"Ya, anak bapak mengidap rematik jantung. Tidak boleh beraktivitas terlalu berat dan harus rajin suntik obat satu kali dalam sebulan secara rutin."
Pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan. Waktu itu saya masih berstatus siswa SMP, dokter spesialis penyakit dalam (internis), sebut saja dokter Hendra, memvonis saya menderita rematik jantung.
Diagnosis diambilnya dari pernyataan saya perihal suara "krek krek" dan nyeri di dada kiri sewaktu berolahraga, serta bukti analisis foto rontgen paru-paru saya.
Tak bisa bisa dibayangkan bagaimana rasanya perasaan waktu itu. Masih berusia sekitar 14 tahun, namun merasa hidup seperti di ujung tanduk.
Gara-gara suara "krek-krek" dan nyeri di dada kiri saat berlari mengelilingi lapangan merdeka di Balikpapan dalam beberapa putaran (mungkin dua atau tiga putaran. Lupa persisnya) dalam rangka pengambilan nilai praktik pelajaran olahraga, saya harus menjadi penderita penyakit rematik jantung.
"Beritahu guru olahraganya kalau anak bapak tidak bisa mengikuti pelajaran praktik seperti anak-anak biasa lainnya,"pesan sang dokter pada ayah saya.
Anak-anak biasa lainnya? Apakah saya termasuk anak luar biasa atau dalam biasa?
Saya cuma bisa berkata dalam hati.
Tidak ada surat dari dokter untuk pihak sekolah.
Sewaktu tiba di rumah, ayah berkata pada saya, "Nanti kamu bilang sama guru olahragamu supaya tidak membebanimu dengan olahraga yang terlalu berat."
Saya mengiyakan perintah ayah, meskipun merasa aneh.
"Kenapa bukan ayah yang langsung bilang sendiri seperti kata dokter?"
Tapi saya tidak mengatakan itu.
"Mungkin karena ayah sibuk bekerja, Kan anaknya banyak," pikirku.
Saya pun menuruti apa kata ayah.
Guru olahraga tidak berkata apa-apa. Tidak ada ekspresi yang berbeda di wajah.
Saya kira pak guru mengerti perihal pesan "dispensasi" dari dokter untuk memberikan saya "keringanan" sewaktu mengikuti pelajaran olahraga atau ketika menjalani praktik pengambilan nilai.
Pertemuan pertama, guru masih ingat.
Pertemuan kedua, sudah mulai samar-samar terkait "dispensasi"
Pertemuan selanjutnya dan seterusnya, sudah tak ada perbedaan dengan teman-teman lainnya. Tidak ada perlakuan khusus.
Sebagai pengobatan, suntik obat di pantat satu kali setiap bulan, meskipun secara pribadi, saya tidak merasakan dampak yang signifikan dari obat tersebut.
Kalau tidak salah, hanya tiga bulan, saya menjalani pengobatan. Karena merasa tidak mendapatkan manfaat dari obat yang disuntikkan, saya memutuskan sepihak untuk tidak melanjutkan pengobatan. Selain itu, biaya sekali suntik juga tidak bisa dikatakan murah. Itu juga menjadi bahan pertimbangan.
Saya pun mulai menerima keadaan saya apa adanya. Menjalani hidup seperti biasa sebelum mengetahui vonis.
Bahkan, saya bersepeda ke sekolah dengan ringannya. Terpaksa saya lakukan karena kondisi ekonomi keluarga, yang mulai menunjukkan tanda-tanda memburuk.
Bersepeda pergi ke sekolah dan pulang ke rumah dengan 30 menit pergi - 30 menit pulang, plus pergi ke rumah teman untuk belajar bersama (30 menit pergi - 30 menit pulang dengan bersepeda).
Sama sekali tidak ada kendala. Malah di masa SMP, prestasi akademik oke punya.
Karena bisnis ayah tidak berjalan lagi dan utang menumpuk, segala yang bisa dijual terpaksa dilakukan. Sepeda termasuk salah satu diantaranya. Terpaksa saya berpisah dengannya.
SMA berlalu tanpa kesan. Kondisi kesehatan tidak ada masalah, meskipun kekhawatiran akan rematik jantung terus membayang.
Sampai pada suatu titik, sewaktu memasuki perkuliahan, saya melihat sebuah buku kepunyaan kakak saya, Rani (bukan nama sebenarnya) di atas lemari. Ada beberapa buku diatas lemari tersebut, namun buku ini langsung menarik perhatian saya.Â
Meskipun membetot perhatian, saya tidak langsung membuka dan membaca buku "Aerobik" karangan Kenneth H. Cooper. M.D. MPH tersebut. "Ah, mungkin tentang senam aerobik," pikir saya waktu itu.
Saya mengambil buku yang lain untuk dibaca.
Namun memang timbul penasaran dalam hati setelah lewat beberapa hari
"Aneh. Kalau memang bicara tentang senam aerobik, kok cover depan buku gambarnya orang berjalan, berenang, dan bersepeda?"
Pada akhirnya, saya menebus rasa penasaran dengan membuka dan membaca buku tersebut. Dan ternyata, dugaan saya tentang senam aerobik salah besar!
Terlihat, ini bukan menyangkut spesifik mengenai senam aerobik. Buku ini mengupas lebih luas dari itu, dimana "aerobik", kunci mencapai kebugaran "dengan oksigen" dibahas tuntas di buku dengan total jenderal 330 halaman
Buku ini membuka mata saya mengenai kesalahpahaman persepsi tentang penampakan fisik luar yang terlihat prima tidak menjamin dalamnya juga sama primanya.Â
Ternyata, untuk menggapai kesehatan yang baik dan benar tidak memerlukan latihan yang sukar dan tidak membutuhkan biaya yang besar.
Lari, renang, bersepeda, lari di tempat, jalan, adalah salah lima diantaranya, tapi tiga besar yang memberikan dampak yang sangat signifikan adalah lari, renang, dan bersepeda.
Saya sangat termotivasi dengan orang-orang yang mendapat pengaruh positif dari latihan olahraga tersebut. Tubuh menjadi kuat, penyakit pun menyingkir.
Saya merasa tertantang waktu itu.
Apakah saya bisa mencapai kebugaran seperti mereka yang dikisahkan di buku ini?
Apakah saya mampu mengikuti program latihan?
Apakah jantung saya tidak akan terkendala?
Berbagai pertanyaan berawalan "Apakah" berseliweran di kepala. Keraguan melanda. Tapi kalau tidak mencoba, bagaimana bisa tahu berhasil atau gagal?
Untungnya, Program Latihan Kategori I sangatlah dasar. Dimulai dengan intensitas terendah. Dan lari adalah pilihan saya.
Apa alasan saya memilih lari dalam rangka mencapai kesehatan diri?
Ada tiga alasan untuk itu.
Pertama, Tidak memerlukan sarana dan prasarana yang mahal
Tentu saja tidak seperti renang yang membutuhkan kolam renang dan bersepeda yang membutuhkan sepeda, lari hampir bisa dipastikan minim biaya operasional.
Dengan pakaian kaus atas, celana lari, dan sepatu lari, cukuplah. Untuk lintasan lari, bisa menggunakan jalan raya atau area lari di Gelanggang Olahraga (GOR) terdekat.
Kedua, Waktu latihan fleksibel
Inilah yang membuat saya suka akan lari. Lari bisa dilakukan kapan saja. Pagi, siang, malam, tengah malam, bahkan dini hari sekalipun tidak menjadi masalah (Itu pun kalau berani lari di tengah malam. Saran, lebih baik jangan dilakukan saat tengah malam. Nanti disangka maling, hehehe).
Berbeda dengan renang yang tergantung pada jam buka kolam renang di hotel dan layanan olahraga publik, kecuali Anda seorang "sultan" yang mempunyai kolam renang pribadi di rumah.
Begitu juga dengan bersepeda. Jalanan licin saat atau sesudah hujan bisa membahayakan pesepeda saat meluncur dengan sepedanya.
Lari tidak membutuhkan "jam buka layanan" jalur lintasan lari, karena sudah tersedia jalan raya secara gratis yang buka 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, dalam kondisi cuaca apa pun.
Itu yang menyebabkan saya memilih lari, karena kalau tidak sempat lari di pagi hari, saya lari di sore hari. Begitu juga sebaliknya.
Ketiga, Nilai aerobik tertinggi
Waktu yang sedikit, tapi mendapatkan manfaat terbanyak.
Dengan lari satu mil dalam waktu 8 menit atau kurang setara nilai aerobiknya dengan renang 24 putaran (600 yard) dalam waktu kurang dari 15 menit dan bersepeda 5 mil dalam waktu kurang dari 20 menit.
Betapa efektif dan efisiennya lari. Oleh karena itu, saya memutuskan memilih lari sebagai program latihan membangun kebugaran diri.
Proses jatuh bangun
Menjalani program latihan tentulah tidak mudah. Apalagi di tiga minggu awal hanya diisi dengan jalan dengan frekuensi lima kali dalam seminggu sejauh satu mil. Masih belum terasa efeknya.
Ada hal yang berbeda setelah memasuki minggu ke-4 dan mengarungi sampai minggu ke-6. Kombinasi jalan dan lari menjadi "santapan" wajib di tiga minggu ini.
Masih lebih banyak jalan daripada lari. Tubuh masih perlu penyesuaian. Napas masih ngos-ngosan. Tiga minggu menjadi babak untuk meningkat ke level yang lebih tinggi.Â
Pada Minggu ke-7, mulailah tingkatan yang baru. Full Running. Lari penuh tanpa jalan di sela-selanya. Tentu saja, sangat berat waktu di awal, namun setelah minggu demi minggu bergulir, lari menjadi ringan. Rasa berat saat mengayunkan kaki mulai tak terasa
Mulai dari satu mil, satu setengah mil, sampai dua mil yang dianjurkan ditempuh dalam skala waktu tertentu.
Total Jenderal 16 (enam belas) minggu terselesaikan. Ternyata saya mampu menuntaskan Program Latihan - Kategori I untuk Lari.
Tidak mudah lelah, menjadi lebih disiplin, dan berpikiran positif adalah salah tiga diantara beberapa efek bagus yang didapatkan setelah berolahraga secara rutin.
Saya sudah membuktikan ternyata kondisi kesehatan saya baik-baik saja.
* * *
Tak terasa sudah 28 tahun terlampaui. Entah sampai kapan saya masih bisa berlari. Dan ini semua, lari yang sudah memberi warna, semua berawal dari sebuah buku yang mengubah paradigma.
Jadi, bacalah buku. Di tengah melimpah dan derasnya arus informasi, buku tetap menjadi pelopor perubahan paradigma seseorang, sehingga hidup jadi berubah.
Seandainya saya tidak membaca buku "Aerobik" karya Kenneth Cooper ini, mungkin hidup saya akan tetap sama seperti saat dokter memvonis saya mengidap rematik jantung. Mungkin saya akan mengasihani diri sendiri, tidak berani beraktivitas berat, takut berolahraga, dan menghindari kegiatan yang berindikasi menguras energi.
Satu buku begitu besar pengaruhnya. Apalagi kalau membaca banyak buku. Bukan saja mengubah hidup. Mungkin malah bisa juga mengubah jalan yang menuju keberhasilan, kesuksesan, sehingga dapat membahagiakan keluarga.
Akhir kata, cintailah buku. Dengan membaca buku, kita mendapat pencerahan.
Dari tidak tahu menjadi tahu.
Dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Dari pesimis menjadi optimis.
Dunia penuh dengan negativisme, namun dengan menambah wawasan melalui buku-buku, selalu ada jalan keluar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H