Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Stagnasi Kompetensi Guru

14 Juni 2024   16:29 Diperbarui: 15 Juni 2024   07:21 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru (Shutterstock/Masrob via Kompas.com)

Kurikulum berubah silih berganti. Kondisi guru terkini, menurut saya, tidak membaik, tapi malah semakin memburuk. Kesibukan di luar jam mengajar menyita waktu, baik itu waktu istirahat maupun waktu untuk mengembangkan diri dan berkumpul bersama keluarga.

Meskipun ada kurikulum merdeka belajar dengan program guru penggerak, namun belum semua sekolah menerapkan kurikulum tersebut.

Kalaupun menerapkan, banyak kesalahpahaman tentang pelaksanaan kurikulum. Terlalu panjang kali lebar kali tinggi dalam blueprint kurikulum, namun kurang "membumi" dalam praktik nyata. Begitu yang saya dengar dari kebanyakan rekan guru dan juga yang saya baca di berbagai media daring. 

Terlepas dari pergantian rutin kurikulum yang silih berganti, saya hanya melihat pada sosok guru, pendidik yang berada di garis terdepan di "medan perang" pendidikan.

Sayangnya, selama puluhan tahun mengajar, baik itu di lembaga pendidikan formal maupun nonformal, saya mengamati, kebanyakan guru, khususnya guru ASN (menimbang saya kebanyakan mengajar di sekolah negeri), malas dalam mengembangkan diri.

Beberapa guru ASN, tentu saja, menunjukkan antusiasme tinggi dalam mengajar. Namun hanya segelintir yang menunjukkan kinerja mumpuni. Mayoritas pendidik yang berstatus abdi negara hanya sebatas memenuhi presensi.

Tentu saja, ini subjektivitas saya karena saya terbatas dalam melihat kalangan guru di lingkungan kerja dan saat kuliah dulu bersama guru-guru SD Negeri. Namun, dari pengalaman mengajar di sekolah selama 20 tahun lebih di lima sekolah yang berbeda semoga saja bisa mewakili dalam menjawab persoalan mengapa kebanyakan guru malas mengembangkan diri.

Menurut saya, ada 5 (lima) sebab mengapa kebanyakan guru malas mengembangkan diri, sehingga mengalami stagnasi kompetensi.

1. Kurang jelasnya penilaian kinerja

Mungkin saya yang kurang mendapat informasi secara lengkap atau memang kenyataan memperlihatkan tidak jelasnya aturan, penilaian kinerja guru terkesan hanya "formalitas". 

Memang, pada garis besarnya, kelengkapan administrasi mengajar harus lengkap, mulai dari Program Tahunan, Program Semester, Silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) harus dipenuhi oleh para guru.

Micro Teaching atau tes mengajar seperti ritual membosankan dari waktu ke waktu. Supervisi yang terlihat menjemukan.

"Kan bapak dan ibu sudah berpengalaman mengajar bertahun-tahun ...," kata S, salah seorang pengawas yang melakukan supervisi bertahun-tahun yang lalu.

Dan supervisi berlalu begitu cepat dengan kertas penilaian yang seakan mudah terisi begitu saja.

Ah, sekali lagi, mungkin cuma saya yang kurang mendapat informasi yang lengkap. Yang jelas, selama bertahun-tahun saya mengajar di beberapa sekolah dasar negeri, kebanyakan guru hanya sibuk dengan administrasi perlengkapan mengajar untuk supervisi yang, maaf, hanya copy-paste alias tambal sulam atau salin-tempel-modifikasi tanggal dan nama dari sumber-sumber di internet.

Kurikulum berganti beberapa kali, tapi sepertinya penilaian kinerja tetap sama saja. Tidak ada perubahan. Asumsi saya, dalam kurikulum merdeka, penilaian kinerja tetap lebih menitikberatkan pada kelengkapan administrasi yang menggunung, bukan performa guru dalam mengajar di ruang kelas.

Menurut saya, alangkah baiknya jika pemerintah melalui kementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (kemendikbudristek) lebih memperjelas aspek-aspek penilaian kinerja guru, bukan hanya dari segi kelengkapan administrasi, namun juga dari kinerja dan hal-hal di luar "hitam di atas putih", terutama dari segi pelaksanaan. 

Jangan hanya terlihat bagus di permukaan kertas, tapi dalam pelaksanaan justru hanya menitikberatkan pada administrasi guru yang segunung, persiapan pendidik sebelum mengajar di ruang kelas dan "PR" buat guru setelah mengajar yang menambah beban menjadi lebih berat. 

Ujian mengajar hanya sekadar menjalani aturan saja. Tidak ada kebaruan. Kiranya ujian mengajar bukan sekadar formalitas belaka, tapi juga mengevaluasi cara mengajar, bukan hanya pada saat supervisi saja, namun juga ketika pendidik mengajar di luar jadwal supervisi.

2. Jarang ada supervisi rutin secara berkala dan teratur

Selama lebih dari dua puluh tahun mengajar di beberapa sekolah dasar negeri, saya melihat kecenderungan yang sama.

Pengawasan pada kinerja guru yang amat sangat kurang tercermin dalam keseharian. Supervisi, ajang penilaian performa guru sangat jarang dilaksanakan.

Jangankan sebulan sekali; tiga bulan sekali atau enam bulan sekali syukur-syukur kalau ada.

Yah beginilah di negeri +62. Ada D, salah seorang guru yang pernah berkata pada saya, "Di Indonesia, peraturan dibuat untuk dilanggar."

Mendengar pernyataan D, sebenarnya kalimatnya sudah tidak asing lagi di telinga saya,

Banyak peraturan di Indonesia tercinta ini, namun sepertinya dari doeloe sampai sekarang, setiap aturan dan undang-undang hanya ada untuk "dibengkokkan" atau malah "dipatahkan".

Saya tidak tahu bagaimana hitam di atas putih aturan-aturan seputar supervisi dituangkan, namun saya rasa tidak mungkin setiap tiga bulan sekali atau setiap enam bulan sekali.

Seorang teman guru, S, yang mengajar di SD swasta menyikapi anehnya "rutinitas" supervisi di sekolah negeri, "Aneh. Kalau di sekolah saya, supervisi diadakan satu kali dalam sebulan. Rutin. Itu pun sudah dibuat jadwal supervisi untuk satu tahun ajaran. Sebelum mulai semester satu, jadwal sudah tersaji."

Memang sangat jarang melihat hal persiapan supervisi yang terencana di sekolah negeri, apalagi rencana supervisi untuk satu tahun ajaran.

Dengan adanya supervisi rutin secara berkala dan teratur, para pendidik akan lebih memperbaiki diri, bukan puas dengan pengalaman bertahun-tahun dalam mengajar.

Zona nyaman karena merasa sudah profesional sebagai pendidik yang ditandai dengan sertifikasi, namun lupa kalau dunia pendidikan selalu berubah.

Supervisi akan menggerakkan pendidik untuk mengembangkan diri dalam proses belajar mengajar sehingga ada variasi dari tahun ke tahun, bukan hanya bertahan pada metode ceramah yang terus digunakan sampai pensiun.

3. Kurangnya kesadaran mengembangkan kapasitas diri

Status Pegawai Negeri Sipil atau sekarang dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) memang memabukkan. Mulai dari banyaknya tunjangan, gaji yang sudah UMR dan terus naik seiring kenaikan golongan; sampai uang pensiun yang menjadi daya tarik terkuat.

Sayangnya, jaminan amannya jabatan tidak dibarengi oleh kerja keras. Kebanyakan rekan guru yang berpredikat ASN tidak menampilkan kerja keras sewaktu mengajar. Alih-alih rajin, gelagat malas dan jemu yang mereka perlihatkan.

Kenapa bisa demikian?

Ada alasan tunggal yang saya temukan dari beberapa teman guru. Alasan yang sangat mengagetkan.

"Ah, buat apa susah-susah mengajar. Toh golongan, kenaikan pangkat otomatis terkerek. Tanpa perlu capek-capek menyiapkan segala tetek bengek administrasi pengajaran," kata S, seorang teman guru dan juga seorang ibu rumah tangga, "Saya dulu juga idealis. Mengajar secara maksimal. Tapi waktu melihat rekan guru mendapat kenaikan pangkat dan golongan meskipun jarang masuk dan mengajar sekadarnya, saya jadi menyadari bahwa mengajar seperti biasa saja toh juga tetap naik golongan dan pangkat."

Pernyataan S beberapa tahun yang lampau terbukti, menurut pengamatan saya, masih tetap berlaku sampai saat ini, meskipun kurikulum sudah berganti.

Saya tidak tahu tentang aturan kepegawaian dan penilaian kinerja ASN, namun kalau mencermati kondisi, naiknya golongan, pangkat, dan gaji, serta tunjangan hanya berdasarkan Terhitung Mulai Tanggal (TMT) alias seberapa lama mereka bekerja sebagai guru ASN.

Penilaian kinerja lewat kehadiran (dibaca: disiplin diri) dan supervisi terkesan "formalitas" belaka. Tidak terlihat perubahan performa guru setelahnya.

Akibatnya, guru yang mulanya rajin jadi malas, dan yang malas jadi bertambah malas, karena kerja rajin atau malas ya sama saja. Golongan, pangkat, dan gaji tetap menaik, bukan menurun.

Otomatis, paradigma kesadaran mengembangkan kapasitas diri hanya ilusi. Cukup di bibir, tapi tidak merupa dalam tindakan nyata dalam bentuk kinerja.

4. Kurangnya/Tidak adanya evaluasi guru setiap akhir semester atau setiap akhir tahun ajaran

Ini yang menjadi persoalan di sekolah-sekolah negeri pada umumnya. Evaluasi hanya bagi peserta didik, bukan pendidik.

"Kan sudah ada supervisi. Ngapain harus ada evaluasi lagi?" begitu kata M, waktu mendengar ada wacana evaluasi pendidik saat akhir semester dan setiap akhir tahun ajaran beberapa tahun yang lalu.

M, rekan guru yang sudah senior sebagai ASN tentu merasa nyaman dengan keadaan sekarang. Santai tanpa tekanan, tanpa target. Pusingnya hanya saat supervisi yang "cuma formalitas belaka".

Sekali lagi, ini menjadi kebiasaan yang sudah membudaya. Zona aman dan nyaman tanpa gangguan memang menjadi privilege ASN.

Otomatis upgrade golongan dan gaji naik, bukan dari penilaian kinerja secara benar, tapi pengalaman kerja yang "begitu-begitu saja".

Aman dari pemecatan kecuali melakukan pelanggaran berat atau kriminal.

Nikmat mana yang mereka dustakan?

Sayangnya, pengawasan kinerja pada para pendidik yang berstatus ASN kurang terkontrol, malah terkesan ada pengabaian dari pemerintah. Meskipun kurikulum berganti berkali-kali sekali pun, kalau mental dan pelaksanaan memble, hasil pendidikan tidak akan beranjak naik.

Oleh karena itu, evaluasi kinerja guru setiap akhir semester dan akhir tahun pelajaran perlu dilaksanakan, supaya guru tetap sadar akan tanggung jawabnya sebagai pendidik untuk terus meningkatkan kompetensi dalam mengajar, dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

5. Kurangnya penghargaan dari pemerintah terkait kinerja bagus para guru

Jangankan guru, pegawai negeri sipil yang bertugas di instansi pemerintah yang lain juga bernasib kurang lebih sama.

Tapi yang menyedihkan sebagai guru ASN adalah biarpun kinerja bagus, penghargaan dari pemerintah sangatlah minim.

Ada rasa aneh mendengar pembesar negeri entah itu gubernur, bupati atau walikota yang selalu mengagungkan pencapaian Jepang dalam menghargai guru sesudah Perang Dunia II.

Ya, itu di Jepang. Bagaimana dengan di Indonesia?

Banyak kepahitan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Mulai dari guru honorer yang tidak mendapat honor yang selayaknya selama bertahun-tahun, kurikulum yang selalu berganti setiap ganti kepemimpinan dalam kemendikbudristek, sampai kisruh Uang Kuliah Tunggal (UKT) saat ini.

Kembali ke soal penghargaan kepada guru di negara Jepang, seharusnya Indonesia merasa malu memperlakukan para pendidik.

Menyatakan wacana agungnya profesi guru di negeri matahari terbit saat upacara Hari Guru setiap tahunnya di Indonesia seperti pengulangan usang. Tidak perlu dan tidak ada gunanya sama sekali karena perlakuan pemerintah negeri +62 kepada para guru belum memadai dalam banyak hal, tidak seperti perlakuan pemerintah Jepang kepada guru-guru mereka.

Dan yang paling vital adalah penghargaan. Apakah Anda pernah mendengar pemerintah memberikan penghargaan kepada guru-guru berprestasi dan media-media memublikasikannya?

Jujur saja, saya tidak pernah mendengar satu berita pun sejauh saya ingat.

Lebih banyak artis dan para pesohor yang mendapat penghargaan dari pemerintah. Guru? Pemerintah seperti memandang sebelah mata pada profesi ini. Tidak percaya? Lihatlah guru-guru honorer dengan gaji yang hanya ratusan ribu per bulan, ada yang hanya dapat dua ratus atau tiga ratus ribu per bulan selama bertahun-tahun.

Tanggung jawab sama dengan guru-guru ASN, tapi imbalan tidak setara. Tugas menumpuk, mulai dari mempersiapkan kelengkapan administrasi mengajar, full-nya jam mengajar, sampai melakukan pengisian rapor peserta didik. Guru honorer mempunyai kewajiban yang sama, tapi mendapat perlakuan yang berbeda.

Sudah saatnya pemerintah tidak mengumbar "angin surga" terus-menerus kepada para pendidik. Penghargaan dalam bentuk lisan tidak akan menghilangkan rasa lapar dan dahaga para guru.

* * *

Pada akhirnya, pendidikan di Indonesia tidak akan menaik jika pemerintah hanya berkutat dengan retorika.

Naiknya kompetensi guru, baik itu guru ASN maupun Non ASN sangatlah bergantung pada blueprint (cetak biru) kebijakan pemerintah dalam menumbuhkembangkan pendidikan; dan pelaksanaan yang baik, benar, dan tepat sasaran, serta bebas dari korupsi.

Kalau pemerintah benar-benar menjalankan roda pelaksanaan memajukan pendidikan, niscaya para pendidik tidak akan mengalami stagnasi kompetensi. Mereka akan bekerja keras, mengajar dan mendidik peserta didik karena pemerintah peduli pada nasib dan masa depan pendidik beserta keluarganya; dan pemerintah mengejawantahkan impian para pendidik dan bukan sekadar mengumbar slogan kosong.

Stagnasi kompetensi guru, semoga tidak terjadi (lagi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun