Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Apa Buku Terakhir yang Anda Baca?

9 Desember 2024   14:22 Diperbarui: 9 Desember 2024   23:14 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca(Sumber: Freepik via Kompas.com)

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton sebuah podcast dari YouTube. Akun YouTube ini membahas seputar bisnis dan dunia usaha. Secara pribadi, saya sangat terbantu sekali dengan konten-konten dari akun tersebut, meskipun tidak semua konten saya tonton dan tidak semua konten saya sukai.

Saya tidak meng-endorse akun YouTube tersebut, jadi saya tidak menautkan tautan akunnya di mari.

Dari berbagai konten di akun tersebut, ada salah satu konten yang "menggelitik" benak saya. Topik pada konten tersebut adalah tentang minat baca di negeri +62 dibandingkan negara-negara lain.

Sempat menyinggung tentang berapa banyak buku yang warga negara Singapura dan Jepang baca dalam setahun.

Pertanyaan berikut: Bagaimana dengan Indonesia?

Nah, ini yang memprihatinkan. 

Tidak perlu melihat data Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengetahui banyaknya jumlah buku yang kebanyakan warga negara +62 baca. Cukup menanyakan pertanyaan sederhana, yaitu "Apa buku terakhir yang Anda baca?"

Bisa dipastikan, kebanyakan warga pasti tidak bisa mengingat judul buku terakhir yang mereka sudah baca sampai tuntas. 

Catat ya: Sudah mereka baca sampai tuntas, dari cover depan sampai sampul belakang.

Tidak mengherankan sebenarnya. Fakta di keseharian menunjukkan bahwa kebanyakan insan di negara ini lebih suka berkutat dengan gawai dan bermain gim daring atau menonton video on-demand dibanding membaca buku.

Membaca e-book di gawai? Seriously? Saya ragukan itu.

Terlihat dari memperlakukan gawai sebagai pusat bermain gim daring dan pusat hiburan dibanding membaca buku elektronik.

Dan parahnya, minimnya minat baca berimbas pada wawasan dan pengetahuan sang insan.

Tidak terbilang banyak selebritas sampai yang terbaru, seorang pejabat publik, yang "keseleo" lidah, sehingga menjadi viral di dunia maya. 

Apakah mereka tidak sengaja "terpeleset" atau karena wawasan dan pengetahuan yang sangat kurang?

Titel sarjana sampai doktor tidak menjamin keluasan wawasan dan pengetahuan seseorang. Karena terkadang gelar didapat dengan cara yang tidak benar.

Kalaupun sudah benar dalam memperoleh, kebanyakan hanya sampai mendapatkan gelar saja. Sesudah itu, wawasan dan pengetahuan stagnan. Tidak ada upaya untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan lebih lagi. 

Terlihat dari jawaban. Apabila sang insan lama memikirkan judul buku apa yang terakhir dia baca sampai tuntas, berarti dia sudah lama tidak membaca buku.

Atau kalau menyebutkan judul buku sulit, kita permudah dengan pertanyaan, "Buku terakhir yang kau baca tuntas itu mengulas tentang apa?"

Kalau yang ini juga tidak bisa menjelaskan, jadi jelas Fix No Debat! Dia sudah lama tidak membaca buku, sampai-sampai buku terakhir yang dia tuntas membaca sekalipun tidak dia ingat sama sekali judul dan isinya.

Ngomong dulu, mikir...

Yah, budaya lisan lebih mengakar daripada budaya baca dan tulis. Begitulah yang lazim membudaya di negeri +62.

Saya teringat kepada seorang kenalan yang pernah berkata, "Kalau ada yang rasa ganjal di hati, saya langsung utarakan..."

Menurut saya, hal tersebut bisa menjadi pedang bermata dua.

Di satu sisi, mungkin perkataan tepat sasaran sesuai kondisi dan menjadi solusi.

Di sisi yang berbeda, perkataan dia kemungkinan menjadi blunder karena tidak dipikirkan secara matang dan dipicu oleh emosi sesaat. Akibat nyata, orang lain bisa tersinggung karenanya.

Ngomong dulu, mikir belakangan.

Mungkin begitulah istilahnya di kalangan umum.

Kalau orang lebih memilih keluar kata dulu tanpa memikirkan imbas setelah kata terlontar, alangkah berbahayanya. Bisa terjadi keributan massal karena dampak bocor mulut tersebut.

Kembali ke buku

Buku. 

Satu kata yang melekat di negara-negara maju. Budaya membaca buku sangat kokoh mencengkeram kuat di hati dan pikiran kebanyakan insan di negara-negara tersebut, sehingga kemajuan dalam segala segi hadir tak terelakkan lagi.

Pola pikir, paradigma, pemikiran kritis, semua hal yang menunjang kemajuan ada dalam kegiatan membaca. 

Sebetulnya membaca tidak mesti harus membaca buku. Bisa membaca apa saja, apalagi di zaman ini, seperti membaca berita di media daring, membaca artikel di media sosial, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, buku, khususnya yang diterbitkan oleh penerbit, menurut saya secara pribadi, telah melalui sensor dan bisa lebih dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Terkhusus, penulis-penulis yang memang sudah kita kenal baik kepakarannya akan lebih menambah wawasan dan pengetahuan.

Tak heran, banyak pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh ternama di tingkat dunia, dan terutama para tokoh pendiri negara ini seperti Ir.Soekarno, Drs.Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan lain-lain, menunjukkan dalam kehidupan nyata bahwa salah satu koentji keberhasilan mereka adalah karena membaca buku.

Sehingga agak menyedihkan kalau kebanyakan warga di negeri +62 tidak tahu judul buku terakhir yang mereka sudah baca sampai selesai.

Kembali ke buku adalah langkah awal jika ingin negara ini maju dalam bidang apa pun.

Bagaimana dengan saya?

Saya sendiri berusaha untuk rutin membaca buku meskipun dengan kecepatan yang slow. 

Yah, kecepatan membaca saya tidak seprima saat masih muda. Apalagi saya kebanyakan tidak membaca buku fisik, tapi buku elektronik dikarenakan kesibukan bekerja dan kemudahan dalam meminjam buku elektronik dalam jumlah banyak.

Dan yang terlebih penting, saya bisa membawa banyak buku kemana saja saya pergi; dan bisa membaca kapan saja dan dimana saja.

Kendalanya hanya dua: layar gawai kecil dan efek cahaya dari gawai yang memedihkan mata.

Apakah saya terbatas pada membaca buku?

Pada awalnya, ya. Tapi setelah waktu berjalan dan usia bertambah, saya merasa tidak puas dengan hanya sekadar membaca. Terkesan saya hanya membaca untuk kesenangan pribadi. Padahal, saya juga ingin mengembangkan diri dan berbagi kepada sesama tentang buku-buku yang saya baca. 

Siapa tahu, buku-buku yang saya baca bermanfaat buat orang lain yang mungkin mengalami masalah dan tidak tahu jalan keluar dari masalah tersebut; dan buku-buku yang sudah saya baca sampai selesai bisa memberikan solusi pemecahan masalah-masalah bagi insan-insan tersebut.

Sehingga, saya memutuskan untuk menulis laporan buku dari setiap buku yang saya sudah baca sampai tuntas.

Sampai saat menulis artikel ini, saya baru menulis dua laporan buku. Masih terlalu sedikit? Ya, itu yang saya sesali. Seandainya sejak doeloe saya menulis laporan dari buku yang sudah selesai saya baca, kemungkinan sudah ada puluhan yang hadir.

Sangat lambat memang. Tapi lebih baik lambat daripada tidak sama sekali.

Laporan buku pertama adalah tentang novel "Imung - Siulan Kematian" karya Arswendo Atmowiloto.

Mengapa saya memilih buku ini sebagai yang pertama dalam membuat laporan buku? Saya memilih buku ini karena saya sudah lama ingin membaca buku ini tapi tidak pernah kesampaian karena susahnya mendapat buku ini di perpustakaan, toko buku dan rental buku di masa lalu dan kini.

Dengan adanya kemudahan membaca novel "Imung" di aplikasi perpustakaan nasional iPusnas, maka tidak ada lagi halangan bagi saya untuk membaca novel ini yang sudah lama saya idam-idamkan.

Selain faktor novel idaman, juga karena jumlah halaman yang tidak begitu banyak, sehingga memudahkan saya yang super slow dalam membaca bisa menuntaskan membaca novel tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Bagaimana laporan buku pertama saya? Bisa Anda baca di tautan berikut.

Baca juga: Kesan Menawan setelah Menguak "Imung - Siulan Kematian"

Laporan buku yang kedua juga saya tulis berdasarkan bacaan yang ringan saja seperti buku yang pertama. "Bergumul dengan Gusmul" menjadi pilihan buku yang saya kupas dan tuangkan dalam laporan buku.

Saya memilih buku ini untuk dibuat laporan buku dikarenakan saya menonton podcast di YouTube di mana Agus Mulyadi menjadi narasumber, dan saya tertarik untuk membaca buku Agus karena penasaran dengan kisah hidup Agus yang tertuang di buku.

Dan ternyata saya "kecanduan" untuk terus membaca buku Agus yang satu ini. Kecanduan dalam pengertian positif, tentu saja. Terlihat gaya menulis Agus yang mengalir dan relate dengan kehidupan rakyat biasa. Ini tentu saja menjadikan saya seperti terkoneksi dengan kehidupan Agus yang sederhana dan apa adanya.

Sehingga saya menuliskan laporan buku tentang "Bergumul dengan Gusmul" seperti menceritakan diri sendiri, meskipun tidak mirip seratus persen, tapi seakan menggambarkan kehidupan yang tidak sepenuhnya berisi keriangan atau kesedihan. Namun memandang apa pun yang menimpa, entah keberuntungan atau kemalangan sebagai dinamika kehidupan yang mewarnai sosok Agus Mulyadi. Dan kesemuanya itu diceritakan dengan ringan, dengan cara menertawakan diri dalam konteks yang positif.

Lahirlah laporan buku yang kedua, dengan judul seperti di tautan berikut.

Baca juga: Belajar Menertawakan Hidup ala Agus Mulyadi

Apakah sudah cukup dua buku menjadi sumber laporan buku? Tentu saja tidak. Saya sedang membaca buku-buku yang lain dan pada akhirnya menuangkan inti sari buku-buku tersebut dalam laporan buku. Selain sebagai pengingat bahwa saya sudah membaca buku-buku tersebut, laporan buku yang nanti akan juga saya unggah di Kompasiana kiranya dapat bermanfaat buat para netizen yang semoga tergerak untuk membaca buku-buku tersebut, bahkan terdorong juga untuk menumbuhkan semangat literasi dengan membaca buku-buku yang lain dan menuliskan laporan-laporan buku di dunia maya.

Baca supaya maju

Akhir kata, bacalah. Negara maju terbentuk dari sumber daya manusia yang gemar membaca, khususnya membaca buku. Negara kita masih sebatas negara berkembang yang entah kapan bisa mewujudkan mimpi menjadi negara maju.

Daripada mengeluhkan kondisi status "berkembang" dan menyalahkan pemerintah, lebih baik mulai dari diri sendiri. Baca. Bacalah buku. Dengan begitu, kita menjadi semakin "maju", bukan saja maju dalam prestasi di sekolah dan universitas (kalau masih pelajar dan mahasiswa), namun bisa maju dalam bidang apa pun yang digeluti, seperti berwirausaha dan bekerja di perusahaan. Imbasnya, dari satu orang bisa mengubah satu lingkungan di sekitar karena gemar membaca buku, apalagi kalau lebih dari satu orang yang gemar membaca.

Harapan saya sebagai pribadi, Indonesia bisa menjadi negara maju karena sumber daya manusia yang unggul, bukan karena sumber daya alam yang cepat atau lambat bakal habis karena tidak bisa diperbaharui.

Dengan begitu, pertanyaan "Apa buku terakhir yang Anda baca?" bisa dijawab dengan gamblang, cepat, dan tanpa ragu, karena keseharian diisi dengan membaca demi memajukan diri dan negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun