Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah Ada yang Tidak Pernah Terjatuh?

9 Mei 2024   07:25 Diperbarui: 9 Mei 2024   07:27 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Makanya, hati-hati kalau ngendarai motor. Jangan ngebut. Lihat sekelilingnya. Fokus di jalan...."

Entah sudah berapa kali S mengatakan petuah membosankan ini kepada saya, tapi kepada L, sepertinya ini yang pertama.

"Yah, kan ini kecelakaan. Bukan disengaja," L jengkel.

"Pokoknya hati-hati...,"  S tetap bersikukuh.

Saya sebenarnya malas berdebat dengan kakak perempuanku yang satu ini. Empat kakak perempuan, yaitu L, I, S, dan E; tapi di antara mereka, S yang paling ngotot kalau berbicara soal opini.

Sayangnya, opininya kebanyakan tidak sesuai logika, dan kali ini pun sama ngawurnya sehingga membuat mulut saya "gatal" untuk berkomentar.

"Sudahlah. Namanya juga kecelakaan. Tidak disengaja. Lagian, mana ada orang yang mau celaka," Saya memasuki arena "pertempuran" yang sebenarnya percuma.

"Yah, hati-hati dong," S masih ngotot.

"Memangnya kamu belum pernah kecelakaan?" tanya saya, berharap S menyadari bahwa dia pun pernah mengalami kecelakaan saat bersepeda motor.

Sayangnya hal itu tidak terjadi.

"Pernah, tapi L seharusnya hati-hati," S malah berkelit dengan cepat, mengalihkan topik.

Hadeeh. Saya malas menanggapi, karena jika meneruskan debat, tidak akan ada gunanya. S tetap akan ngotot mempertahankan pendapatnya.

Memang susah kalau punya saudara atau teman yang merasa dirinya benar, padahal dia tidak pernah mengalami peristiwa yang serupa.

Empati tidak hadir dan logika mati.

S kaget dengan penuturan L yang pernah mengalami dua kecelakaan saat bersepeda motor.

Akibatnya, S mengeluarkan nasihatnya langsung seketika itu juga seperti tanpa berpikir lagi.

S merasa dia sangat berhati-hati dalam mengendarai sepeda motor dan tidak pernah mengalami kecelakaan yang serius. Hanya sebatas jatuh dan luka lecet kecil biasa di tangan atau kaki.

Bagaimana seharusnya bersikap?

Mungkin Anda punya saudara atau teman yang bertingkah laku seperti S, yang suka ngotot, merasa diri benar, dan tidak mau mendengar apa kata orang. Atau Anda sendiri malah seperti S? Semoga saja tidak!

Yang jelas, menurut saya, tindakan S kurang elok. Tidak bisa menjadi panutan dan otoriter dalam berperilaku.

Tiga saran dari saya berikut kiranya bisa menjadi masukan bagi S dan orang-orang lain yang mungkin berperilaku serupa.

1. Menyadari tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini

Siapa sih manusia yang sempurna di dunia ini? Tentu saja, jawabannya gamblang dan terang benderang: tidak ada.

Setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ada plus dan minus dalam masing-masing individu.

Mengacalah di depan cermin. Pastilah dari wajah saja, kita bisa melihat banyak kekurangan secara fisik. Mulai dari jerawat yang bercokol di wajah, menganggap hidung terlalu pesek atau terlalu mancung, tahi lalat yang dianggap mengganggu estetika, dan lain sebagainya.

Sayangnya, lebih mudah menilai kekurangan pada wajah dibanding kesalahan perilaku diri. Parahnya, menyoal kekurangan orang lain lebih mudah dilakukan daripada mengumbar kelemahan sendiri.

Sudah saatnya sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Tuhan memang sengaja menciptakan manusia dengan segala keterbatasan. Supaya tidak timbul arogansi dan bisa saling membantu antara setiap insan.

Mengingatkan orang akan kesalahan yang dia perbuat sebenarnya tidak menjadi soal. Hanya, harus memperhatikan cara menyampaikannya. Mengutarakan dengan santun lebih baik daripada grasah-grusuh kasar, merasa dirinya benar.

2. Menyadari sehebat apapun manusia berhati-hati, dia pasti akan berbuat salah

"Hati-hati di jalan."

Saya rasa, Anda sudah sering mendengar wejangan ini dari anggota keluarga atau kenalan.

Tidak salah melontarkan nasihat "hati-hati", namun perlu menyadari bahwa sehebat apapun manusia berhati-hati, dia pasti akan berbuat salah pada waktunya.

Justru, dari kesalahan, kita bisa memetik pelajaran kehidupan. Kalau hidup mulus-mulus saja, kehidupan tidak akan berwarna-warni. Membosankan adanya.

Tapi jangan juga ceroboh, sengaja mencari-cari persoalan dan masalah. Menggeber sepeda motor dan mobil sekencang-kencangnya tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali bencana di ujungnya (kecuali Anda pembalap MotoGP dan memacu kendaraan di balapan resmi di sirkuit Mandalika, tentu saja akan menghasilkan "sesuatu").

Jatuh karena kecelakaan khususnya kecelakaan lalu lintas saat bersepeda motor tidak bisa dielakkan. Banyak hal bisa terjadi, mulai dari "kesandung" polisi tidur, sampai menghindari kucing yang seenaknya menyeberang jalan, sehingga menyebabkan motor beserta pengendara mampir sejenak di parit terdekat.

Berhati-hati harus, tapi apabila jatuh, itu adalah kewajaran. Belajar dari hal itu dan berusaha untuk tidak mengulanginya atau terjadi kembali.

3. Menyadari bahwa Tuhan memegang kendali

Jika Tuhan mengizinkan kecelakaan menimpa, manusia bisa apa?

Manusia berusaha, tapi Tuhan yang menentukan.

Siapa yang tahu dan bisa memperkirakan, ketika pergi segar bugar, saat di jalan mengalami kecelakaan tabrak lari, dan anggota keluarga meninggal di tempat kejadian?

Itu rahasia Tuhan, misteri kehidupan yang sengaja Tuhan tutup supaya manusia tidak jemawa akan umur panjang atau kekuatannya.

Karena kita berasal dari Tuhan. Dia yang menciptakan manusia. Cepat atau lambat, Dia akan memanggil kita kembali kepada-Nya. Bagaimana caranya, hanya Tuhan yang tahu, karena Tuhan yang memegang kendali.

Kembali ke pertanyaan

Sudah tentu jawabannya adalah: Tidak ada.

Semua pasti pernah terjatuh. Semua orang tanpa terkecuali. Itulah kehidupan. Kalau jatuh, jangan lupa bangkit kembali, Belajar dari "jatuh" tersebut.

Arogansi menasihati dan merasa diri sangat berhati-hati seharusnya tidak terjadi. S dan entah siapa lagi harus menyadari bahwa kesombongan melekat pada diri mereka dan mereka lupa bahwa mereka cuma manusia biasa, sama seperti orang yang dinasihati.

Terjatuh adalah manusiawi. Semua orang mengalami di setiap masa. Berhati-hati harus, tapi kalaupun terjatuh, bangkit kembali dan belajar dari pengalaman tersebut, supaya tidak terjatuh di "lubang" yang sama dua kali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun