Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Minta Sepuluh Ribu, Apakah Tidak Malu?

18 Desember 2024   11:11 Diperbarui: 18 Desember 2024   11:11 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Uang Sepuluh Ribu(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dalam hidup ini, tak ada yang bisa memastikan apakah besok, lusa, minggu depan, tahun depan, dan seterusnya, kita masih tetap ada di muka bumi ini dan masih sehat beraktivitas. 

Semua akan berakhir. Tuhan yang menentukan batas akhir kehidupan tersebut.

Saya memaknai kehidupan yang ada dengan duduk tenang di dekat "embung" atau "bendungan" di folder Air Hitam, Samarinda. Tentu saja, tidak setiap hari saya kesana. Kalau ada waktu dan kesempatan, saya datang ke lokasi itu, sekadar untuk menghirup udara segar dan memandang pepohonan rindang.

Udara segar nan sejuk. Akhir-akhir ini serasa sudah semakin susah mendapatkannya. Kendaraan bermotor semakin menyemak di jalan raya, menguarkan asap dari knalpot yang semakin pekat saja 

Serasa damai berada di tempat yang banyak pepohonan dan dekat dengan alam. Sayangnya, tempat-tempat seperti ini masih terbatas kuantitasnya di Samarinda.

Kebetulan pagi itu saya pergi dari rumah lebih awal. Selang waktu beberapa menit bisa saya manfaatkan untuk menepi sejenak ke ruang terbuka hijau.

"Masih jam 07.15. Rehat sejenak di folder," kata saya dalam hati.

Ya, folder Air Hitam adalah tempat yang ngangenin dan mempunyai nilai sejarah bagi saya. 

Saya pernah "mengarungi" alias mengelilingi jogging track, berlari di sekitar tanggul folder selama sembilan tahun, tepatnya dari 2010 sampai 2019. Entah sudah berapa ribu langkah yang saya lalui di sana. Tentu saja, banyak sekali kenangan yang terpatri di benak dan ingatan. Mulai dari jalanan yang becek sehabis hujan; beberapa lansia yang saya kenal meskipun tidak mengetahui nama secara pribadi; sampai beberapa perubahan yang terjadi dari belum ada apa-apa sampai menjadi berkembang dengan adanya berbagai pusat cabang olahraga tertentu, seperti adanya dojang taekwondo, gedung pencak silat, gedung anggar, dan lain-lain.

Ya, tempat ini sangat bersejarah bagi saya. Hal ini yang menyebabkan saya selalu ingin kembali dan kembali, meskipun kali ini bukan dalam rangka jogging, tapi menghirup udara segar dan melihat pemandangan di sekitar.

Tempat "mangkal" favorit saya adalah di seberang Dojang Taekwondo, di depan tanggul folder, karena saya suka melihat atlet-atlet basket yang berlatih basket saat sore hari. Di pagi hari, tentu saja, tidak ada yang berlatih di lapangan basket di dalam area Dojang Taekwondo, namun saya tetap suka "mangkal" di situ.

Selama ini tidak ada gangguan apa-apa. Kenikmatan meresapi ketenangan dan kesegaran udara berjalan lancar. Sayangnya, di hari Jumat, 13 Desember 2024 menjadi hari yang mengagetkan bagi saya. Hari yang memberikan makna tersendiri dalam memandang kehidupan.

Pada hari itu, di saat saya sedang menikmati indahnya kehidupan, tiba-tiba ada seorang laki-laki tak dikenal yang menghampiri saya dengan raut muka mengiba.

"Pak, ada uang sepuluh ribu? Saya perlu...," kata-katanya semakin mengecil, dan saya tidak bisa menangkap perkataannya secara lengkap.

"Maaf, gak ada, Mas," Saya segera memotong perkataannya dengan tidak sabar. Saya sangat terganggu dengan interupsinya. Tapi ada beberapa alasan mengapa saya mengambil langkah menolak memberi. Akan saya jelaskan di bagian terpisah di artikel ini.

Sesudah dia tidak mendapat apa-apa dari saya, dia beralih ke orang lain yang datang dari arah belakang saya. Masih tetap dengan gaya bicara dan mimik menyedihkan yang sama, Adi, sebut saja begitu, melakukan cara yang sama dan perkataan serupa pada Joni (tidak tahu siapa nama orang baru tersebut).

Joni berkata, "Sama. Saya juga cari uang kayak situ."

Dan Adi berlalu kembali. Herannya dengan berjalan cepat.

Mengapa saya menolak memberikan?

Saya menolak memberikan uang sepuluh ribu bukan tanpa pertimbangan. Mungkin karena faktor usia dan pengalaman yang menyebabkan saya tidak mudah terpancing emosi untuk memberi. Meskipun terjadi mendadak dalam waktu seketika, akal pikiran saya, logika saya tetap bekerja.

Dari pemikiran sekejap tersebut, ada 3 (tiga) alasan kenapa saya menolak memberikan.

1. Saya kaget karena tiba-tiba dia datang meminta uang

Secara pribadi, saya tidak suka dengan orang yang datang mendadak tanpa permisi. Saya terganggu dengan kedatangan Adi yang tidak beretika. 

Saya paling tidak suka ada orang yang mengganggu di saat saya sedang "melakukan" aktivitas. Hening sambil mendengarkan suara burung berkicau dan menghirup udara segar sangat sulit diperoleh dalam dunia yang penuh ketergesaan dan kepadatan kendaraan bermotor di jalanan. Sehingga setiap waktu menikmati kesendirian, bagi saya, adalah "harta" yang bernilai mahal di zaman ini.

Menginterupsi keheningan yang saya damba tentu saja tidak mengenakkan bagi saya. Membuyarkan kenikmatan yang semakin langka saat ini, khususnya di perkotaan. Itulah yang menyebabkan respek saya pada Adi turun ke titik nadir.

2. Saya tidak mau mengeluarkan dompet di depan dia

Saya tidak mau mengeluarkan dompet di depan dia, karena saya khawatir, Adi akan langsung merampas dompet saya dan lari cepat melalui jalan-jalan yang bukan jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor.

Meskipun sepeda motor lebih cepat daripada manusia, namun sepeda motor punya keterbatasan tidak bisa melalui semua "medan" jalan. Apabila dia lari melalui pemukiman padat penduduk, saya akan menemui kesulitan untuk mengejarnya.

Lagipula saya tidak mau dia mengintip isi dompet saya. Bagaimana jika dia melihat ada uang di dompet saya yang mempunyai nominal lebih dari sepuluh ribu? Bisa-bisa dia malah meminta yang lebih dari sepuluh ribu tersebut!

3. Saya tidak yakin dia orang yang jujur

Sekarang ini banyak orang memakai "topeng". Kelihatan susah, padahal dia makmur. Dia mengaku miskin, padahal kenyataannya dia kaya dari hasil merampok atau korupsi.

Jangan mudah tertipu atau teperdaya oleh muka memelas meminta belas kasihan. Karena kita tidak mengenal orang tersebut. Benar atau tidaknya pernyataan sang insan tidak bisa dinilai dari kondisi saat dia berbicara. Kita tidak bisa memeriksa orang tersebut hanya dari sisi orang itu di saat itu.

Apalagi setelah dia pergi dengan tangan hampa karena tak berhasil mendapatkan uang, dia berjalan dengan langkah cepat. Saya jadi mengambil kesimpulan bahwa dia hanya berpura-pura lapar. Bagaimana mungkin orang yang tidak bertenaga karena belum makan bisa melangkah dengan cepat seperti itu?

Bagaimana kita menyikapi orang semacam ini?

Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan situasi dan kondisi sesuai dengan apa yang kita harapkan. Selalu akan ada orang-orang yang tidak kita inginkan hadir dalam kehidupan ini. 

Oleh karena itu, menurut pendapat saya, ada 3 (tiga) langkah yang sebaiknya kita perlu ambil dalam menghadapi insan yang seperti Adi. 

Apa saja tiga langkah berikut?

1. Tetap waspada menghadapi orang semacam ini

Jangan mengandalkan emosi dalam menghadapi orang semacam Adi. Kita harus tetap waspada, jangan terpancing perasaan belas kasihan, karena siapa tahu orang tersebut adalah penipu yang berniat menguras isi dompet kita.

Dengan adanya kondisi saat ini, dimana ekonomi semakin tidak jelas apakah akan membaik atau semakin memburuk, setiap orang diperhadapkan dengan situasi-situasi sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup. Gaji sebulan seakan tak cukup untuk kebutuhan selama 30 hari.

Untuk kalangan menengah ke bawah, kondisi tidak menentu di segi keuangan terkadang menyebabkan beberapa insan mengambil "jalan pintas" dengan mengemis; meminta belas kasihan orang lain; bahkan mungkin sampai merampok, mencuri, menipu, dan lain sebagainya.

Menilai seseorang tidak bisa hanya melihat dari sisi "hitam" atau "putih" saja. Setiap orang punya sisi baik dan buruk. Oleh karena itu, melihat orang itu "baik" sepenuhnya atau "buruk" secara keseluruhan bukanlah langkah yang tepat. Karena pasti ada kelebihan dan kekurangan dalam suatu sosok.

Oleh karena itu, tetap waspada patut menjadi andalan sikap sewaktu menghadapi orang yang tiba-tiba meminta uang. Karena wajah memelas belum tentu mencerminkan kondisi orang tersebut. Siapa tahu serigala berbulu domba. Di balik wajah meringis, ada niat "mengais" rezeki orang lain. 

2. Lebih baik memberi "pancing" daripada hanya sekadar "ikan"

Katakanlah benar Adi mengalami kesulitan keuangan. Dia lapar dan sudah berhari-hari tidak makan. Perutnya menuntut asupan makanan supaya tetap bisa bertahan hidup.

Makan adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi. Uang sepuluh ribu memang menuntaskan kebutuhan tersebut. Cukup untuk membeli nasi putih dan ayam goreng di warung-warung fried chicken yang bertebaran di berbagai jalan di Samarinda bagai cendawan di musim hujan.

Tapi pertanyaan besar yang muncul di kepala adalah: Apakah cukup dengan hanya memberikan uang? 

Ibarat hanya memberikan "ikan", dan setelah "ikan" habis, orang tersebut akan mengemis "ikan" lagi dari orang lain yang dia temui dengan modal "muka memelas", "suara mengiba", dan "perut ditekuk untuk menunjukkan keperihan lambungnya yang kosong dari makanan".

Memang, kalau lapar sudah kadung menyerang hebat dalam lambung sehingga perih tak tertahankan, makan adalah solusi mujarab paling tokcer, dan uang akan memungkinkan sang insan untuk membeli makanan. Sederhana.

Namun kalau hanya sekadar memberi "ikan", insan tersebut tidak akan mandiri. Dia akan terus merasa tidak bisa apa-apa, sehingga akan selalu mengharapkan orang lain untuk memberikan "ikan" kepadanya.

Ketergantungan adalah hal buruk yang seharusnya kita hindari. Kita seharusnya berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Biarpun orang lain, misalnya saudara kandung, mau memberikan bantuan, dia tidak bisa selamanya membantu. Kenapa? Banyak faktor yang mungkin menyebabkan dia tidak bisa lagi membantu memberikan "donasi" seperti karena sudah pensiun dari pekerjaan yang menyebabkan sumber pendapatan terhenti; mempunyai kebutuhan lain yang mendesak dalam keluarga, seperti biaya pendidikan anak dan biaya kesehatan; bahkan kalau sewaktu-waktu dia tiba-tiba berpulang. Tak ada yang tahu kapan kehidupan ini berakhir.

Tidak salah memberikan uang sekadar untuk memecahkan masalah "lapar" sang insan saat itu, tapi akan lebih baik lagi diimbangi dengan langkah memberikan "pancing" kepada sang individu. "Pancing" di sini bisa berupa memberikan pelatihan keterampilan kepada orang tersebut, supaya dia bisa menghasilkan pendapatan sendiri yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Pemerintah sudah cukup banyak menyediakan kesempatan bagi orang-orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK); atau insan-insan yang masih belum mendapat pekerjaan, khususnya lulusan SMA yang belum mempunyai keterampilan yang spesifik. Kesempatan yang disediakan berupa pelatihan keterampilan secara gratis yang diberikan melalui Balai Latihan Kerja (BLK) dan disosialisasikan melalui Rukun Tetangga (RT) yang ada di kota tersebut.

Memang, ini menjadi tanggung jawab ketua RT yang terbilang berat dalam mendata warga-warganya yang membutuhkan pelatihan keterampilan demi keberlangsungan hidup para warga. Harapannya, tidak ada lagi warga yang berada di bawah garis kemiskinan dan menemui kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, karena mereka sudah mempunyai keterampilan sehingga mereka bisa mandiri, tidak tergantung pada keluarga atau orang lain.

3. Jangan menghakimi karena kita tidak tahu permasalahan orang tersebut

"Masih sehat, punya kaki lengkap, tangan ada dua, mata bisa melihat, bisa bicara, telinga dapat mendengar, kok jadi pengemis?"

Saya pernah mendengar salah seorang rekan guru yang menegur seorang pengemis yang datang ke sekolah kami dan meminta uang sekadar penghilang rasa lapar.

Saya tidak berkomentar saat itu, namun menurut saya, tindakan menghakimi tersebut tidaklah tepat.

Meskipun secara fisik, orang-orang yang menjadi pengemis tersebut sempurna secara fisik, namun kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi mereka sehingga mereka menjadi pengemis. Yang jelas, mereka tidak mempunyai privilege atau keunggulan seperti: berasal dari keluarga kaya, mendapatkan warisan uang berjuta-juta, dan lain sebagainya.

Rekan guru tadi, sebut saja Gina, berasal dari keluarga kaya. Kehidupannya pun berada karena menikah dengan seorang dosen yang mempunyai kedudukan tinggi di perguruan tinggi ternama di Samarinda. Saya yakin dia tidak pernah mengalami kondisi keuangan yang minim. Hidupnya selalu berkecukupan. Dan dalam keseharian, kami, rekan-rekan guru, melihat tutur kata dan perilaku Gina terkesan glamor dan tinggi hati dengan status sosialnya.

Secara pribadi, saya pernah berada dalam posisi kesulitan keuangan waktu masih indekos. Makan cuma sekali sehari pernah saya lakoni demi mencukupkan honor mengajar selama sebulan yang tidak seberapa. Jadi, saya sangat mengerti jika ada pengemis yang datang meminta-minta meskipun anggota tubuh lengkap secara fisik, karena kalau sudah perut lapar, bagaimana bisa berpikir kreatif untuk mencari kerja? Perut menuntut segera diisi.

Sedapat mungkin ajak bicara pengemis tersebut. Berikan empati kepada mereka karena sangat jarang mereka mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Jangankan perhatian, suara mereka pun mungkin tidak didengar.

Terkadang, dengan mendengarkan mereka, kisah mereka, kita bisa belajar satu hal, bahwa kita mungkin kurang bersyukur selama ini. Kita merasa hidup kita malang dan menyedihkan, padahal ada yang lebih menderita dan menyakitkan hidupnya dibanding hidup kita.

Apakah tidak malu?

Semua hal di muka bumi ini memang tidak sepenuhnya bisa kita mengerti. Terkadang, di saat jaya, berkelimpahan, tanpa kurang suatu apa pun, kita tidak pernah berpikir untuk (bahkan) meminta-minta karena faktor malu atau gengsi.

Tapi saat kita diperhadapkan dengan situasi sendiri, tidak ada sanak famili, di kota asing yang kita tidak ketahui, dan hanya mempunyai sedikit recehan di kantung celana, apa yang akan kita lakukan? 

Pasti, apa pun juga akan kita lakukan untuk bertahan hidup dari kelaparan. Karena kita tidak punya seorang pun yang bisa kita andalkan di kota yang baru. Apalagi kalau kita bersama suami/istri dan anak. Pasti kita tidak ingin mereka menderita. Apa yang tabu seperti mengemis bahkan mencuri sekalipun, asal keluarga tetap bisa makan, akan kita lakukan. Malu? Apakah rasa malu bisa dipakai untuk membeli makanan?

Oleh karena itu, tetap waspada; memberikan "pancing" daripada hanya sekadar "ikan"; dan jangan menghakimi sudah seharusnya mengemuka dalam hati dan pikiran, karena siapa tahu, kelak kita akan mengalami kesukaran finansial seperti insan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun