Saya terkadang makan di luar kalau kakak perempuan saya tidak memasak di rumah. Ada banyak warung makan, tapi saya memang tipikal pemilih, dalam artian saya makan di warung yang saya sudah tahu kalau rasa makanannya pas dengan lidah saya.
Sebenarnya warung yang menjual fried chicken atau ayam goreng bertebaran dimana-mana. Rasa setiap ayam goreng ya sama saja. Lalu apa yang membedakan ayam goreng di warung ini dengan ayam goreng di warung-warung yang lain?Â
Jawabannya hanya satu: keramahan sang penjual.
Ya, saya sudah sering kali membeli ayam gorengnya waktu saya masih tinggal di rumah kontrakan di dekat warung fried chicken-nya. Yang awalnya cuma sapaan ringan, lama kelamaan beralih ke percakapan akrab, mulai dari seputar ayam goreng (sesuai jualannya) sampai tentang olahraga.
Sayangnya, saya merasa bahwa alur berpikir S tidak sama dengan alur berpikir saya. Belum lagi kebiasaan S yang suka "mengumbar" kata, padahal saya tidak menanyakan hal itu. Misalnya, saya menanyakan tentang alat musik yang J (seorang guru seni budaya di salah satu SD swasta di Samarinda) bisa mainkan.
Ini pertanyaan tertutup. Tidak perlu penjelasan. Tapi malah S "berputar" dengan menjelaskan latar belakang J bisa diterima di SD swasta tersebut. Dan parahnya, setelah ngoceh panjang kali lebar kali tinggi, dia berkata, "Itu tadi baru prolog."
Penjelasan bagaimana J menjadi guru seni budaya di SD swasta tersebut tentu saja bukan yang saya ingin ketahui. Padahal, apa susahnya langsung menjawab, "J bilang dia bisa main gitar, keyboard, dan angklung. Yang lainnya saya tidak tahu. Mungkin ada lagi alat musik yang dia bisa."
Saya sudah menegur S akan "kesukaan" dia yang bertele-tele dalam menjawab, tapi dia bersikeras menganggap dirinya benar. "Supaya orang mendapat kejelasan dan tidak ada kebingungan karena informasinya lengkap," dalihnya.
Saya jadi malas berdebat dengan orang ini. Saya berasumsi, mungkin dia merasa diri pintar sekali dan dia merasa saya tidak sebanding kepintarannya dengan dia. Asumsi saya yang lain, dia ingin berbicara banyak pada orang, tapi dia tidak bisa mendapatkan orang yang mau mendengarnya, karena orang-orang yang datang kebanyakan hanya bertujuan membeli ayam goreng, dan setelah itu langsung pulang. Kalaupun ada yang makan di tempat, tidak banyak yang mau berdiskusi. Yah, kalau menurut saya, gimana mau berdiskusi, sedangkan S ini memonopoli pembicaraan dan kalau dia tidak sependapat, dia langsung menyela lawan bicara, bahkan kebanyakan dia "memotong" penjelasan lawan bicara. Alasannya, "Saya sudah bisa menangkap maksud Anda." Apakah benar begitu, atau sebenarnya dia tidak sabar menunggu lawan bicara selesai memaparkan buah pikirannya? Entahlah yang mana yang benar.
Sebenarnya saya sudah malas ngomong sama S, karena bagi saya, dia hanya orang yang mementingkan dirinya sendiri, merasa "hebat" tapi sayangnya, dia tidak sadar dengan anggapan itu.
Seperti yang berkaitan dengan berbagai istilah. Dia salah kaprah dalam memaknai istilah. Dalam suatu contoh, saya menceritakan tentang kebiasaan seorang artis, M, dalam menulis jurnal untuk mental healing.Â
S malah mengatakan bahwa jurnal itu tulisan ilmiah, bukan buku harian atau diary.
Saya bingung dengan manusia ini yang mengatakan kalau dia sudah meraih gelar S-2, tapi untuk pengertian sederhana tentang jurnal kok sempit seperti itu.Â
Saya pun menyarankan S untuk mencari makna jurnal di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, supaya "wawasan" bisa bertambah. Setelah S mendapatkan pengertian yang lengkap dari kata "jurnal", dia meminta maaf pada saya, meskipun terlihat dia sebenarnya tidak ikhlas dengan "kekalahannya".
Seakan belum cukup dengan itu, S mulai lagi dengan "prolog"-nya, mengumbar kata "deduktif" dan "induktif" dalam ocehannya, tapi sewaktu saya menanyakan pengertian deduktif dan induktif, S hanya menyebutkan bahwa deduktif itu dari umum ke khusus, dan induktif adalah dari khusus ke umum. Hanya sebatas itu, tapi S tidak tahu pengertian lengkap keduanya, dan tidak bisa memberikan contoh yang konkret.
Seakan belum lengkap, S melakukan blunder lagi ketika mengganti istilah "miskin" dengan "tidak mempunyai uang". Padahal dalam filosofi hidup yang saya bagikan beberapa hari sebelumnya, saya mengatakan "Jangan miskin, karena ....". Ternyata S lupa, dan dengan entengnya dia mengganti istilah "miskin" dengan "tidak mempunyai uang" yang ditinjau dari sudut mana pun, tidak mempunyai makna yang sama.
"Hati-hati kalau salah mengucapkan ke orang lain, Pak. Alih-alih termotivasi, orang tersebut malah bisa terpuruk dan putus asa, tidak melihat ada jalan keluar dalam kesulitan kehidupan," kata saya pada S. S hanya terdiam.Â
Bagaimana setiap insan bersikap saat berbicara atau menulis?
Bagi saya secara pribadi, ketika berbicara atau menulis, setiap insan harus berhati-hati, khususnya ketika menggunakan istilah-istilah yang asing atau tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Oleh karena itu, menurut saya, ada 3 (tiga) hal yang harus setiap insan lakukan demi kejelasan penyampaian pesan.
1. Tidak membatasi bahan bacaan
Saya melihat S mempunyai bacaan yang terbatas pada disiplin ilmu yang dia pernah tempuh sewaktu masih berkuliah dulu. Tidak ada yang salah dengan itu, tapi mungkin itulah yang menyebabkan S tidak mempunyai wawasan di luar bidang keilmuannya.Â
Sama dengan N, seorang kenalan, yang berprofesi sebagai pengacara. Dia mempunyai koleksi buku seputar hukum yang banyak tersedia di rak-rak bukunya. Bagaimana dengan buku-buku dengan genre lainnya? Tidak ada. Mungkin itu juga yang menyebabkan putra semata wayang tidak suka membaca buku. Apakah N suka membaca buku? Saya ragukan itu, menimbang dari tutur kata dan tindakan nyata sangat bertolak belakang dengan seorang insan yang berwawasan luas.
Bersosialisasi tidak hanya terbatas pada rekan seprofesi. Kita semua bersinggungan dengan banyak orang dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita "menyesuaikan" pemilihan kata atau diksi ketika berhadapan dengan orang-orang tersebut. Kesan arogan akan terlihat apabila kita memonopoli pembicaraan, memotong perkataan lawan bicara saat dia masih berbicara, dan tidak toleran pada perbedaan pendapat.
Membaca berbagai buku dengan genre yang berbeda-beda akan membuka wawasan kita sehingga kita bisa menerima perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang, dan sabar dalam mendengarkan opini seseorang.
Dan dengan banyaknya buku yang dibaca, berbagai pilihan kata pun jadi bervariasi, tidak itu-itu saja, serta bisa menyesuaikan dengan kemampuan "menyerap informasi" dari lawan bicara.
S menolak menjelaskan kepada saya tentang suatu topik karena menganggap saya "buta" sama sekali tentang topik tersebut.
"Percuma saya jelaskan. Pasti sampean juga tidak mengerti," katanya saat itu.
Saya tidak mengerti jalan pikiran S. Dia mengaku mempunyai gelar S-2, tapi kok malah meremehkan kemampuan pikiran saya dalam memahami. Atau dia sebenarnya tidak bisa menjelaskan dalam bahasa Indonesia sehari-hari? Mungkin ini masalahnya, tidak bisa menjelaskan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna, karena dia tidak punya kata-kata yang sesuai untuk semua kalangan.
Banyak membaca buku dari berbagai topik bisa mengusir keterbatasan wawasan. Saya teringat dengan suatu perkataan dari seorang mantan jurnalis, H, yang berkata, "Jurnalis itu tahu sedikit tentang banyak hal". Menurut saya, perkataannya adalah gambaran manusia yang bisa menyesuaikan diri dengan sekitar, sehingga perbedaan bisa diterima sebagai kenormalan.
2. Pahami makna istilah dengan benar sebelum menggunakan atau menyampaikan ke orang lain
Selain deduktif dan induktif, ada satu lagi kekeliruan S dalam memaknai istilah.
Saat itu, saya melihat S sedang memakan pentol bakso dalam sebuah plastik. Ada banyak saus sambal di dalam plastik. Saya tidak tahu kalau ternyata S sedang menyedot saus sambal, bukan memakan pentol bakso.Â
"Hati-hati kalau makan pentol bakso paklik yang jualan keliling pakai sepeda motor. Saya punya teman yang sakit perut besoknya. Katanya, curiga gara-gara makan pentol itu," kata saya mewanti-wanti.
"Ah, situ julid banget. Saya kan cuma ngisap sausnya. Pentolnya udah habis," kata S nyaring.
Saya heran. Kenapa saya dibilang julid? Saya penasaran. Saya tanya ke S, "Memangnya situ tahu apa artinya julid?"Â
"Resek, suka ikut campur urusan orang lain," katanya ringkas.
"Yakin itu artinya?" tanya saya balik.
S diam.
"Saya cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia supaya lebih jelas," kata saya sambil membuka aplikasi KBBI di HP dan mencari pengertian "julid".
"Nah, denger nih," Saya membuka suara, "Julid berarti iri dan dengki dengan keberhasilan orang lain, biasanya dilakukan dengan menulis komentar, status, atau pendapat di media sosial yang menyudutkan orang tertentu."
"Melihat ini, saya jadi bingung. Untuk apa saya iri saat Anda makan pentol atau ngisap sausnya?" tanya saya pada S.Â
S terdiam. Entah apa karena rasa malu atau karena hal lain.
Dari sini, kita bisa belajar tentang pentingnya memahami terlebih dahulu istilah-istilah yang hendak kita gunakan dalam perkataan dan tulisan, sehingga kesalahpahaman tidak terjadi.
3. Jangan sembarangan mengubah kata ke kata atau kata-kata yang lain, karena makna bisa berubah
Mencari sinonim, persamaan atau padanan kata memang tidak mudah. Oleh karena itu, perlu adanya referensi-referensi yang menunjang dan mendukung pembelajaran bahasa Indonesia sehingga penggunaan istilah atau kata bisa tepat guna.
Untungnya, di era teknologi informasi yang sudah maju saat ini, kemudahan mendapatkan pengetahuan sangatlah terang benderang.
Dengan gawai di tangan, kita bisa memperoleh pengetahuan dengan mudah. Lewat sentuhan jari di layar smartphone, kita bisa bertanya kepada Mbah Google tentang apa saja, mulai dari menanam cabai sampai mengerjakan soal matematika yang rumit.Â
Dan adanya berbagai aplikasi yang membantu dalam pekerjaan juga mempermudah dalam menuntaskan tanggung jawab.
Berhubungan dengan kata dan istilah, aplikasi kamus seperti aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan penolong dalam mencari pengertian istilah atau kata.
Dalam berbagai kesempatan menyunting naskah tulisan sebelum tayang di Kompasiana, saya mengandalkan aplikasi KBBI di HP. Saya menggunakan aplikasi ini dengan berbagai tujuan.
Pertama, Saya memeriksa apakah ejaan kata-kata, terutama kata-kata yang tidak umum dalam percakapan sehari-hari sudah tepat tertulis. Setelah mengecek di aplikasi, saya menyadari kalau ada kesalahan penulisan pada beberapa kata tertentu. Akhirnya, saya bisa memperbaiki ejaan beberapa kata yang keliru.
Contohnya: masih banyak orang yang keliru menuliskan "apotek" dengan "apotik", "telur" dengan "telor", "antre" dengan "antri", dan lain sebagainya. Aplikasi KBBI atau yang sejenis membantu dalam "meluruskan" kesalahan-kesalahan tersebut sehingga tidak berlarut-larut terjadi.Â
Kedua, mengubah kata lain yang kiranya mewakili "isi kepala" saya. Bisa sinonim, antonim, atau kata-kata, istilah-istilah yang sesuai dengan isi tulisan.
Bijak dalam memakai istilahÂ
Akhir kata, bijak dalam memakai istilah adalah tindakan yang harus mengemuka.Â
Jangan sampai kita asal comot atau menggunakan istilah dan kata yang sebenarnya kita belum memahami secara benar pengertiannya.Â
Perluas wawasan dengan membaca berbagai bacaan dari banyak disiplin ilmu; mencari arti yang sebenarnya dari istilah atau kata dalam sumber-sumber yang dapat dipercaya kebenarannya; dan kehati-hatian dalam mengganti istilah dan kata dengan istilah dan kata-kata yang lain, supaya tidak mengubah makna; adalah salah tiga dari banyak langkah untuk menggunakan bahasa sesuai dengan koridornya.
Semoga kita dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan dan tulisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H