Bahasa Inggris.
Dua kata yang masih sangat jauh dari keseharian. Tak heran, status "bahasa asing" masih melekat pada bahasa Inggris di Indonesia.
Menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua seperti di negara-negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia, sepertinya bakal lama bisa terwujud. Apalagi dengan minimnya upaya dari pemerintah (dalam lingkup Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek)) dan pihak lembaga pendidikan (dalam lingkup sekolah dan perguruan tinggi).
Dalam tulisan ini, saya hanya membatasi bahasan dalam ruang lingkup sekolah, yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).Â
Untuk kebijakan seputar pembelajaran bahasa Inggris yang merupakan produk dari Kemendikbud Ristek dan penggunaan bahasa Inggris di jenjang Perguruan Tinggi, biarlah pihak-pihak lain yang membahasnya.
Sudah jamak di pendengaran kalau bicara soal bahasa Inggris, tidak terlepas dengan kegiatan "English Day", the one and only, yang biasanya dilaksanakan setiap hari Jumat.
Seakan-akan "English Day" tak tergantikan.
Seolah-olah "English Day" adalah "menu wajib" di setiap sekolah menengah.
Dari Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) dan pengalaman mengajar di beberapa sekolah menengah, saya melihat penerapan "English Day" di sekolah-sekolah tersebut dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menerapkan penggunaan bahasa Inggris di saat senam pagi bersama di hari Jumat
Penerapan bahasa Inggris ketika senam pagi sedang berlangsung sangatlah terbatas pada metode Total Physical Response (TPR) di mana lebih mengarah kepada "perintah" (command) dan "tindakan" (action) yang berhubungan dengan senam.
Misalnya, apabila guru yang memimpin senam mengucapkan "Say 'Good Morning'", maka seluruh peserta senam harus mengucapkan kalimat yang sama, yaitu "Good Morning".