Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Stagnasi Kompetensi Guru

14 Juni 2024   16:29 Diperbarui: 15 Juni 2024   07:21 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa bisa demikian?

Ada alasan tunggal yang saya temukan dari beberapa teman guru. Alasan yang sangat mengagetkan.

"Ah, buat apa susah-susah mengajar. Toh golongan, kenaikan pangkat otomatis terkerek. Tanpa perlu capek-capek menyiapkan segala tetek bengek administrasi pengajaran," kata S, seorang teman guru dan juga seorang ibu rumah tangga, "Saya dulu juga idealis. Mengajar secara maksimal. Tapi waktu melihat rekan guru mendapat kenaikan pangkat dan golongan meskipun jarang masuk dan mengajar sekadarnya, saya jadi menyadari bahwa mengajar seperti biasa saja toh juga tetap naik golongan dan pangkat."

Pernyataan S beberapa tahun yang lampau terbukti, menurut pengamatan saya, masih tetap berlaku sampai saat ini, meskipun kurikulum sudah berganti.

Saya tidak tahu tentang aturan kepegawaian dan penilaian kinerja ASN, namun kalau mencermati kondisi, naiknya golongan, pangkat, dan gaji, serta tunjangan hanya berdasarkan Terhitung Mulai Tanggal (TMT) alias seberapa lama mereka bekerja sebagai guru ASN.

Penilaian kinerja lewat kehadiran (dibaca: disiplin diri) dan supervisi terkesan "formalitas" belaka. Tidak terlihat perubahan performa guru setelahnya.

Akibatnya, guru yang mulanya rajin jadi malas, dan yang malas jadi bertambah malas, karena kerja rajin atau malas ya sama saja. Golongan, pangkat, dan gaji tetap menaik, bukan menurun.

Otomatis, paradigma kesadaran mengembangkan kapasitas diri hanya ilusi. Cukup di bibir, tapi tidak merupa dalam tindakan nyata dalam bentuk kinerja.

4. Kurangnya/Tidak adanya evaluasi guru setiap akhir semester atau setiap akhir tahun ajaran

Ini yang menjadi persoalan di sekolah-sekolah negeri pada umumnya. Evaluasi hanya bagi peserta didik, bukan pendidik.

"Kan sudah ada supervisi. Ngapain harus ada evaluasi lagi?" begitu kata M, waktu mendengar ada wacana evaluasi pendidik saat akhir semester dan setiap akhir tahun ajaran beberapa tahun yang lalu.

M, rekan guru yang sudah senior sebagai ASN tentu merasa nyaman dengan keadaan sekarang. Santai tanpa tekanan, tanpa target. Pusingnya hanya saat supervisi yang "cuma formalitas belaka".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun