"Iyalah, Om," kata sang lelaki yang berpenampilan biasa dengan postur kurus dan tinggi, serta langsing, alias kutilang seperti saya.
"Ini masih keponakan saya. Namanya R," kata S sambil mengangsurkan piring yang sudah berisi nasi dan ayam geprek pada sang pemuda.
"Oooh," kata saya, masih cuek.
Sempat hening selama beberapa saat. R sibuk menggerogoti ayam geprek dan nasi; S berkutat dengan entah apa di smartphonenya; dan saya sendiri sibuk menulis artikel di ponsel pintar saya, meskipun, karena aktivitas seharian, konsentrasi menulis tidak bisa maksimal di malam hari karena faktor kelelahan.
"Kerja dimana, Mas?" tanya saya, membuka percakapan, karena bosan menulis.
"Fo####."
"Maaf, Mas, gak denger. Apa, Mas?" saya tidak mendengar karena warung terletak di tepi jalan raya, sehingga suara bising kendaraan bermotor wara-wiri silih berganti membuat pendengaran seakan mampet.
"Fotografer."
"Oh, fotografer. Wah, enak tuh. Ngelakuin yang disuka," komentar saya.
"Iya. Meskipun awalnya orang tua maunya saya kerja ikut orang, tapi setelah tahu honor motret lumayan gede, mereka merestui."
"Kalau boleh tahu, hitungan honornya gimana, Mas?"