang bersifat normatif, terdapat pula pemahaman yang bersifat empirik. Pemahaman yang disebut terakhir biasanya dikenal dengan sebutan procedural democracy

Adapun pemahaman demokrasi secara empirik (procedural democracy) biasanya menggunakan sejumlah indikator antara lain seberapa banyak ruang gerak yang diberikan pemerintah kepada warga negara untuk berpartisipasi dan melindungi hak warga negaranya. 

Warga negara atau rakyat (demos), dalam demokrasi selalu mendapatkan perhatian, bahkan terfokus padanya.  Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan warga negara yang senyatanya dalam proses politik (Afan Gafar, 2000: 6). 

Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi: partai politik, organisasi dan asosiasi. 

Namun, diakui bahwa yang memiliki kemutlakan dan kedaulatan adalah manusia atau rakyat. Sehingga dalam hal ini, negara memberikan ruang yang luas dan menjaga hak setiap warga negaranya dalam berpartisipasi di berbagai elemen kenegaraan ataupun kebebasan berpolitik demi terjaganya proses demokrasi yang merupakan spirit dari nilai-nilai Pancasila.

Dalam perjalanannya sampai saat ini, proses demokrasi merupakan langkah dan upaya untuk menciptakan good government and clean government

Hal itu kemudian dilihat dari langkah pemerintah, yakni dengan mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota yang salah satu pasalnya melarang mantan narapidana korupsi maju menjadi calon legislatif. 

Namun keberadaan dari Peraturan KPU ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dengan beberapa ketentuan di dalamnya. 

Sebagaimana asas hukum lex superior derogate legi inferiori (Apabila terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang beda tingkatannya, maka yang tingkatannya lebih tinggilah yang berlaku).

Sehingga dalam hal ini, jika dilihat berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, maka jelas posisi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 memiliki posisi yang lebih tinggi daripada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. 

Hal inilah yang kemudian menjadi acuan dalam putusan MA, yakni pada Kamis (13/9/2018) Mahkamah Agung (MA), telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). 

Pada putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif resmi bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut pun tidak luput dari pro dan kontra. Karena pasalnya mantan narapidana kasus korupsi diberikan ruang untuk maju dalam Pemilu. 

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk memilih wakil dan pemimpinnya secara demokratis demi peningkatan kesejahteraan. 

Sebagai landasan bagi penyelenggaraan Pemilu, Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan agar Pemilu diselenggarakan lebih berkualitas dengan mengikutsertakan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil melalui suatu perundang-undangan. 

Maka dilihat dari prinsip tersebut, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3, negara wajib untuk melindungi hak asasi setiap warga negaranya.
Berkenaan dengan pengertian dan rumusan HAM tercantum dalam:

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang diuraikan dalam lampiran, berupa naskah Hak Asasi Manusia, yaitu pada angka 1 huruf D butir 1: “Hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati universal, universal abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia”.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 1 yaitu “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Perbedaan HAM berdasarkan objek dan kepentingannya atau penggolongan hak-hak asasi yang terkait dengan hak mantan narapidana, yaitu hak-hak asasi politik atau political rights, yakni hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, seperti hak pilih (yaitu memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya. 

Perihal mantan narapidana yang mengajukan diri sebagai calon legislatif merupakan hak politik dari mantan narapidana tersebut untuk dipilih dalam pemilu, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. 

Ikut sertanya mantan narapidana tersebut merupakan HAM mendasar, bahwa manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan dijamin dalam Deklarasi HAM, Konvensi Internasional, UUD NRI 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan nasional lainnya. 

Pada prinsipnya, tiap hak yang dimiliki oleh seseorang sebagai subjek hukum di dalam satu masyarakat dengan serta-merta membawa kewajiban-kewajiban tertentu, baik terhadap seluruh masyarakat atau negara yang melindunginya selaku warga negara maupun terhadap sesama manusia. 

Setiap warga negara juga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Oleh karena itu, mantan narapidana juga berhak mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif.

Beberapa kalangan masyarakat kemudian mengatakan bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang good government and clean government. 

Maka salah satu aspek penilaian calon seorang pemimpin adalah moralitasnya. Moral dibutuhkan pada kehidupan masyarakat dalam bersosialisasi. Individu memandang individu atau kelompok lain berdasarkan moral. Mengenai perilaku, kesopanan, bersikap baik merupakan beberapa sikap dari moral yang dipandang masyarakat. 

Moral dapat memandang masyarakatnya memiliki nilai sosial yang baik atau buruk. Kepribadian sesorang sangat erat kaitannya dalam kegiatan sehari hari. Moral diperlukan demi kehidupan yang damai dan harmonis sesuai dengan aturan, namun ukuran  moralitas setiap orang berbeda-beda. 

Tidak ada yang dapat mengukur secara pasti sejauh mana moral setiap orang. Melihat permasalahan tersebut, maka tidak ada seorangpun yang dapat menjamin orang yang belum pernah tersangkut kasus korupsi pada saat terpilih kemudian tidak akan melakukan korupsi. 

Adapun mantan narapidana kasus korupsi, ketika mereka telah melewati masa hukuman yang panjang dan melakukan penebusan kesalahan dengan dibina di lembaga pemasyarakatan, mereka telah dipersiapkan untuk kembali terjun ke masyarakat, dibina dan dididik bagaimana proses kehidupan sosial yang seharusnya dan bagaimana norma-norma yang ada di masyarakat.

Dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), batas-batas hukum pidana berlaku terhadap seseorang ketika orang itu ditetapkan sebagai tersangka, kemudian terdakwa dan terpidana sampai dengan selesainya menjalani sanksi-sanksi pidana yang telah diputuskan oleh hakim. 

Apabila terpidana telah menjalani pidana sesuai sanksi yang diberikan kepadanya, maka terpidana kembali menjadi orang biasa/subjek hukum yang harus dikembalikan segala hak dan kewajibannya. 

Tujuan dalam hukum pidana adalah penjatuhan sanksi pidana penjara bagi pelanggaran hukum pidana agar kembali menjadi anggota masyarakat  yang terhormat dengan menjalankan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. 

Prinsip-prinsip pokok dan konsepsi pemasyarakatan bukan semata-mata sebagai tujuan dan pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana yang dalam konferensi yang pertama di Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964 dirumuskan lebih lanjut dengan berisi, di antaranya:  

“Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat; negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/Iebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara; Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya; Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila; Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat, narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan.”

PemuIihan kembali hak-hak dan kebebasan orang yang telah menjalani hukuman juga menjadi tujuan sistem pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan tersebut ditujukan agar orang yang telah menjalani hukuman dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab, sebagaimana yang menjadi tujuan dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang berbunyi:  

“Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh Iingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”.

Bahwa untuk mencapai tujuan pemasyarakatan yang demikian, Undang-Undang  Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengembangkan fungsi pembinaan atau pengayoman. Fungsi tersebut secara nyata tertuang dalam Pasal 3 yang berbunyi:  

“Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab”.  

Maka ketika mereka telah selesai dan keluar dari lembaga pemasyarakatan,  mereka telah siap untuk kembali ke masyarakat dan masyarakat harus menerima kehadiran mereka sebagai warga negara yang memiliki kesamaan hak di mata hukum (equality before the law). 

Maka tidaklah etis ketika mereka telah menebus kesalahan mereka, namun mereka tidak diberikan kesempatan untuk ikut kembali berpartisipasi dalam proses demokrasi di Indonesia dan menjalankan hak mereka sebagai warga negara.

Sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 28 D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni, Hak untuk dilindungin, jaminan, pengakuan, perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kesempatan  yang sama dalam pemerintahan. Hal ini pun menjadi spirit lahirnya sila ke-5 Pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Karena pada hakikatnya, setiap warga negara yang telah menjalani masa hukuman (pidana penjara) berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sama artinya dengan warga negara Iainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat dan bermartabat serta sederajat di mata hukum. 

Status hukum mantan terpidana setelah menjalani pidana menurut konsep hukum pidana, kembali menjadi masyarakat yang terhormat seperti sediakala dan memperoleh hak hukum penuh. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional telah memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM demi berjalannya proses demokrasi. 

Untuk itu, terkait dengan hak asasi seseorang yang menjalani hukuman pidana, terhadap orang tersebut seharusnya diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya. 

Apabila terdapat mantan narapidana yang telah membuktikan bahwa dirinya dapat kembali menjadi warga negara yang baik, mengapa tidak diberi kesempatan untuk menjadi anggota legislatif. 

Hak konstitusional warga negara adalah bahwa seorang narapidana yang telah menjalani pidana adalah warga negara bebas, mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya yang tidak pernah menjalani pidana penjara. Atas dasar tersebutlah maka hak mantan narapidana kasus korupsi sekalipun harus tetap dilindungi oleh negara sebagai bentuk dari perlindungan hak konstitusional warga Negara.

Sehingga yang seharusnya menjadi perhatian kita saat ini adalah bagaimana memperbaiki sistem, bukan menyelesaikan suatu permasalahan case by case tetapi case by system

Karena, permasalahan negara ini ibarat kuku yang kotor dan kita hanya memikirkan dua hal yakni bagaimana cara memotong kuku tersebut dan bagaimana cara membersihkan kuku tersebut, namun kita luput dari satu hal, yakni bagaimana cara menjaga kuku tersebut agar tetap bersih. Karena, permasalahan dalam suatu negara akan terus tumbuh seiring kemajuan peradaban suatu bangsa.

Oleh karena itu penegakan hukum dalam menjamin proses demokrasi di Indonesia haruslah berjalan sebagaimana mestinya, tugas dan fungsi pokok setiap organ negara menjadi aspek utama dalam pembenahan sitem pemerintahan di Indonesia, tanpa harus mengorbankan hak politik setiap warga negara sebagai norma dasar dalam menjalankan tertib kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Jika hukum ibarat sebuah kapal di lautan yang luas, maka Nahkoda dan awak kapal di dalamnya adalah penegak hukum yang akan menentukan apakah kapal akan berlabuh di pulau keadilan atau karam di antara karang kesengsaraan.”
- Fathul Hamdani

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun