Menurut saya, hal tersebut bisa menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, mungkin perkataan tepat sasaran sesuai kondisi dan menjadi solusi.
Di sisi yang berbeda, perkataan dia kemungkinan menjadi blunder karena tidak dipikirkan secara matang dan dipicu oleh emosi sesaat. Akibat nyata, orang lain bisa tersinggung karenanya.
Ngomong dulu, mikir belakangan.
Mungkin begitulah istilahnya di kalangan umum.
Kalau orang lebih memilih keluar kata dulu tanpa memikirkan imbas setelah kata terlontar, alangkah berbahayanya. Bisa terjadi keributan massal karena dampak bocor mulut tersebut.
Kembali ke buku
Buku.Â
Satu kata yang melekat di negara-negara maju. Budaya membaca buku sangat kokoh mencengkeram kuat di hati dan pikiran kebanyakan insan di negara-negara tersebut, sehingga kemajuan dalam segala segi hadir tak terelakkan lagi.
Pola pikir, paradigma, pemikiran kritis, semua hal yang menunjang kemajuan ada dalam kegiatan membaca.Â
Sebetulnya membaca tidak mesti harus membaca buku. Bisa membaca apa saja, apalagi di zaman ini, seperti membaca berita di media daring, membaca artikel di media sosial, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, buku, khususnya yang diterbitkan oleh penerbit, menurut saya secara pribadi, telah melalui sensor dan bisa lebih dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Terkhusus, penulis-penulis yang memang sudah kita kenal baik kepakarannya akan lebih menambah wawasan dan pengetahuan.