Tidak terasa sudah enam tahun lebih saya menjadi kompasianer, dimulai dari tanggal 8 Jul 2016.
Sebenarnya sebelum tahun 2016, saya sudah mengetahui tentang Kompasiana, namun waktu itu saya mengira Kompasiana hanya diperuntukkan untuk jurnalis kompas dan pakar-pakar yang sangat berkompeten di bidangnya masing-masing.
Seiring waktu berjalan, saya baru menyadari bahwa saya salah besar! Kontributor atau penulis konten di Kompasiana terbuka untuk siapa saja. Tidak memandang usia, jabatan, dan profesi.
Tetapi tidak saat itu juga saya menulis. Saya masih sebatas membaca tulisan-tulisan yang ada di Kompasiana. Tidak lebih, tidak kurang.
Karena penasaran, saya menuangkan gagasan di K untuk pertama kalinya pada tanggal 8 Oktober 2016, tiga bulan setelah menjadi kompasianer. Artikel pertama saya berjudul "Belajar dari Ironman" dan mendapat label Pilihan, meskipun tanpa penilaian dan komentar.
Seiring waktu berjalan, saya mulai menulis dan menulis. Meskipun tidak setiap hari mengunggah tulisan, saya berusaha untuk menuangkan gagasan-gagasan yang sekiranya bisa bermanfaat bagi khalayak ramai.
Dan setelah perenungan, gambaran Kompasiana mengerucut menjadi tiga hal, dalam hal ini, saya mengistilahkan dalam 3P. Tentu saja, ini subjektif adanya, menurut sudut pandang saya, karena setiap orang pasti mempunyai kesan tersendiri terhadap Kompasiana.
Saya mempunyai gambaran Kompasiana dalam 3P. Mari kita bedah satu per satu.
1. Perpustakaan tersendiri
Kesibukan mengajar di masa lampau membuat kesempatan untuk pergi ke perpustakaan daerah sedikit terhambat. Pagi-siang-malam harus mengajar. Full schedule.
Kalau pun sempat meminjam buku, terkadang malah tak terbaca, karena dua alasan.
Pertama, buku-buku pelajaran yang saya gunakan sebagai sumber mengajar sudah banyak. Kalau ditambah dengan buku-buku pinjaman di tas, bakal rontok bahu saya saking beratnya mengangkat tas kerja ke sekolah.
Kedua, saat malam, badan sudah lelah. Boro-boro untuk membaca, untuk hal-hal persiapan mengajar untuk esok hari saja nyaris tidak cukup waktunya.
Di tengah kegalauan hati dan haus akan informasi, Kompasiana hadir. Saya menemukannya secara kebetulan, lewat laman sang kakak, KOMPAS.COM.Â
Saya melihat salah satu pilihan di menu KOMPAS yaitu Kompasiana.
"Apa ini?" Saya bertanya-tanya dalam hati.
Saya pun meng-klik dan terbukalah beranda Kompasiana di smartphone saya.
Beberapa judul artikel terpampang rapi berjajar di depan mata saya. Saya membaca segelintir diantaranya yang menarik minat saya.
Ternyata artikel-artikel tersebut "membius" saya, membuat saya 'kecanduan' untuk membaca lagi dan lagi artikel-artikel yang lain.
Suatu perpustakaan tersendiri. Begitulah yang saya temui di mari. Segala topik bahasan bisa dikatakan komplet di Kompasiana.
Di awal-awal, saya suka membaca artikel-artikel humor. Berlanjut setelahnya, saya membaca tulisan seputar politik, film, musik, dan seterusnya, dan sebagainya. Tentu saja, artikel tentang pendidikan tak luput dari perhatian, tetap menjadi prioritas utama, sesuai dengan profesi sebagai guru.
Kompasiana bagaikan perpustakaan yang bisa saya bawa kemana-mana, karena terhubung dengan internet dan bisa saya akses di gawai, seperti laptop, tablet, dan smartphone. Tentu saja, smartphone menjadi gawai utama dalam berselancar di Kompasiana.
Kompasiana, perpustakaan tersendiri yang lain dari pada yang lain dan sudah menemani sampai saat ini dan harapannya sampai nanti, dalam batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
2. Pembuktian diri
Membuktikan diri mempunyai keterampilan, kemampuan, kebisaan, itulah yang menjadi landasan awal saya menulis di mari. Saya ingin membuktikan diri bahwa saya bisa menulis dan "suara" saya layak didengar.
Hal ini ada karena sebagai bungsu dari tujuh bersaudara, saya merasa dianggap "anak bawang" di dalam keluarga. Dalam setiap kesempatan, sewaktu saya menyampaikan pendapat secara lisan, opini saya langsung "dipotong" di tengah jalan. Saya selalu tidak bisa menyelesaikan pernyataan saya.
Alasannya, karena kakak-kakak saya tidak sabar menunggu saya selesai bicara, dan ingin segera mengemukakan opini. Namun yang menjadi persoalan, kebanyakan karena tidak setuju dengan pendapat saya dan langsung membantah opini saya.
Saya merasa tidak dihargai.
Meskipun saya sudah meraih predikat lulusan dengan IPK tertinggi di perguruan tinggi, saya tidak melihat ada penghargaan di mata anggota keluarga dan para kenalan.
Respek didapatkan sewaktu, dengan terpaksa, saya memberitahu kalau saya menulis di Kompasiana dan memenangkan suatu event kompetisi menulis di mari.
Tentu saja, sebelum memenangkan event lomba ini, saya sudah menulis beberapa artikel, puisi, dan cerpen di K; dan juga memenangkan beberapa kompetisi menulis dengan hadiah uang digital yang lumayan. Namun saya tidak pernah menceritakan kegemaran menulis di Kompasiana beserta dengan prestasi-prestasi tersebut kepada siapa pun.
Sampai pada suatu ketika, di pertengahan tahun 2020, smartphone saya rusak. Padahal laptop sudah rusak terlebih dahulu dan tidak bisa diperbaiki lagi. Otomatis, saya tergantung dalam pengetikan dan pengunggahan artikel melalui smartphone.
Nah, kalau smartphone rusak, lalu dengan apa saya bisa mengunggah artikel ke Kompasiana?
Sempat kegalauan berkecamuk dalam diri. Saya juga menggunakan smartphone untuk berbisnis online dan mengunggah video ke YouTube. Smartphone rusak, kegiatan mengais rezeki lewat digital menjadi ambyar.
Saya kembali menggunakan pulpen dan kertas untuk menuangkan gagasan-gagasan saya. Menabung tulisan untuk Kompasiana dan konten jualan di media sosial. Kalau sudah punya smartphone, baru saya unggah di K dan medsos.
Kakak perempuan saya, sebut saja Rani, menawarkan diri untuk meminjamkan sejumlah uang kepada saya supaya saya dapat membeli sebuah smartphone sesuai spesifikasi dan kebutuhan.
"Nanti kamu bisa cicil ke aku. Terserah, sesuai kemampuanmu, "kata Kak Rani.
Awalnya saya menolak, namun pada akhirnya, saya terpaksa menerima bantuan Kak Rani, meskipun sebenarnya saya tidak suka berutang uang kepada siapapun juga, termasuk anggota keluarga sendiri.
Tentu saja, memikirkan berapa cicilan perbulan adalah sesuatu yang tidak enak bagi saya. Saya bertekad harus melunasi utang ini secepatnya.
Muncul sebuah pertanyaan besar di kepala saya: Bagaimana caranya melunasi utang?
Mengandalkan pendapatan dari les privat jelas tidak mungkin, apalagi di tahun 2020, covid-19 lagi ganas-ganasnya. Banyak murid les tidak melanjutkan belajar dengan saya, karena takut terkena covid-19.
Bisnis online juga masih dalam tahap pengembangan. Belum seperti yang diharapkan.
Di tengah pergumulan batin tersebut, ada event kompetisi blog di Kompasiana pada bulan November 2020. Blog Competition yang disponsori oleh Kemendikbud tersebut mengangkat tema yang mengusik hati saya. Temanya adalah "Ibu, Sekolah Pertamaku".
Kenangan di tahun 2017 kembali menyeruak di benak saya. Memori dimana itu tahun terakhir kami bersama dengan ibu di dunia ini.
Rasa kangen tertuang dalam satu tulisan tanpa berharap menang. Bagi saya, rasa rindu, ingin menyuarakan perasaan dari hati yang paling dalam terealisasi, meskipun hanya dalam bentuk tulisan.
Setitik harapan untuk menang tentu saja ada, tapi saya merasa tulisan saya masih belum seberapa bagus dibanding tulisan-tulisan kompasianer lainnya.
Saya tidak memusingkan tentang peluang menang-kalah. Menuangkan rasa rindu pada ibu lewat tulisan sudah membuat saya lega.
Tak disangka, saya meraih peringkat ketiga dengan tulisan saya tadi yang berjudul "Ibu, Mungkin Kau Tak Pernah Menyangka Kalau...". Nominal hadiah berupa uang sangat lebih dari cukup untuk melunasi utang pembelian smartphone, malah masih ada sisa yang signifikan.
Supaya tidak menimbulkan prasangka negatif, saya memberitahu kepada Kak Rani bahwa uang pelunas utang didapat dari memenangkan lomba menulis di Kompasiana.
Waktu kakak-kakak mengetahui tentang hal tersebut dan juga membaca tulisan-tulisan yang saya hasilkan, pandangan mereka terhadap saya berubah 180 derajat. Mereka menghargai pendapat saya, mendengarkan setiap kata yang saya utarakan sejak saat itu.
Kompasiana menjadi tempat pembuktian kemampuan diri saya di mata keluarga dan semua orang yang mengenal saya.
3. Peninggalan untuk penerus di kemudian hari
Melihat beberapa mahasiswa yang membaca beberapa tulisan saya mengenai pembelajaran bahasa Inggris dan memberi apresiasi, serta bertanya lebih lanjut tentang penguasaan bahasa Inggris sungguh menyadarkan saya bahwa kegiatan menulis saya yang selama ini dianggap sepele dan dipandang sebelah mata oleh beberapa kenalan ternyata bermanfaat bagi orang lain.
Dan siapa tahu, akan menjadi peninggalan yang memberi manfaat untuk penerus di kemudian hari.
* * *
Kompasiana sudah sangat memberi warna dalam kehidupan saya. Mungkin kelak Kompasiana tidak sebatas 3P di mata saya. Bisa jadi menjadi 5P, 7P, 9P, atau bahkan lebih.
Kiranya dengan bertambahnya usia menjadikan Kompasiana lebih "matang" dan lebih "dewasa" lagi dalam mengarungi dunia maya yang semakin mengganas di zaman ini.
Sampai kapan saya menulis di Kompasiana?
Selama hayat masih dikandung badan, selama hasrat menulis masih ada dalam diri, selama itu juga saya akan tetap menulis di mari, meskipun tidak setiap hari mengunggah artikel.
Kompasiana dalam 3P.
Kisah manis selama ngeblog di Kompasiana tidak akan berakhir di sini. Tetap akan berlanjut sampai nanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI