Hal itu kemudian dilihat dari langkah pemerintah, yakni dengan mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota yang salah satu pasalnya melarang mantan narapidana korupsi maju menjadi calon legislatif.
Namun keberadaan dari Peraturan KPU ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dengan beberapa ketentuan di dalamnya.
Sebagaimana asas hukum lex superior derogate legi inferiori (Apabila terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan yang beda tingkatannya, maka yang tingkatannya lebih tinggilah yang berlaku).
Sehingga dalam hal ini, jika dilihat berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, maka jelas posisi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 memiliki posisi yang lebih tinggi daripada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Hal inilah yang kemudian menjadi acuan dalam putusan MA, yakni pada Kamis (13/9/2018) Mahkamah Agung (MA), telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Pada putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif resmi bertentangan dengan UU Pemilu.
Putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut pun tidak luput dari pro dan kontra. Karena pasalnya mantan narapidana kasus korupsi diberikan ruang untuk maju dalam Pemilu.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk memilih wakil dan pemimpinnya secara demokratis demi peningkatan kesejahteraan.
Sebagai landasan bagi penyelenggaraan Pemilu, Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1945 mengamanatkan agar Pemilu diselenggarakan lebih berkualitas dengan mengikutsertakan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil melalui suatu perundang-undangan.
Maka dilihat dari prinsip tersebut, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pasal 1 ayat 3, negara wajib untuk melindungi hak asasi setiap warga negaranya.
Berkenaan dengan pengertian dan rumusan HAM tercantum dalam:
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang diuraikan dalam lampiran, berupa naskah Hak Asasi Manusia, yaitu pada angka 1 huruf D butir 1: “Hak asasi manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati universal, universal abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia”.