film yang bakal rilis di tahun 2021 ini. Ada film-film yang seharusnya tayang di tahun 2020 lalu terpaksa tertunda dan dirilis di tahun 2021 karena pandemi covid-19; dan ada juga yang memang dijadwalkan diputar di tahun 2021 ini.
Ada beberapaDari antara sekian banyak film yang akan memupus dahaga kerinduan para pecinta film, ada satu film yang sangat saya tunggu-tunggu dan membuat penasaran dalam diri.
"Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings" adalah film yang saya pikir sangat perlu bahkan harus ditonton, bukan oleh saya saja, tapi juga oleh para orangtua.
Kenapa harus?
Sebelumnya, kita bahas dulu sedikit sinopsis film superhero Marvel asal Asia ini yang mana karakter Shang-Chi diciptakan oleh Jim Starlin dan Steve Englehart.
Secuplik SinopsisÂ
Shang-Chi, lahir di Provinsi Honan, Tiongkok. Chi dibesarkan oleh ayahnya, Fu Manchu,. Fu Manchu menjalankan profesi sebagai seorang penjahat dan oleh karenanya dia ingin Chi juga menjadi seperti dia kelak saat dewasa.
Fu mendidik putranya dengan keras dan disiplin. Jurus-jurus kung fu, konsentrasi, meditasi, serta kemampuan menganalisis kelebihan dan kekurangan lawan diajarkan.
Fu ingin Chi menguasai seluk beluk kung fu dari A sampai Z, sedalam-dalamnya, sehingga kelak Chi menjadi Master of Kung Fu, ahli kung fu yang hebat dan tanpa tanding.
Apa tujuan Fu? Kenapa dia ingin anaknya menjadi jagoan kung fu tanpa tanding? Apakah dia ingin Chi menjadi penjaga keamanan atau pemain kung fu keliling?
Semua itu bukan tujuannya.
Tujuan yang sebenarnya adalah supaya Chi menjadi pembunuh bayaran. Dia ingin Chi menjelma menjadi "mesin pembunuh" masif yang sakti dan tak tertandingi.
Hal pertama yang Fu ajarkan pada anaknya adalah taat dan percaya sepenuhnya tanpa tanya dan bantah. Apa pun juga yang Fu ajarkan dan perintahkan, Chi selaku murid harus menurut.
Namun, sehebat apapun Fu "mengindoktrinasi" sang anak, nilai kekejaman tidak bisa menembus hati nurani Chi. Hati nuraninya memberontak ketika sang guru memerintahkan sang murid untuk membunuh seorang kakek tua yang lemah dan tak berdaya.
Pertentangan batin. Chi sudah berjanji untuk taat tanpa protes dan tanya. Namun kali ini, dia tidak setuju dengan titah sang guru. Dia menolak membunuh kakek tua itu.Â
Dia memberontak dan meninggalkan ayahnya, guru yang sudah mendidik dan mengajarnya menjadi master of kung fu, meskipun pada akhirnya tidak memenuhi keinginan dan harapan sang ayah sebagai the killing machine.
Sejak saat itu, Chi melawan ayahnya.
Chi bergabung dengan Dinas Intelijen Rahasia Inggris yaitu MI6. Chi sempat juga berprofesi sebagai detektif swasta. Keahliannya dalam kung fu sangat membantunya untuk menjalankan pekerjaan tersebut.
Dalam film ini, Chi berhadapan dengan organisasi misterius Ten Rings yang sempat muncul dalam film Iron Man (2008) yang menculik Tony Stark dan juga organisasi ini muncul kembali di Iron Man 3 (2013).
Kali ini, Mandarin yang asli akan muncul, berhadapan dengan Chi. Bagaimana kisah perseteruan antara Shang-Chi dan Mandarin? Kita tonton dan saksikan di tanggal rilis-nya.
Simu Liu akan berperan sebagai Shang-Chi. Pemeran-pemeran penting lainnya yang juga terlibat dalam film ini adalah Tony Leung, Awkwafina, Meng'er Zhang, Michelle Yeoh, Ronny Chieng, Fala Chen, dan Florian Munteanu.
Sutradara yang bertugas mengawal proses pembuatan film ini adalah Destin Daniel Cretton.
Kenapa para orangtua harus menonton film ini?
Setelah membaca secuplik sinopsis film "Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings", kita kembali ke laptop, membahas tentang tiga alasan kenapa para orangtua harus menonton film ini.
Tiga alasan kenapa para orangtua harus menonton film ini adalah:
1. Film ini mengajarkan bahwa tidak semua anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang buruk akan berperilaku buruk di masa depan
Film ini seakan "menampar" pipi saya tentang "nakal saat kecil bukan berarti nakal pula ketika dewasa".
Saya terkadang lupa kalau anak-anak, peserta didik SD yang nakal dan bandel, plus malas serta suka bolos; belum tentu mereka akan berperilaku serupa di masa depan saat mereka dewasa.
Dalam kebanyakan kasus, saya menyangka mereka tidak akan menjadi orang-orang yang berguna di masa depan.
Ternyata saya keliru.Â
Ada beberapa mantan murid SD yang dulunya bandel sekali, sering bolos sekolah, mendapat nilai jeblok di rapor, tapi sewaktu saya bertemu mereka ketika sudah dewasa, beberapa dari mereka malah berhasil menjadi insan-insan yang berbudi dan baik adanya.
Seperti misalnya, Hendra (bukan nama sebenarnya), mantan murid SD yang saya pernah didik sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Susah untuk melupakan anak yang satu ini. Dia dulu nakal, suka berkelahi, ribut di dalam kelas saat guru mengajar, suka bolos sekolah, memperoleh nilai-nilai yang buruk di hampir semua mata pelajaran.
Pokoknya super komplet.
Saya pikir, "Ini anak sepertinya tidak bisa jadi apa-apa nanti."
Itu pemikiran saya mengenai Hendra sepuluh tahun yang lalu. Tapi ternyata saya salah. Saya bertemu dengan Hendra tanpa sengaja di perpustakaan provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2018 lalu.
"Masih ingat sama saya, Pak?"
Tentu saja, sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Meskipun dia bandel sekali, yang saya ingat adalah kenakalannya. Nama? Lupa. Ribuan mantan murid yang pernah saya didik.Tidak mungkin mengingat semua nama mereka.
Siapa sangka, dia menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di sebuah perguruan tinggi di Samarinda. Dia pun juga menulis beberapa tulisan di akun facebook-nya tentang berbagai hal seputar kehidupan antar manusia.
Sewaktu SD, jangankan menulis, membaca saja dia tidak lancar! Sekarang dia menjadi pribadi yang menyenangkan dan cerdas.
Sekiranya Anda merasa terlambat dalam mendidik anak, selama anak tersebut masih bergantung pada Anda, masih ada kesempatan bagi Anda untuk mendidiknya.
Kenalan saya, sebut saja Kristina, galau karena dia harus pensiun di awal bulan Februari ini, sedangkan putra semata wayang, Bobby (nama samaran), siswa kelas enam SD yang sebentar lagi beralih warna seragam ke putih-biru, masih butuh biaya besar untuk sekolah.
Tapi yang paling disesalkannya adalah dia merasa tidak berhasil sebagai ibu. Anaknya malas dan nakal. Suaminya juga sibuk bekerja dan tidak memperhatikan pendidikan anak.
"Tidak ada kata terlambat. Masih ada kesempatan bagimu untuk mendidiknya," dorong saya, memberi semangat padanya.
Jadi, selalu ada kesempatan selama hayat masih dikandung badan.
2. Orangtua harus mendidik anak secara langsung
Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Kalimat ini sudah tak asing lagi, khususnya di masa pandemi ini. Kalau sudah sakit, akan butuh biaya besar dan syukur-syukur kalau masih selamat. Kalau berpulang? Ya sudah selesai perjalanan hidup di dunia ini.
Mencegah sesuatu yang buruk terjadi adalah lebih baik. Begitu juga dengan putra-putri tercinta. Tugas orangtua yang utama adalah mendidik anak secara langsung tentang nilai moral, iman, tanggung jawab, dan tujuan dalam hidup yang bukan hanya sekadar hidup saja.
Tugas mendidik bukan monopoli sekolah. Sekolah hanya mengambil "porsi" sedikit dalam kehidupan anak untuk mempersiapkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah hanya menjalankan tugas "mengajar", karena itu tugas pokok sekolah.
Jangan sampai timbul penyesalan "salah didik" seperti pengalaman Kristina, kenalan saya yang sudah dibahas di poin pertama sebelumnya.
Orangtua harus mendidik anak.
Mendidik anak bagaimana beribadah secara rutin dan disiplin.
Mendidik anak supaya berperilaku sopan dan hormat pada orangtua dan orang yang lebih tua.
Mendidik anak supaya rajin belajar; dan tahu hak dan kewajibannya sebagai anak dalam keluarga dan sebagai murid di suatu sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya.
Jangan lepas tangan dan memberikan tanggung jawab mendidik anak sepenuhnya pada sekolah.
3. Orangtua harus terjun langsung mendidik anak untuk menguasai berbagai keterampilan demi bekal di masa mendatang saat anak dewasaÂ
Saya lupa pernah membaca di buku atau artikel yang mana yang menyebutkan kalau guru kung fu sukar mengajarkan ilmunya kepada anaknya sendiri dikarenakan adanya hubungan darah, hubungan keluarga, yaitu hubungan ayah dan anak.
Sedikit banyak, saya setuju dengan pendapat itu, karena saya melihat sendiri kebanyakan anak guru tidak mau menjadi guru seperti orangtua mereka.
"Mereka tidak mau jadi guru. Udah gaji tak seberapa, liburan juga nggak bisa. Begitu alasannya."
"Mereka tidak tertarik. Bosan waktu bantu saya memeriksa ulangan dan menulis rapor."
"Mereka lihat, jadi guru itu tidak ada waktu buat keluarga. Pagi ngajar di sekolah. Siang sampai malam 'ngojek', ngajar les. Anak orang lain diajar, anak sendiri ditelantarkan."
Itu salah tiga dari sekian banyak alasan kenapa kebanyakan anak guru tidak mau menjadi guru seperti profesi orangtua mereka.
Fu berhasil mendidik, mengajar Chi menjadi master of kung fu. Hasilnya, keahlian kung fu tersebut bisa Chi gunakan dalam berkarier.
Dalam hal ini, bukan berarti orangtua yang berprofesi A, berarti anak juga harus berprofesi A. Kalau memang anak tertarik berprofesi A, itu bagus, tapi kalau tidak, ya jangan dipaksa. Jika anak berminat pada profesi B, orangtua harus tetap mendukung.
Maksudnya disini adalah selain bicara soal keterampilan yang bisa dijadikan profesi, orangtua harus terjun langsung mendidik anak untuk menguasai berbagai keterampilan demi bekal di masa mendatang saat anak dewasa.
Misalnya, kenalan saya, Tuti (nama samaran) dulu sewaktu belia, orangtuanya mengajarnya memasak, mencuci, membuat kue, menjahit, menyulam, bercocok tanam, dan lain sebagainya.
"Semua itu berguna sekali saat ini. Aku bisa jualan kue untuk mendapatkan penghasilan," kata Tuti.
Warisan yang tidak pernah lapuk, tidak bakal usang, dan tidak mungkin dicuri orang adalah keterampilan.
Sari Pati
Sari pati dari film ini adalah orangtua adalah kunci utama dari keberhasilan anak.
Salah mendidik, penyesalan akan menerpa di kemudian hari.
Oleh karena itu, orangtua harus mendidik anak selagi masih bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H