Tidak ada senyum di wajahnya. Rambutnya sudah memutih semua. Kerut belum begitu menyemak di wajah, tapi mungkin sudah tampak lebih tua dari umur yang sebenarnya.
Seandainya dia bahagia, pasti kondisi wajah dan fisik tidak akan seperti penampakan saat ini.
Oleh karena itu, saya membayangkan kondisi saya dalam beberapa tahun ke depan. Saya memosisikan diri dalam usia sepantaran bapak tersebut.
Sambil bermenung dalam perjalanan, saya memutuskan kalau saya tidak ingin menjalani hidup masa tua seperti bapak tadi. Punya banyak waktu luang, tetapi tidak punya banyak uang. Penderitaan bertambah dengan berbagai penyakit yang menghampiri tubuh renta dan ringkih tersebut.Â
Untuk apa berusia panjang, tapi sakit-sakitan dan tidak bisa menikmati hidup ini?Â
Hidup saat jaya dipenuhi dengan kerja keras, bekerja pada suatu instansi, perusahaan, atau orang lain, tapi setelah memasuki masa pensiun, timbul penyesalan dalam diri, karena sewaktu tubuh masih kuat, lalai dalam menginvestasikan sebagian pendapatan untuk membuka usaha sampingan, rumah kontrakan, kos-kosan, atau hal-hal lain yang bisa memberikan penghasilan saat sudah purnatugas.
Saya menyesal. Kesadaran akan kokohnya keuangan baru menyeruak di penghujung masa hidup. Nasi sudah menjadi bubur. Saya tidak bisa memutar balik jarum jam.Â
Memanfaatkan waktu yang tersisa, hanya itu yang bisa saya lakukan. Berjuang sekuat tenaga, selama hayat dan semangat masih dikandung badan.
Melakukan yang bisa dilakukan semaksimal mungkin. Sembari berdoa, berupaya yang saya bisa.
Bermenung dalam perjalanan menjadi catatan di dalam otak, yang pada saat berada di tempat tujuan, entah itu tempat les atau rumah, saya segera menuliskan di dalam buku impian saya, dream book yang menjadi cetak biru, blueprint rencana masa depan dan target pencapaian, supaya apa pun yang menjadi tujuan hidup saya tidak buyar atau malah lenyap tertelan kehampaan.
Karena kesibukan atau segala permasalahan bisa membuat segala angan tersebut hanya menjadi asap yang kemudian lenyap tak berbekas.