Mohon tunggu...
hamdani kurniawan
hamdani kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - aku adalah manusia

jejak pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Kartel di Indonesia

27 Januari 2020   20:21 Diperbarui: 27 Januari 2020   20:32 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartelisasi merupakan sebuah sistem pengelolaan  yang diambil dari ilmu ekonomi. arti kartel menurut Kamus Besar Bahasan Indonesia (KBBI) adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu. 

Pengertian ini merujuk kepada eksploitasi kekuaasan untuk kepentingan kolektif. Argumen mengenai terjadinya kartelisasi adalah kepentingan partai-partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel.  

Kelangsungan hidup mereka bukanlah uang pemerintah yang khusus dialokasikan untuk mereka, tapi sumber keuangan mereka yang didapatkan dengan perburuan proyek-proyek yang pemerintah punya.

Demokrasi merupakan sistem yang menyematkan beberapa nilai-nilai yang dianggap dapat menjaga dan menyampaikan hak-hak masyarakat. Partai politik adalah salah satu format yang dibentuk oleh sistem demokrasi untuk mengabulkan sekaligus melindungi permintaan masyarakat.  

Sistem kepartaian yang kompetitif merupakan pilar demokrasi  agar sistem ini berjalan secara bermakna terutama untuk negara demokratis yang baru ditegakkan.  Persaingan politik yang sehat  menyebabkan kestabilan terhadap organ-organ tubuh negara.

Tetapi yang lebih penting adalah persaingan sehat antar partai tidak akan pernah terwujud ketika  korupsi masih menjadi tradisi dalam sistem politik pada suatu negara. Perlu diingat bahwa negara merupakan organisasi tertinggi yang mempunyai legitimasi khusus untuk mengatur dan membentuk sebuah aturan. Kekuasaan bisa menjadi trik khusus bagi para elite politik untuk mencari celah keuntungan bagi kepentingan dirinya. 

Secara logis bahwa negara berupaya menghapuskan atau meredam setiap pesaing internal atau eksternal atas monopolinya (Douglas, 2018). Hari ini  Kenyataan peran pemerintah di bidang ekonomi sangat tinggi dan di Indonesia korupsi masih menjadi tradisi kental sehingga pembahasan bahwa partai menjadi organisasi paling dominan dalam sebuah negara menjadi bahasan khusus untuk menganalisa keuangan sebuah partai.

Kuskridho membedakan antara kartelisasi dan persaingan. Bielsaik menyatakan bahwa persaingan politik yang stabil dan sehat di negara-negara demokrasi yang baru hanya dapat dicapai melalui kehadiran sistem kepartaian yang baik. 

Pendeknya watak persaingan dalam suatu sisem kepartaian akan menentukan kualitas dan prospek konsolidasi demokrasi. Persaingan yang sehat dan kredibel akan memunculkan oposisi yang berkualitas.  

Pada akhirnya oposisi ini mempunyai peran untuk mengawasi partai-partai yang berkuasa. Sebaliknya sistem partai yang terkartelisasi, persaiangan antar partai digantikan dengan kolusi dan absennya oposisi dan kita tak bisa berharap bahwa sistem yang dijalankan dapat diawasi dengan baik.

Buku ini menjelaskan bahwa kepentingan ekonomi menjadi penyebab timbulnya kartelisasi. Ideologi yang menjadi alasan berdirinya sebuah partai politik hari ini semakin menjadi bias.

Ada beberapa  celah yang dapat dimanafaatkan oleh para elite Pertama pendapat ekonomi yang dijadikan sasaran oleh para elite ditandai dengan tingginya tingkat keterlibatan pemerintah dalam ekonomi yang berhubungan dengan jumlah uang publik yang berputar di pos-pos pemerintahan. Dan jumlah uang publik yang keluar masuk sangatlah besar dibandingkan dengan kebutuhan partai. Kenyataan bahwa pemerintah memiliki lebih daripada 100 perusahaan bisa memberikan sedikit petunjuk untuk mengukur besarnya uang publik tersebut (Ambardi, 2009). 

Perusahaan-perusahaan milik negara ini tentu berada di bawah wewenang kementrian tertentu, namun kementrian-kementrian lain yang relevan berhak terlibat dalam pembuatan keputusan di BUMN itu. Dengan demikian, pos-pos pemerintahan menjadi sangat menarik bagi partai untuk menjalankan perburuan rente. 

Pendeknya, pos-pos pemerintahan ini menjanjikan intensif materil di mana partai politik bisa memperoleh uang. Kedua, kenyataan bahwa undang-undang itu memiliki terlalu banyak celah, dan kenyataan bahwa penerapan hukum lemah, memudahkan partai-partai menjalankan perburuan rente. Ketiga, tidak adanya sifat inklusifitas dari pemerintah untuk  membuka program-program kerja yang pada akhirnya tidak menimbulkan perdebatan substantif.

Kerangka teoritis 
Pertama-tama kuskridho menganalisa sistem kepartaian yang ada di Indonesia. Analisa ini menjadi penting karena  akan membantu kita untuk melihat sistem kepartaian yang bersaing dan ciri-ciri kartelisasi. Sistem kepartaian sartori digunakan untuk menggali keunggulan dan kelemahan dari watak sistem kepartaian di Indonesia. Definisi sistem kepartaian menurut sartori adalah  satu sistem interaksi yang bersumber pada persaingan antarpartai. 

Menurutnya terdapat pola yang menunjukkan interaksi partai dalam aren politik yang berbeda-beda  untuk menganalisa pola tersebut sartori mengembakan satu tipologi sistem kepartaian dan menawarkan dua kriteria sebagai alat klasifikasi sistem kepartaian. Pertama  dengan menghitung jumlh partai yang dianggap relevan. Kedua,  Jarak ideologis di antara mereka.

Pertama, sartori mengganggap bahwa jumlah partai yang relevan dalam sebuah negara bergantung kepada seberapa besar partai tersebut dapat menentukan posisi koalisi dan suatu partai yang dapat mengintimidasi. 

Kedua, konsep ini menggambarkan interaksi antar partai di arena persaingan yang memunculkan berbagai kemungkinan partai politik untuk memperlihatkan polarisasi ideologis di satu arena dan kemudian bersekutu di arena lain. sebagai contoh jika ada satu partai mempunyai ideologi Islam makan dengan ideologi itu ia mencoba memenangi pemilu dan meraih sejumlah kursi di parlemen. Bila partai ini membutuhkan koalisi, ia akan bergabung dengan partai-partai lain yang memiliki ideologi serupa.

Tapi kondisi apa yang dapat mengubah perilaku partai politik dalam arena persaingan ? dalam buku ini kuskridho menggunakan analisa yang dibuat oleh Robert Dahl. Robert Dahl mengatakan ada berbagai macam arena persaingan politik : Pemilu, Parlemen, birokrasi, pemerintahan daerah, dan lain-lain. 

Pemilu mungkin merupakan arena yang paling menetukan, dan dalam sistem yang lain parlemen mungkin yang paling menentukan. Lebih jauh dalam sistem yang lain birokrasi mungkin merupakan arena kunci dalam politik kepartaian sehingga menjadi arena yang paling menentukan. 

Singkatnya, sistem kepartaian yang berbeda mungkin memiliki arena terpenting yang berbeda pula. Kuskridho membagi arena-arena itu menjadi tiga arena :arena elektoral, pemerintahan, dan legislatif. Alasan yang paling penting karena indonesia sejak 1999 legislatif dan eksekutif telah menjadi wilayah politik penting dalam pembuatan keputusan , menggantikan istana presiden dan birokrasi sebagai wilayah pembuatan keputusan.

Persaingan dan Kartelisasi

Setelah menentukan wilayah mana saja yang relevan untuk melakukan persaingan antar partai, kita dapat menganalisa antara persaingan dan kartelisasi. Dengan berbekal analisa dari sartori bahwa terdapat sistem kepartaian yang kompetitif dan non kompetitif.. sistem partai yang kompetitif adalah suatu sistem yang meniscayakan sebuah persaingan di antara partai politik dan sebaliknya. 

Sistem persaingan dimulai ketika partai-partai bertarung demi mengartikulasikan kepentingan kolektif yang berbeda dan persaingan berakhir ketika mereka melepaskan pembelaan atas kepentingan kolektif tersebut. 

Sedang di sisi lain , kartelisasi bisa dilihat sebagai lawan persaingan dan bisa didefiniskan sebagai situasi di mana partai politik melepaskan berbagai perbedaan ideologis dan pragmatis mereka demi sesuatu yang lain. situasi ini dimungkinkan karena semua partai memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka.

Dengan rumusan semacam ini- persaingan didefinisikan sebagai pengejawantahan kepentingan kolektif yang berbeda di masyrakat dan kartelisasi partai sebagai upaya untuk mewakili dan melindungi kepentingan partai-partai politik sendiri sebagai satu kelompok yang memungkinkan kita mengukur apakah sistem kepartaian di Indonesia lebih bercirikan persaingan atau kartelisasi. 

Tapi kita bisa menerka dengan gamblang seperti apakah karekteristik partai kartel. Pertama, Ideologi menjadi hal yang tidak penting untuk menentukan perilaku partai, Kedua, tidak adanya aturan dalam pembentukan koalisi, Ketiga, tidak dapat mengidentifikasi oposisi. 3 hal inilah yang penting dalam mengidentifikasi kartelisasi.

Pembahasan

Sebelum masuk ke dalam pembahasan, ada baiknya kita memahami Bagaimana cleavage sosial itu sangat berpotensi membentuk struktur persaingan antar partai. Digambarkan bahwa dua pasang cleavage telah terbentuk pada masa kolonial: Keagamaan (Islam)- sekuler dan pusat- daerah. 

Cleavage kelas terbentuk belakangan pada masa orde baru yang muncul ketika industrialisasi mulai berlangsung di Indonesia dan hal itu  berpusat pada pertentangan antara kaum kapitalis melawan kaum buruh. 

Ketika semua kekangan politik dihilangkan pada 1998, partai- partai politik dapat menentukan pilihan strategi dalam mempolitisasi cleavage- cleavage ini. Dengan demikian ada kemungkinan persaingan antarpartai akan mengikuti ketiga garis ketegangan social yang berbasis cleavage.

Selanjutnya akan berhubungan dengan terjadinya pengahalangan terhadap transformasi pada cleavage di tataran politik kepartaian. Faktor yang paling menonjol yang langsung mempengaruhi proses tersebut adalah aturan main. 

Aturan main ini menjadi gambaran bagaimana undang-undang otonomi daerah telah menyurutkan ketegangan pusat dengan daerah ketika undang-undang tersebut mengakomodasi berbagai kepentingan daerah dan  memaksa pemerintah pusat memberikan porsi kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah daerah. 

Pengesahan Undang-Undang otonomi daerah ini pada ujungnya membatasi partai politik untuk mengeksploitasi isu-isu kedaerahan dalam Pemilu. Namun, secara umum aturan main pamilu itu telah menciptakan medan permainan yang setara bagi partai-partai bersaing dan aturan main tersebut tidak menghalangi mereka untuk mempolitisasi berbagai cleavage yang ada demi memuluskan kepentingan mereka memenangi pemilu.

Kartelisasi di Indonesia

Sistem kartel merupakan sistem yang kolutif yang mengakibatkan teririsnya kekuatan rakyat. Memang konsep kartelisasi  memberikan kestabilan terhadap para elite tapi tidak untuk rakyat.   

Penyingkiran rakyat dilakukan tidak dengan represif namun dengan mematikan fungsi-fungsi institusi tetapi memelihara simboliknya. Hal ini mengindikasi bahwa partai politik membentuk sebuah koalisi untuk mendukung kepentingan kolektif dengan menggunakan kewenangan.

Kartelisasi merupakan sumber korupsi karena menggunakan kewenangan untuk kepentingan  kolektif. Kartelisasi didefinisikan sebagai situasi dimana partai-partai politik secara kolektif mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai satu kelompok. 

Isu tentang komitmen ideologis atau programatis ini perlu ditekankan. Lebih daripada sekedar melihat adanya persaingan antar partai secara bebas dalam pemilu, persaingan antar partai juga harus merujuk pada isi persaingan dan fungsi partai politik sebagai lembaga penyambung. Mereka dapat dianggap sebagai sabuk transmisi di mana kepentingan kolektif tertentu diartikulasikan,ditolak,dirumuskan-ulang, dipadukan dan disalurkan melalui proses pembuatan kepurusan.

Penggunaan isitilah kolektif untuk menjelaskan perilaku partai dalam studi ini perlu di garisbawahai. Isitilah ini merujuk pada pengertian bahwa partai-partai politik memiliki kecendrungajn untuk bertindak sebagai satu kelompok yang bertolak belakang dengan kecendrungan untuk saling bersaing. Temuan-temuan studi ini memperlihatkan bahwa persaingan berhenti begitu partai-partai meninggalkan pembentukan kabinet dan legislatif. 

Apa yang kemudian terjadi adalah munculnya koalisi turah dan absennya oposisi. Lebih jauh, partai-partai sebagai satu kelompok menanggalkan program elektoral mereka yang berkecenderungan kiri dan di pemerintahan mereka secara bersama-sama menyusun kebijakan yang berorientasi kanan.

Temuan pertama meperlihatkan bagaimana partai-partai politik menyentuh semua isu berbasis cleavage tersebut dalam kampanye dan angaran dasar mereka, namun hanya satu isu berbasis cleavage yang menhasilkan persaingan ideologis dan programatik yang bermakna. Isu agama terbukti sangat penting dalam memilah partai politik pada dua kubu, partai keagamaan dan sekuler, atau lebih tepatnya isu ini memisahkan partai- partai Islam dari partai sekule. 

Pembedaan antara kedua kulompok partai ini menyerupai pertetangan ideologis dimana partai- partai Islam mengagendakan tercapainya transformasi social masyarakat Indonesia ke dalam satu sistem Islam yang ideal. Dalam praktik, gagasan ini menemukan pengejawantahannya dalam agenda politik mereka dengan memasukkan syariat Islam kedalam sistem hukum Indonesia. 

Empat partai Islam yang menyentuh agenda ini adalah PPP, PBB, PK, PDU. Empat partai yang lain, PDIP, Golkar, KKI, dan PDKB, adalah partai- partai sekuler yang dan menentang gagasan formalisasi syariat islam kedalam sistem hukum nasional. Di antara partai- partai ini, dua partai PKB dan PAN, menjadi partai yang terbuka dan pluralis, namunkeduanya masuk arena pemilu dengan basis social komunitas muslim yang kuat. PAN tidak memiliki agenda memasukkan syariat Islam kedalam system hokum nasional.

Isu kelas dan kedaerahan umum di sorongkan oleh partai- partai politik. Namun bukti- bukti studi ini mmperlihatkan, kedua isu ini tidak menghasilkan pemilihan ideologis yang tajam dan dan persaingan antarpartai yang bermakna. 

Menyangkut isu ekonomi/kelas, semuanpartai yang telah disebutkan memiliki pandangan serupa yang bisa dipadatkan dalam istilah ekonomi kerakyatan. 

Istilah ini menggambarkan suatu kecenderungan populis partai- partai tersebut, kecenderungan yang menekannkan pada kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan semua warga melalui sarana politik.

Menyangkut isu pusat daerah, partai- partai tersebut juga tidak mem;perlihatkan perbedaan. Di permukaan tampak partai-partai terbagi dalam dua kubu: partai yang mendukung gagasan tentang federalisme (PAN) dan partai-partai yang mendorong gagasan otonomi daerah ( semua partai kecuali PAN). Namun, ketika partai-partai tersebut menguraikan apa yang dimaksudkan dengan federalisme dan otonomi, tidak ada perbedaan substantif yang bisa didapat. 

Semua partai sepakat dengan gagasan untuk memberi pemerintah daerah kekuasaan yang lebih besar dan mengatur ulang distribusi kekayaan ekonomi ke daerah. PDIP, partai yang dianggap sebagai wakil terkuat kecenderungan nasionalis, ternyata tak mengajukan visi yang berbeda dengan partai- partai lain.

Pendeknya kita melihat bahwa sistem kepartaian Indonesia terjemahan yang persis dari pemilahan berbagai cleavage social yang ada. Partai- partai lebih memilih mempolitisasi cleavage keagamaan ketimbang cleavage kelas dan kedaerahan. Akibatnya, persaingan antarpartai sebagian besar berkisar pada isu keagamaan ini. Fakta ini membuat system kepartaian Indonesia amat berbeda dengan ciri umum system kepartaian Eropa yang ditandai oelh hadirnya berbagai macam garis persaingan antarpartai.   

Agama adalah isu penting dalam politik kepartaian di Eropa sebagaimana terlihat dengan hadirnya partai-partai berbasis agama seperti partai Kristen-Demokrat. Hadirnya partai-partai berbasis kelas, yakni partai komunis dan sosialis atau social-demokrat, meninggalkan jejak politik dan ekonomi yang mendalam dalam system kepartaian di Eropa, yang juga hadir dalam system di Eropa adalahbpartai-partai berbasis kepentingan kedaerhahan yang belakangan ini cukup menonjol di beberapa Negara Eropa.

Dengan demikian, system kepartaian Indonesia tampaknya mengambil jalur evolusi yang berbeda. Kecenderungan permanen partai-partai Islam Indonesia dalam memanfaatkan isu keagamaan itu sangat berpotensi untuk menegaskan perjalanan system kepartaian Indonesia di masa depan. PPP dan PBB membayangkan bahwa jika mereka mendapatkan mayoritas suara melalui pemilu, mereka secara demokratis akan mengubah konstitusi yang bersifat sekuler itu dengan piagam Jakarta. 

Starategi ini bisa disebut " jalan parlementer menuju Negara islam". Berbeda dengan PPP dan PBB, PKS bergerak ke tengah dan mengambil sikap yang lebih moderat dengan tidak mendukung pendirian Negara Islam. Secara resmi telah meninggalkan gagasan tentang Negara Islam, namun ketegangan didalam partai ini belum sepenuhnya selesai selesai. Dan potensi berbaliknya PKS menuju Islamisme masih tersisa

Bukti terkuat yang mendukung klaim  tentang kartelisasi tampak dalam perdebatan tentang isu subsidi pemerintah pada januari 2003, pemerintah memutuskan memangkas subsidi untuk minyak, listrik dan telepon. Kebijakan ini dibuat di tingkat kabinet di bawah kepresidenan Megawati, ini berarti semua partai di pemerintahan mendukung kebijakan tersebut. Kebijaka ini jelas merupakan kebijakan kanan dimana harga komodditas-komditas tersebut dibebaskan dari intervensi pemerinah. 

Dengan kata lain, pemerintah membiarkan mekanisme pasar menentukan harga. Kenyataan bahwa partai-partai di pemerintahan mendukung kebijakan pro pasar tersebut melanggat program kampanye mereka sendiri, yakni ekonomi kerakyatan. Dalam kampanye, mereka menyatakan diti sebagai partai yang berkecendrungan kii dengan mendukung gagasan populisme. Penyimpabngan ini jelas menunjukan bahwa partai-partai secara kolektif melakukan migrasi ideologis dari kiri menjadi kanan.

Ketika penolakan publik terhadap kebijakan tersebut meningkat masif, DPR memutuskna untuk berdiri di belakang publik, meminta pemerintah membatalkan kebijakan tersebut. Partai-partai di DPR bahkan membentuk kaukus untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah. kumpuluan ini mencakup PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PK. Semua partai ini juga ada di pemerintahan. Jadi, DPR dan pemerintah memperlihatkan pandangan yang berlawanan menyangkut kebijakan tersebut, namun yang partai-partai yang ada di DPR dan Pemerintahan adalah partai-partai yang sama. Jelas ahwa persaingan antar partai menguap begitu saja, tidak ada oposisi, dan partai-partai bertindak sebagai satu kelompok.

 Seperti contoh Kita tahu pemerintah megawati adalah pemerintahan multipartai. Konsekuensinya, setiap kebijakan ekonomi yang diambil mencerminkan kebijakan semua partai kecuali jika pemerintah megawati sedemikian tidak koherennya sehingga masing- masing departemen bekerja sendiri- sendiri. 

Namun kita memperoleh bukti yang memadai bahwa berbagai kebijakan pemerintah adalah produk bersama. Pada awal maret 202, misalnya Megawati menugaskan wakil presiden, Hamzah Haz, untuk membentuk satu tim ekonomi dengan tugas tunggal membuat kebijakan paket kebijakan ekonomi guna memulihkan ekonomi nasional.

 Selanjutnya, Hamzah Haz mengangkat Laode Kamaludin dari Golkar untuk menjalankan tugas tersebut. Proses ini memperlihatkan betapa ketiga partai besar itu yakni PDIP, Golkar, dan PPP bekerjasama dalam memecahkan persoalan ekonomi. Lebih jauh keputusan pemerintah untuk menghapus subsidi itu dibuat ditingkat kabinet, yang berarti merupakan keputusan bersama alias melibatkan semua partai dikabinet. 

Kedua peristiwa ini menunjukkan bahwa semua partai dikabinet tampak melakukan "migrasi Ideologi" yang bersifat kolektif, dari citra partai kiri atau paling tidak partai dengan retorik kiri selama kampanye 1999, menjadi partai kanan dengan semua kebijakan pro-pasar yang diadopsi.

Semua temuan yang ada di dalam buku ini sekali lagi menegaskan ciri-ciri dair sistem kepartaian yang terkartelisasi. Ciri-ciri ini meliputi pudarnya peran ideologi sebagai penentu perilaku partai, sikap permisif dalam membentuk koalisi, absennya oposisi, dan kecendrungan partai-partai untuk bertintak sebagai satu kelompok. 

Pola interaksi yang mengabaikan persaingan di arena pemerintahan dan DPR berulang dalam dua periode pemilu. sebagai kesimpulan studi yang dilakukan kuskridho telah memperlihatkan bahwa sistem kepartaian di Indonesia hari ini sudah terkartelisasi.

Politik kartel menjadi semacam tradisi politik yang telah di bangun pasca reformasi ketika Indonesia sedang dilanda kecemasan dalam pembentukan iklim demokrasi yang baik. 

Dalam konsep lain, kartelisasi akan mengarah kepada apa yang namanya politik ekstraktif dan ekonomi ekstraktif.  Politik ekstraktif adalah lembaga politik yang dirancang untuk memeras, menyadap, dan mengeruk pendapatan serta kekayaan salah satu lapisan masyrakat demi memperkaya lapisan lainnya. Hal ini dapat terjadi jika berbagai institusi  politik yang ada di tengah-tengah masyrakat merupakan penentu utama hasil pergulatan politik tersebut. 

Ada beberapa prinsip yang menentukan insentif politik. Prinsip-prinsip ini menentukan cara memilih struktur pemerintahan dan berikut hierarki kewenangannya. Institusi politik akan mengatur siapa saja yang mempunyai kekuasaan dan untuk tujuan apa kekuasaan itu akan digunakan.  Jika distribusi kekuasaan itu tidak merata dan tidak dikontrol , maka berbagai institusi politik tersebut cenderung menjadi kekuasaan absolut.(Acemoglu Daron, 2012)

Institusi politik ekstraktif menempatkan kekuasaan tangan segelintir kecil kelompok elite dan memiliki kontrol yang sangat lemah terhadap penggunaan kekuasaan itu. Kelompok elite tersebut sering membentuk berbagai institusi ekonomi yang dikerahkan untuk mengeruk segala sumber daya yang ada di masyarakat. 

Dimana ada institusi politik ekstraktif, pasti ada institusi ekonomi ekstraktif pula. Keberlangusngan eksistensi institusi ekonomi ekstraktif juga sangat bergantung pada keberadaan institusi politik ekstraktif. Institusi politik inklusif yang membagi kekuasaan politik secara merata ke seleuruh elemen masyarakat akan menumbangkan kekuatan institusi ekonomi yang merapok aset-aset maupun sumber daya milik rakyat banyak, menghambat partisipasi rakyat, serta menyabot mekanisme ekonomi pasar sehingga yang diuntungkan hanya sekelempok kecil orang.

Politik ekstraktif tidak akan pernah terjadi jika dalam sebuah sistem politik mensyaratkan adanya sebuah persaingan. Persaiangan adalah sebuah proses yang meniscayakan interaksi aktif dari para elite untuk mengawasi berbagai kewenangan.  Upaya kolektif partai-partai politik terus berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah sistem politik kartel dan terabaikannya program-program ideologis partai. 

Partai kartel yang hanya melibatkan satu atau dua partai politik namun turut melibatkan sistem kepartaian secara keseluruhan dan kedua dalam konteks Indonesia, penyebab utama kartelisasi bukanlah perburuan rente atas dana legal atau Budgetter  Melainkan atas dana dibawah meja (Ambardi, 2009)

Subtransi partai kartel berbeda dengan substansi dari partai koalisi yaitu, walaupun partai kartel dan partai koalisi sama-sama merupakan gabungan kelompok partai-partai politik, tetapi kedua-duanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam proses politik. Kelompok partai kartel bergabung bersama-sama dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan melalui sumber-sumber dana maupun kekuasaan negara dengan menghilangkan perbedaan ideologi, sedangkan partai koalisi mengandung makna kerja sama untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan yang didasarkan kepada persamaan visi misi partai tanpa menghilangkan sama sekali identitas dari ideologi partai (Lestari, 2017).

Kita dapat melihat bagaimana kepentingan kolektif partai-partai untuk mengamankan kepentingan kolektif partai-partai untuk mengamankan sumber-sumber kuangan mereka telah mengendalikan perilaku mereka sebagai satu kelompok kartel. Kini kita dapat memahami mengapa berpartisipasi bersama-sama di kabinet dan mendistribusikan kursni pimpinan di tingkai DPR secara proposional amat sangat penting bagi mereka.. kepentingan keuangan , sebagaimana dibuktikan oleh studi yang dilakukan oleh kuskrihdo ini telah mengalahkan kepentingan ideologis mereka

Kesimpulan

Kerjasama antar elite partai di pemerintahan memperlihatkan bahwa perbedaan ideologi tidak begitu menarik dalam mempengaruhi perilaku politik mereka.  

Perberuan rente yang dilatarbelakangi oleh adanya sumber-sumber keuangan negara yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan partai politik atau kepentingan kolektif.  Partai kartel di Indonesia mulai terlihat ketika ekosistem kepartaian tidak memperlihatkan adanya pihak opsisi yang berguna sebagai pengawas.

Jabatan-jabatan yang diraih tidaklah tidaklah terutama untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan mengimplementiasikan program partai, melainkan sebagai pintu masuk untuk memobilisasi rente. Ideologi dan program partai dengan demikian, menjadi tidak penting dalam menentukan perilaku partai. Karena rente-rente itu legal namun dapat diterima di tingkat eliye maka dengan sengaja atau tidak semua partai terikat pada satu nasib politik dan ekonomi yang sama. Kelangsungan hidup mereka, dengan demikian, bergantung pada terpeliharanya kartel tersebut.

Kenyataan bahwa di Indonesia korupsi masih merajalela juga menjadi catatan untuk mempermudah adanya kartelisasi.  Peluang adanya praktif korupsi politik, dimana elite-elite politik tidak mempertimbangkan lagi persoalan hukum yang akan menjeratnya dikarenakan koalisi yang mereka bentuk sebagai kartelisasi menguasai sistem pemerintahan. Koalisi yang terbentuk akan memperlihatkan apakah mereka terindikasi kartelisasi atau persaingan.  

Persaingan antar partai yang sehat berpengaruh langsung terhadap kualitas pembentukan lembaga-lembaga politik. Lebih khusus ia memperlihatkan bahwa persaingan antar partai dapat mencegah partai  politik mengekspolitasi berbagai sumberdaya negara seacara beramai-ramai. Artinya sistem politik yang inklusif akan mengahadrikan kawasan politik yang sehat dan kompetitif.  Kejumudan sistem demokrasi akan tercipta karena proses check and balance tidak terbentuk dan  Akhirnya akan membentuk apa yang disebut politik ekstraktif.  

Daftar Pustaka

  1. Acemoglu Daron, R. J. (2012). Mengapa Negara Gagal (D. Adhivijaya, ed.). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
  2. Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Pertama). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  3. Douglas, I. (2018). Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (Cetakan Pe). Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri.
  4. Lestari, Y. S. (2017). Kartel Politik dan Korupsi Politik di Indonesia. Pandecta: Research Law Journal, 12(1), 67--75. https://doi.org/10.15294/PANDECTA.V12I1.7820

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun