Salah seorang murid les, S, mungkin bagi pemandangan orang lain, S adalah anak yang beruntung.
Meskipun bukan berada dalam keluarga yang kaya raya, namun S bisa memperoleh benda-benda yang diinginkannya.
Kebetulan saya sudah mengajar les privat kepada S sejak S duduk di bangku kelas dua SD. Sekarang S berstatus sebagai siswa SMP kelas sembilan.
Dalam tujuh tahun les ini, saya melihat berbagai pembelian yang terkesan impulsif di mata saya. Ayah dan ibu S mengabulkan permintaan putra semata wayang, S, untuk membelikan barang-barang keinginannya.
Yang saya pantau, dimulai dari pembelian sepeda gunung (mountain bike). S melihat orang lain punya sepeda gunung, dia pun ingin mempunyai sebuah sepeda gunung.
Senang mengendarai di awal memiliki, sekarang, sudah bertahun-tahun, sang sepeda teronggok merana sendirian di pojok parkiran mobil.
Ban kempis depan dan belakang, berdebu dengan ketebalan menggunung, karat menyemak di rangka. Nasibnya kelak mungkin hanya laku terjual sebagai besi tua.
Melihat keyboard dengan simbol tiga garpu tala yang keren, S bernafsu untuk memiliki keyboard kepunyaan tantenya tersebut.
Merengek kepada sang ibu untuk mengusahakan keyboard berpindah tangan (ke S tentunya). Namun ibunya tidak menanggapi. Tantenya juga tidak merespon, meskipun sang keyboard hanya menghias sudut kamar tidur.
Membeli keyboard baru. Cuma itu satu-satunya cara untuk memenuhi hasrat memiliki. Mendesak orangtua untuk secepat mungkin membeli di toko terdekat. Merek sembarang. Harga beli sekitar satu juta rupiah.
Nasibnya kurang lebih sama dengan sepeda. S hanya rajin berlatih memainkan keyboard di satu-dua minggu pertama. Setelah itu S bosan. Keyboard tergeletak begitu saja. Tidak diperhatikan. Debu pun menyapa keyboard.