“Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Al-Qur`an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Disini tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang disini belajar membaca Al-Qur`an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang yang diajar membaca tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya?”
[kepada Stella, 06 Nopember 1899]
Waktu itu Belanda membolehkan pengajaran Al-Qur`an dengan syarat ngaak boleh diterjemahkan. Tentu Belanda tahu, jika orang Jawa paham terjemah Al-Qur`an, mereka tentu sudah mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan kepada penjajah kaum kafir Belanda.
Betapa liciknya kaum kuffar. Mereka senantiasa berusaha untuk menjauhkan kaum muslimin dari ajaran agama Islam sejauh-jauhnya.
“Kartini hidup di lingkungan yang tidak mendukung kehidupan keagamaannya. Kaum kuffar yang telah berencana untuk mendangkalkan aqidah Kartini dan orang muslim di sekitar Kartini yang memiliki pemahaman yang tidak benar terhada Islam membuat Kartini semakin jauh dari ajaran Islam. Hingga suatu hari Kartini berkenalan dengan Kyai Sholeh Darat…”
Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama wanita lainnya dari balik tabir. Kartini tertarik dengan materi yang sedang diberikan, tafsir Al-Fatihah, oleh Kyai Sholeh Darat. Setelah selesai pengajian, kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
“Kyai perkenankan saya menanyakan sesuatu. Bagaimanakah hukumnya apabila seseorang yang berilmu namun menyembunyikan ilmunya…?”
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Qur`an yang isinya menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Alloh, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama` kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur`an dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Qur`an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Tergugah dengan ktirik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menerjemahkan Al-Qur`an dalam bahasa Jawa dalam sebuah kitab berjudul Faidhur Rohman fit Tafsiril Qur`an jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Al-Fatihah hingga surat Ibrohim. Kitab itu dihadiahkan kepada Kartini saat beliau menikah dengan R.M Djojodiningrat, Bupati Rembang.
Kyai Sholeh Darat keburu meninggal dunia pada saat baru menerjemahkan satu jilid tersebut. Namun satu jilid itu sudah cukup membuka pikiran Kartini mengenai Islam.
Tahu nggak? Sebenarnya ungkapan beliau “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu sebenarnya Kartini temukan dalam QS. Al-Baqoroh ayat 257 “…dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya(Islam)…”
Oleh Kartini, terjemah ayat tersebut diungkapkan dalam bahasa Belanda dengan “Door Duisternis Tot Licht”. Belakangan, Armijn Pane, sastrawan Kristen, menerjemahkan kumpulan surat-surat Kartini. Oleh dia, ungkapan itu diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”.