"Saya yang kerjakan proyek di Jalan A itu....
"Saya datangi Balai kota dan saya tendang- tendang itu kursi-meja. Masa sudah dua tahun, upah proyek belum cair juga...
"Para bos-bos itu kenal semua sama saya. Pernah mereka minta saya mijat refleksi mereka di hotel B selama dua malam berturut-turut..."
Leo (bukan nama sebenarnya) berceloteh panjang kali lebar kali tinggi tentang berbagai kesuksesan yang dia peroleh.
"Kesialan" saya ini terjadi di hari Kamis, 16 Januari 2025, ketika saya dan beberapa jemaat gereja sedang menikmati makan malam setelah selesai mengikuti ibadah Perdoman (Perjamuan Doa Malam Antar Jemaat) di Kelir House Gereja Bethel Indonesia Keluarga Imamat Rajani (KH GBI KelIr) Samarinda.
Terus terang, awalnya saya melihat Leo sebagai orang yang supel. Mau berbagi pengalaman. Tapi lama-kelamaan, saya mau "muntah" karena Leo seperti tidak bisa berhenti bicara. Lidahnya seperti tak bertulang. Kalimat demi kalimat mengalir deras dari mulutnya, dan seakan tidak ada titik-koma sebagai pemisah dan jeda.
Saya memberikan tanggapan, si Leo malah semakin "nge-gass". Saya diam saja, dia seperti tidak juga berniat menghentikan ocehannya yang panjang kali lebar kali tinggi tersebut
Saya menunggu momen dimana dia berhenti bicara atau ketika ada seseorang yang menghampiri meja kami dan menyela untuk minta izin duduk di kursi kosong di seputaran meja kami.
Tunggu punya tunggu, akhirnya ada seorang diaken, Rudi (nama samaran) yang menghampiri meja kami dan berkata, "Ti, permisi ya. Duduk di sini." (Ti, adalah kependekan dari panggilan untuk titi dalam bahasa Tionghoa, artinya "adik laki-laki").
"Silakan, Koh," kata saya, dan saya melihat peluang tersebut untuk mohon pamit.Â
"Saya permisi ya, Pak Leo. Sudah malam. Mau pulang saya. Capek," Saya segera mengangkat ompreng saya yang sudah kosong dan beranjak ke tempat penumpukan ompreng kotor.