Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bodohkah Orangtua Kalau Menolak Pembelajaran Tatap Muka?

20 Desember 2020   16:38 Diperbarui: 20 Desember 2020   16:41 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilema pembelajaran tatap muka di bulan Januari 2021 menjadi permasalahan di Indonesia, mendekati waktu yang sebentar lagi tiba.

Berbagai percakapan menguar di beberapa media, baik cetak maupun elektronik tentang kesiapan sekolah dan lembaga pendidikan dalam menjalankan pembelajaran tatap muka.

Topik perihal ini menjadi salah satu bahasan saat saya menelepon salah seorang kenalan lama, Pak Dani (bukan nama sebenarnya), yang sudah memasuki masa purnatugas sekitar bulan Juli 2020 ini.

Saya menelepon beliau beberapa hari yang lalu. Sekadar menyapa, menanyakan kabar sembari membahas tentang kegiatan-kegiatan yang beliau lakukan di masa pensiun.

“Memancing, mengunjungi keluarga, nonton tv, yah begitulah, Pak,” jawab Pak Dani.

“Oh, baguslah kalau begitu. Jadi tidak di rumah terus. Asal hati-hati, Pak. Tetap jalankan protokol kesehatan kalau di luar rumah,” saya mengingatkan.

Percakapan terus berlanjut, sampai “kalimat sakti” dari beliau keluar.

Bodoh orangtua kalau menolak Pembelajaran Tatap Muka di bulan Januari 2021" kata Pak Dani dengan lantang.

Sebenarnya kalimat ini bukan baru kali ini beliau ucapkan. Sudah sering kali saat wacana pembelajaran tatap muka mengemuka, beliau selalu mengatakan “orangtua bodoh kalau menolak pembelajaran tatap muka”.

Alasan beliau juga tidak berubah.

Pertama, Orangtua kelimpungan mendidik plus mengajari anak di rumah.

“Orangtua mengalami kesulitan mendidik dan sekaligus mengajari anak di rumah. Apalagi kalau ayah dan ibu sama-sama bekerja dari pagi sampai sore. Siapa yang akan mengajari anak di rumah saat pagi sampai sore? Tidak ada, bukan?

Kedua, Pengeluaran ‘ekstra gede’ untuk kuota internet.

“Bayangkan. Untuk makan sehari-hari saja, orangtua sudah menemui kesulitan untuk memenuhi, apalagi kalau ditambah biaya beli kuota internet yang, kalau dipikir-pikir, lebih banyak dipakai murid untuk main game online dibanding untuk mengikuti pembelajaran daring.

Ketiga, Guru pasti tidak mau mengajar daring kepada beberapa peserta didik yang tidak seberapa jumlahnya itu dibanding yang ikut tatap muka.

“Mana mau guru mengajar daring kepada beberapa murid yang cuma sekitar dua sampai tiga orang saja, sedangkan 27 - 28 orang, kalau jumlahnya 30 murid dalam satu kelas, mau belajar tatap muka di sekolah.”

Tentu saja, sebagai teman yang baik, saya mendengarkan dan sesekali memberikan pengertian tentang hal-hal, yang menurut saya, keliru beliau “terjemahkan”.

Tak terasa, satu jam lebih berlalu. Saya terpaksa menyudahi karena saya harus menelepon kakak perempuan saya, Yulia (nama samaran), yang berdomisili di Jakarta.

Bagaimana seharusnya guru memandang orangtua yang menolak pembelajaran tatap muka di bulan Januari 2021?

Secara pribadi, saya tidak terkejut dengan sikap “pro” Pak Dani tentang pembelajaran tatap muka.

Namun, saya sangat menyayangkan kalau seandainya pola pikir guru-guru yang lain juga senada, tanpa melihat dari berbagai sisi yang ada.

Saya tidak menyalahkan Pak Dani dan setiap guru yang bersuara sama. Sah-sah saja berbeda pendapat, tapi alangkah baiknya jeli dalam berpendapat.

Bagaimana seharusnya guru memandang orangtua yang menolak pembelajaran tatap muka di bulan Januari 2021?

Menurut saya, ada 3 (tiga) hal yang guru seharusnya lakukan.

1. Guru perlu memiliki empati, menempatkan diri dalam posisi beberapa orangtua murid tersebut

Sekali lagi, saya tidak menyalahkan Pak Dani. Sama sekali tidak. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memang menyulitkan dalam penerapan.

Guru memang kebanyakan mendapat "serangan", mulai dari masalah memberikan PR terlalu banyak, mengajar lewat aplikasi “tatap muka” terlalu lama, minim dan jeleknya komunikasi dengan orangtua, dan lain sebagainya.

Tak salah melihat dari sisi guru, tapi juga guru perlu melihat dari sisi orangtua dan murid.

Guru perlu memiliki empati, menempatkan diri dalam posisi beberapa orangtua murid yang menolak pembelajaran tatap muka tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan berikut bisa dipertanyakan dalam hati.

Apakah anak mempunyai penyakit bawaan yang rawan terkena covid-19?

Apakah orangtua mempunyai kesehatan yang juga rawan akan virus Corona yang kemungkinan bisa terbawa tanpa sengaja oleh anak sepulang dari sekolah?

Apakah ada ketakutan dari orangtua kalau anak akan terkena covid-19?

Apakah ada kakek dan nenek di rumah sehingga menyebabkan orangtua murid keberatan jika anak memperoleh pembelajaran tatap muka di sekolah?

Dengan mengajukan berbagai pertanyaan dari sudut pandang orangtua, guru jadi bisa menyelami keberatan mereka, karena sebenarnya, guru pun juga adalah "orangtua". Pastinya tidak ada orangtua yang ingin anak dan anggota keluarganya mengalami musibah atau kematian.

Jadi, bukan dari sisi guru saja. Sisi orangtua perlu mendapat perhatian, apalagi kalau guru juga mempunyai anak, istri atau suami, dan orangtua yang masih tinggal serumah dengannya.

2. Guru sebaiknya tidak menganggap para orangtua tersebut kurang memiliki informasi yang memadai tentang kesiapan sekolah dalam menjalankan pembelajaran tatap muka

“Bapak tidak tahu kondisi toilet di SD kita sekarang. Sudah bersih dan wangi,” kata Pak Dani.

“Ya, bersih dan wangi karena tidak ada pembelajaran tatap muka sejak Maret sampai sekarang. Kalau nanti Januari 2021 ada pembelajaran tatap muka, Anda bisa tetap yakin kalau toilet akan tetap dalam kondisi bersih dan wangi?” tanya saya balik dengan sabar.

Saya memosisikan diri pada sisi orangtua murid dimana selama bertahun-tahun saya melihat kalau toilet selalu menjadi tempat yang paling sukar dijaga kebersihannya, terutama di tingkat Sekolah Dasar.

Apalagi menimbang jumlah petugas kebersihan di sekolah yang tidak memadai. Dengan adanya peserta didik yang berjumlah ratusan, tentu saja sekolah tidak bisa menjamin tetap terjaganya kebersihan dan kewangian toilet.

3. Guru seharusnya tidak “tebang pilih” dalam mengajar dan mendidik

“Mana mau guru mengajar daring kepada beberapa murid yang cuma dua sampai tiga orang saja…”

Saya tidak menyangka pola pikir Pak Dani sedemikian. Kenapa terlontar kalimat seperti itu? 

Pak Dani memang tidak “terlalu” memahami tentang penggunaan teknologi informasi. Gagap teknologi, gaptek, mungkin itu istilah sekarang untuk menggambarkan kondisi tersebut.

“Saya mau pensiun sebentar lagi. Untuk apa saya repot-repot dan capek-capek belajar komputer dan mendalami internet? Biarlah yang muda-muda saja yang pintar soal itu. Saya kan bisa minta tolong sama mereka…,” kata beliau beberapa tahun yang lalu sewaktu masih bertugas sebagai guru ASN di salah satu SDN di Samarinda.

Beliau sempat “mencicipi” mengajar daring dari Maret sampai Juni 2020. Selama saya menelepon, beliau selalu mengeluh tentang tidak enaknya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

“Tidak enak ngajar PJJ. Lebih enak tatap muka…”

Tidak perlu saya jabarkan perkataan beliau selebihnya, karena menurut saya, beliau tidak melihat kondisi pandemi yang membuat kita tidak mempunyai pilihan lain selain belajar jarak jauh.

Yang jelas, sebagai guru, seharusnya tidak boleh “tebang pilih” dalam mengajar dan mendidik peserta didik. 

Orangtua memilih tidak setuju pembelajaran tatap muka di sekolah adalah hak mereka. Banyak pertimbangan yang membuat mereka memilih jalan itu.

Jangan sampai guru (apalagi guru ASN) tidak mau mengajar dan mendidik peserta didik yang memilih pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena menimbang jumlah peserta didik yang mengikuti PJJ sedikit dan menyusahkan (guru).

Tanggung jawab moral sudah seharusnya berada di hati, bahwa mendidik peserta didik dalam segala situasi harus tetap dijunjung tinggi.

Jangan sampai kita sebagai guru selalu memotivasi peserta didik untuk giat belajar, tapi kitanya sendiri malah memberi contoh yang buruk dengan malas belajar, malas membaca, malas menulis, dan malas mempelajari hal-hal baru.

Bodohkah orangtua?

Anda pasti sudah tahu apa jawaban saya setelah membaca sampai sejauh ini.

Tentu saja, orangtua tidak bodoh. Tidak ada bodoh dan pintar dalam hal menentukan pilihan menolak atau menerima pembelajaran tatap muka di bulan Januari 2021 nanti.

Tidak ada salah dan benar.

Pembelajaran Tatap Muka atau Pembelajaran Jarak Jauh?

Dua pilihan itu tetap tidak mudah diputuskan, karena seperti dua sisi, ada plus dan minus. Plus dan minus apabila tetap dilangsungkan PJJ. Plus dan minus apabila berlaku pembelajaran tatap muka.

Yang pasti, orangtua, serendah apapun jenjang pendidikan mereka, mereka adalah orangtua yang menyayangi putra-putri mereka dengan sepenuh hati. Segala tindakan yang mereka pilih pastilah sudah mereka pertimbangkan dengan matang demi kebaikan ananda.

Jadi, menerima adalah suatu pilihan, dan menolak adalah juga suatu pilihan. Menolak bukan suatu dosa, karena itu adalah hak setiap orangtua.

Berpikirlah secara dewasa sebelum mengucapkan kata "bodoh" pada seseorang, karena di balik perbedaan pendapat, pasti ada alasan kuat mengapa mereka menempuh jalan itu.

"Orangtua mengambil keputusan terbaik untuk putra-putri tercinta, meskipun harus melawan arus"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun