Tidak salah memberikan uang sekadar untuk memecahkan masalah "lapar" sang insan saat itu, tapi akan lebih baik lagi diimbangi dengan langkah memberikan "pancing" kepada sang individu. "Pancing" di sini bisa berupa memberikan pelatihan keterampilan kepada orang tersebut, supaya dia bisa menghasilkan pendapatan sendiri yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.Â
Pemerintah sudah cukup banyak menyediakan kesempatan bagi orang-orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK); atau insan-insan yang masih belum mendapat pekerjaan, khususnya lulusan SMA yang belum mempunyai keterampilan yang spesifik. Kesempatan yang disediakan berupa pelatihan keterampilan secara gratis yang diberikan melalui Balai Latihan Kerja (BLK) dan disosialisasikan melalui Rukun Tetangga (RT) yang ada di kota tersebut.
Memang, ini menjadi tanggung jawab ketua RT yang terbilang berat dalam mendata warga-warganya yang membutuhkan pelatihan keterampilan demi keberlangsungan hidup para warga. Harapannya, tidak ada lagi warga yang berada di bawah garis kemiskinan dan menemui kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, karena mereka sudah mempunyai keterampilan sehingga mereka bisa mandiri, tidak tergantung pada keluarga atau orang lain.
3. Jangan menghakimi karena kita tidak tahu permasalahan orang tersebut
"Masih sehat, punya kaki lengkap, tangan ada dua, mata bisa melihat, bisa bicara, telinga dapat mendengar, kok jadi pengemis?"
Saya pernah mendengar salah seorang rekan guru yang menegur seorang pengemis yang datang ke sekolah kami dan meminta uang sekadar penghilang rasa lapar.
Saya tidak berkomentar saat itu, namun menurut saya, tindakan menghakimi tersebut tidaklah tepat.
Meskipun secara fisik, orang-orang yang menjadi pengemis tersebut sempurna secara fisik, namun kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi mereka sehingga mereka menjadi pengemis. Yang jelas, mereka tidak mempunyai privilege atau keunggulan seperti: berasal dari keluarga kaya, mendapatkan warisan uang berjuta-juta, dan lain sebagainya.
Rekan guru tadi, sebut saja Gina, berasal dari keluarga kaya. Kehidupannya pun berada karena menikah dengan seorang dosen yang mempunyai kedudukan tinggi di perguruan tinggi ternama di Samarinda. Saya yakin dia tidak pernah mengalami kondisi keuangan yang minim. Hidupnya selalu berkecukupan. Dan dalam keseharian, kami, rekan-rekan guru, melihat tutur kata dan perilaku Gina terkesan glamor dan tinggi hati dengan status sosialnya.
Secara pribadi, saya pernah berada dalam posisi kesulitan keuangan waktu masih indekos. Makan cuma sekali sehari pernah saya lakoni demi mencukupkan honor mengajar selama sebulan yang tidak seberapa. Jadi, saya sangat mengerti jika ada pengemis yang datang meminta-minta meskipun anggota tubuh lengkap secara fisik, karena kalau sudah perut lapar, bagaimana bisa berpikir kreatif untuk mencari kerja? Perut menuntut segera diisi.
Sedapat mungkin ajak bicara pengemis tersebut. Berikan empati kepada mereka karena sangat jarang mereka mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Jangankan perhatian, suara mereka pun mungkin tidak didengar.
Terkadang, dengan mendengarkan mereka, kisah mereka, kita bisa belajar satu hal, bahwa kita mungkin kurang bersyukur selama ini. Kita merasa hidup kita malang dan menyedihkan, padahal ada yang lebih menderita dan menyakitkan hidupnya dibanding hidup kita.