Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bukan Teknis, Ini Tiga Pelajaran Berharga dari Seorang Fotografer

13 November 2024   09:29 Diperbarui: 13 November 2024   13:08 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fotografer(Thinkstockphotos.com)

Memang beda kalau bertemu dengan orang baru. Selalu ada cerita menarik, lain dari yang lain. Apalagi kalau menyangkut profesi idaman di masa kanak-kanak doeloe yang tidak bisa kesampaian. Bisa menyedot perhatian sampai lupa waktu pulang.

Hari Rabu malam, 6 November 2024, saya terpaksa (lagi) makan malam secara sederhana. Yah, masih mending bisa makan fried chicken daripada mungkin ada yang tidak punya uang untuk membeli makanan. Disyukuri saja.

"Seperti biasa, bos," ujar saya pada sang juragan warung merangkap waiter. Apa bagian ayam favorit? Tentu saja, dada ayam. Mental kebanyakan anak indekos masih berada dalam diri. Yang penting dagingnya banyak. Nasi harapannya juga banyak, namun sayang, seperti kebanyakan warung ayam goreng, porsi nasi hanya seukuran mangkuk kecil mungil (sudah tahu ukurannya kan?).

Sempat merasa bosan setelah makan, karena biasanya ada dua konco lagi yang menyusul datang sehingga bisa mengobrol ngalor-ngidul. Sayangnya, A dan B tidak muncul. Eh salah. A sudah datang duluan, tapi lekas pergi lagi, karena ada urusan. Untungnya (bagi saya), A mentraktir saya malam itu. 

"Lagi ulang tahun," ujar sang juragan warung ayam goreng.

"Ya, ulang tahun terus tiap hari," sembari tertawa A menyambut kelakar juragan fried chicken.

A berlalu. B tidak memunculkan batang hidungnya.

"Mungkin lagi tugas ke luar daerah," begitu kata S, juragan yang sedang mengepulkan asap rokok dengan nikmatnya.

Yah, bisa dibilang, malam tersebut garing karena personel yang kurang, dan S sibuk dengan ponsel pintarnya.

Tetiba datang seorang lelaki berambut gondrong sebahu yang dengan cepatnya berkata kepada S, "Biasa, Om, ayam geprek dada. Minum teh es," ujarnya dengan cepat, sambil duduk di kursi di depan meja yang posisinya di sebelah meja saya.

"Makan di sini kah, R?"

"Iyalah, Om," kata sang lelaki yang berpenampilan biasa dengan postur kurus dan tinggi, serta langsing, alias kutilang seperti saya.

"Ini masih keponakan saya. Namanya R," kata S sambil mengangsurkan piring yang sudah berisi nasi dan ayam geprek pada sang pemuda.

"Oooh," kata saya, masih cuek.

Sempat hening selama beberapa saat. R sibuk menggerogoti ayam geprek dan nasi; S berkutat dengan entah apa di smartphonenya; dan saya sendiri sibuk menulis artikel di ponsel pintar saya, meskipun, karena aktivitas seharian, konsentrasi menulis tidak bisa maksimal di malam hari karena faktor kelelahan.

"Kerja dimana, Mas?" tanya saya, membuka percakapan, karena bosan menulis.

"Fo####."

"Maaf, Mas, gak denger. Apa, Mas?" saya tidak mendengar karena warung terletak di tepi jalan raya, sehingga suara bising kendaraan bermotor wara-wiri silih berganti membuat pendengaran seakan mampet.

"Fotografer."

"Oh, fotografer. Wah, enak tuh. Ngelakuin yang disuka," komentar saya.

"Iya. Meskipun awalnya orang tua maunya saya kerja ikut orang, tapi setelah tahu honor motret lumayan gede, mereka merestui."

"Kalau boleh tahu, hitungan honornya gimana, Mas?"

"Sesuai durasi acara."

"Durasi acara?"

"Ya. Minimal tiga jam. Untuk tiga jam acaranya teman, dapetnya harga teman. Tiga ratus ribu. Kalau ada vendor, bisa dapat lima ratus."

Saya membayangkan beberapa tahun yang lalu, honor guru honorer di beberapa SD Negeri di mana saya pernah mengabdi, saya mendapat dari 50 ribu, 450 ribu, 600 ribu, dan yang paling besar 900 ribu. Per bulan. 30 hari baru dapat duit.

Jauh banget dengan fotografer yang cuma tiga jam bekerja sudah dapat honor setara dengan gaji guru honorer sebulan. Bahkan dapat lebih.

Kapan profesi guru dihargai?

Bahkan sebagai guru les, uang les yang saya dapat memang lebih, tapi saya dapatkan setelah sebulan mengajar. Untuk satu rumah dengan satu murid. Lebih dari tiga jam mengajar dalam sebulan. 

Percakapan berlanjut dengan latar belakang pendidikan dan masa "magang".

"Lulusan apa, Mas," tanya saya.

"SMK."

"Lho, bukan kuliah di bidang yang berhubungan dengan fotografi?"

"Gak kuliah. Saya ngambil jurusan multimedia di SMK dulu. Tapi saya tertarik dengan fotografi. Dan kebetulan jurusan saya juga menunjang pekerjaan lewat edit foto di laptop. Selebihnya saya belajar fotografi secara autodidak."

"Jadi setelah lulus SMK, Mas langsung jadi fotografer?"

"Jadi asisten fotografer dulu. Kebetulan ada teman saya yang sudah jadi fotografer duluan. Dia sudah punya pengalaman. Jadi saya bantu dia dulu dalam pemotretan di setiap event sampai saya siap motret sendiri tanpa tuntunan."

"Berapa lama Mas ikut jadi asisten?"

"Sekitar enam bulan. Setelah itu, saya bersolo karier."

"Kalau boleh tahu, kamu sudah merasa dapat lebih, R?" S ikut nimbrung menimpali dalam percakapan.

"Belum, Om," jawab R.

"Tapi adalah dapat dua juta sebulan?" tanya S lagi.

"Dapat."

"Oya, Mas. Untuk kamera, Mas pakai yang merek apa?" Saya ikut bertanya lagi.

"Sony."

"Satu aja?"

"Ya, gak cuma satu. Setiap fotografer pasti punya back up kamera. Saya punya total tiga kamera. Sony, Nikon, dan xxx." (Saya tidak dengar nama kamera yang ketiga)

"Kalau boleh tahu, untuk satu kamera, berapa harganya?" 

"Sekitar 50 juta. Itu belum termasuk lensa. Kameranya harus yang baru. Kalau lensa, bisa aja yang second."

"Kenapa kamera harus yang baru?"

"Karena kamera ada umurnya. Kalau sudah second, ada penurunan kemampuan, mulai dari penurunan shutter sampai penurunan komponen-komponen yang lain."

"Oh, kalau lensa tidak masalah ya meskipun bekas?"

"Gapapa. Asal tidak berjamur. Kalau sudah berjamur, meskipun sudah dibersihkan, nanti pasti berjamur lagi."

Berbagai hal diperbincangkan. Bagaimana dia bisa mendapatkan job foto dari kenalan, teman, anggota keluarga, sampai dari komunitas.

"Jadi tidak pernah promosi lewat sosmed?"

"Gak pernah. Saya dapat orderan foto lewat teman atau kenalan. Kebanyakan lewat mereka. Dari mulut ke mulut."

"Gak ada media sosial tentang profesinya sebagai fotografer?"

"Saya baru bikin bulan lalu. Itu pun teman yang nyarankan saya untuk buat akun Instagram."

Kami bicara  banyak kembali. Istilah-istilah fotografi, mulai dari raw, iso, sampai yang berhubungan dengan aplikasi pengolah gambar seperti Lightroom, Adobe Photoshop, dan CorelDraw menjadi topik bahasan yang bagi saya sangat menarik, meskipun saya tidak mengerti sepenuhnya.

"Bagaimana dengan rencana ke depan, Mas? Sudah menikah?"

"Belum. Sejak tujuh tahun yang lalu, saya tidak pacaran sampai sekarang."

"Wah, lama juga ya. Jadi tidak ada rencana menikah?"

"Tiga tahun lagi."

"Kalau boleh tahu, umur berapa sekarang?"

"Dua tujuh."

"Berarti di umur 30 menikahnya?"

R menjawabnya dengan senyuman.

Masih banyak lagi yang kami bahas, tapi saya tidak akan bahas di sini, karena pada garis besarnya, kami bicara tentang teknis fotografi, sehingga tidak mungkin dibahas semua di tulisan ini.

Pelajaran dari seorang fotografer

R cepat berlalu. Entah apa yang mau R kerjakan lagi pada jam delapan malam lewat. 

Selewat pertemuan dengan R, saya mengambil pelajaran dari R. Pelajaran berharga dari seorang muda yang membuka wawasan pandangan seseorang yang jauh lebih tua dari umurnya. Saya memikirkan banyak hal dari hasil percakapan dengan R. 

Tapi dari perbincangan menarik tersebut, saya menarik 3 (tiga) pelajaran dari seorang fotografer, yang tidak hanya berlaku bagi diri R seorang, namun juga berlaku bagi siapa saja, yaitu saya, kamu, dan entah siapa lagi.

Tiga pelajaran dari seorang fotografer bernama R itu adalah:

1. Pilih high-paid skill yang disukai

Terkadang kita membatasi diri dengan mengikuti arus utama dalam kehidupan, yaitu: sekolah - kuliah - cari kerja - kerja ikut orang/perusahaan. Mungkin juga arus utama itu bisa juga berwujud: sekolah - cari kerja - kerja ikut orang/perusahaan. 

Pekerjaan pun bisa dikatakan tidak bisa memilih yang disukai. Bagaimana bisa memilih kalau bidang pekerjaan diperebutkan oleh banyak orang dan sedikitnya jumlah lowongan pekerjaan? Otomatis, pekerjaan apa pun akan diambil dan dilakoni tanpa protes kalau mau bertahan hidup di tengah kejamnya dunia.

Oleh karena itu, daripada mengeluh yang jelas-jelas tidak akan mengubah dan tidak akan menghasilkan apa-apa, mulai saat ini, mulai detik ini, kita pikirkan keahlian, keterampilan yang high-paid, dibayar tinggi. Jangan menghabiskan setengah dari hidup untuk melakukan pekerjaan yang disukai atau tidak disukai, tapi dibayar dengan sangat rendah atau hanya cukup untuk kebutuhan hidup selama sebulan.

Pilihlah high-paid skill yang kita sukai, kuasai, dan menghasilkan cuan yang berlimpah. 

Mungkin ada di antara Anda yang tak sependapat dengan mengatakan, "Uang bukan segalanya...."

Ya, memang benar. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.

Saya tidak menyesali perjalanan tahunan mengajar saat doeloe kala. Yang saya sesalkan adalah saya tidak mencari tahu dan mendalami high-paid skill di kala itu. Seandainya saya memilih high-paid skill di masa lalu di samping pekerjaan utama sebagai guru, mungkin saya sudah jadi pengusaha yang sukses sekarang.

Tapi yang sudah terjadi tak perlu disesali. Meskipun terlambat, saya akan memulainya saat ini. Saya bersyukur Tuhan masih memberi saya kesempatan, kesehatan, dan kekuatan untuk berkarya. 

Bagi Anda yang masih berusia muda dan berada dalam posisi yang lebih baik daripada saya, pikirkan segera high-paid skill yang memang Anda banget. Skill tersebut memang Anda sukai, kuasai, dan menghasilkan uang yang banyak.

Sudah Anda tentukan? Bagus! Sekarang kita beralih ke pelajaran berikut.

2.Tekuni dengan sabar

Selalu ada proses panjang untuk mencapai kesuksesan. 

Itu adalah prinsip saya yang saya ramu dari berbagai buku biografi yang sudah tuntas saya baca.

Siapa tidak kenal Thomas Alva Edison? (Saya yakin generasi old tahu siapa Edison. Generasi now? Saya ragu mereka tahu. Mendengar namanya pun belum tentu mereka pernah). Edison adalah penemu bola lampu listrik dimana dia berhasil menemukan kawat pijar untuk bola lampu yang tahan lama setelah percobaan yang berulang-ulang, ratusan kali.

Begitu juga dengan Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika Serikat yang melegenda. Kita terkadang hanya tahu pencapaian sosok ini, tapi mungkin banyak yang tidak tahu kalau dia sudah melewati banyak kegagalan dalam hidupnya sebelum mencapai puncak karier sebagai presiden.

Ini baru salah dua dari begitu banyak tokoh yang menorehkan nama dalam sejarah dunia.

Koentji keberhasilan mereka adalah tekun. Konsisten dalam menjalankan pekerjaan mereka. Itulah yang mereka lakukan. Percaya; kerjakan; dan tidak lupa, berdoa kepada Tuhan yang memberi kekuatan.

Kesabaran memang perlu, karena proses untuk mencapai kesuksesan tidak mungkin diperoleh dalam semalam. Butuh waktu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. Oleh karena itu, sabar adalah langkah yang tidak bisa ditawar.

3. Terus upgrade alat dan diri

Meningkatkan.

Satu kata yang memang harus ada dalam benak setiap insan.

R saja meng-upgrade alat kerjanya, yaitu kameranya setiap berapa tahun sekali. "Supaya kualitas pemotretan tetap terjaga, atau malah meningkat dari sebelumnya," R beralasan soal penggantian rutin kamera sebagai "alat tempur"-nya.

Tidak cukup hanya dengan upgrade kamera, R juga mengakui kalau upgrade ilmu fotografi juga adalah keharusan karena fotografi adalah ilmu yang dinamis. Selalu berkembang dan berubah setiap saat. "Kalau tidak upgrade diri, saya bisa dikatakan kudet, kurang update, oleh orang lain," kata R soal pentingnya upgrade diri.

Belajar dari siapa saja

Sekarang saya "menyiapkan" mata dan telinga saya untuk belajar dari siapa saja. Jangan berasumsi seseorang itu tidak mempunyai nilai-nilai kehidupan yang bisa menjadi pembelajaran bagi setiap insan.

Ada banyak orang yang saya temui yang pada awalnya saya memandang skeptis, namun setelah berkenalan, ternyata orang-orang tersebut mempunyai cerita-cerita yang menarik, baik itu cerita hidup mereka, maupun pengalaman mereka dalam memecahkan beragam masalah yang mereka hadapi.

Semoga saya bisa "mengabadikan" kisah mereka, nilai-nilai moral yang mereka punya, dalam bentuk tulisan di mari.

Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun