Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Bagaimana Menghadapi Hidup Tanpa Google dan YouTube?

18 Desember 2020   18:15 Diperbarui: 19 Desember 2020   08:49 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Google dan YouTube adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam hidup hampir mayoritas penduduk di dunia, apalagi di masa pandemi Covid-19 yang belum juga mereda.

Saya juga termasuk salah satu warga dunia yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus bergantung pada Google dan YouTube.

Menulis di Google Docs dan menyimpan berbagai dokumen dalam bentuk tulisan di Google Drive sudah menjadi kebutuhan.

YouTube juga demikian. Sebagai tempat menyimpan berbagai video gitaran yang bisa diakses kapan saja, di mana saja, dan tanpa batas penyimpanan (mudah-mudahan tetap unlimited storage) menjadi kelebihan, apalagi karena laptop sudah "berpulang".



Tiga video gitaran di atas adalah beberapa di antaranya yang saya unggah di YouTube. Sejauh ini saya cukup konsisten menyumbangkan karya ke dunia maya melalui YouTube. Seminggu satu video, meskipun kesibukan mengerjakan hal-hal lain sedikit mengganggu.

Sayangnya, "kemesraan" dengan Google dan YouTube agak sedikit terusik.

Pada hari Senin lalu, 14 Desember 2020, sekitar pukul 20.00 WITA saat saya sedang "mesra-mesranya" dengan Google Docs dikarenakan sedang mengejar setoran tayang satu tulisan dalam satu hari, eh malah Google ngambek, down tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Selidik punya selidik, saya mencari tahu lewat situs-situs berita dan pada akhirnya saya berlabuh ke Twitter, menerawang trending topics yang bisa menjadi acuan masalah terkini dan terpanas saat itu.

Dan memang benar adanya. YouTube dan Google sedang ada "masalah". 

Saya pun terpaksa mencari kegiatan lain untuk mengisi kekosongan sembari menunggu comeback-nya Google dan YouTube. Menelepon saudara dan sahabat menjadi pilihan menimbang saya jarang berkomunikasi dengan mereka di masa pandemi ini.

Untung saja Google dan YouTube kembali normal, sehingga saya bisa menayangkan tulisan di Kompasiana tanpa hambatan. Puisi di Docs bisa dibuka kembali, sehingga saya tidak perlu menulis ulang, mengingat-ingat apa yang saya tulis sebelumnya. 

Bagaimana menghadapi hidup tanpa Google dan YouTube?

Sebenarnya situasi hidup tanpa Google dan YouTube sudah biasa saya hadapi. 

Sebagai generasi yang besar di tahun 1980 - 1990 - dan awal 2000-an, mengisi waktu dengan buku dalam keluarga, membaca dan menulis menjadi kesukaan. Jadi No Google and YouTube, No Problem. Asal ada buku, jadilah.

Di saat sekarang juga tidak masalah bagi saya. Beberapa bulan yang lalu, smartphone saya rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi, karena sudah tiga tahun menemani dan sudah tidak ada suku cadang untuk merek smartphone saya tersebut.

Akibatnya, untuk satu-dua bulan saya terpaksa mengandalkan hape "senter" dengan ukuran sekitar 3 x 10 cm yang hanya bisa SMS dan telepon untuk dapat berkomunikasi dengan keluarga dan handai tolan.

Hidup tanpa internet harus saya jalani. Terpaksa saya menulis (kembali) di atas kertas di buku tulis yang memang selalu sedia jika "masa darurat" kembali menyapa.

Setelah tulisan sudah siap (dibaca: selesai ditulis, tapi belum diedit), saya (lagi-lagi) terpaksa menumpang mengetik tulisan plus mengeditnya di laptop teman. Terpaksa, karena laptop saya sudah lebih dulu "tiada" daripada smartphone.

Jadi, kalau dibilang saya sudah biasa meskipun Google dan YouTube tidak ada. Bahkan kalau mau dikatakan, sebenarnya saya merasa lebih bahagia dan bebas dari gangguan saat tidak bercengkerama dengan internet dan kawan-kawannya.

Sayangnya, ketika pandemi masih bercokol di bumi, mau tidak mau saya harus "berkawan" dengan Google dan YouTube, karena menimbang saya juga mencari penghasilan sampingan dari internet lewat menulis dan bisnis online.

Namun, dari kejadian Google down pada hari Senin tanggal 14 Desember 2020 lalu saya mengevaluasi diri dengan apa yang sudah saya lakukan sejauh ini dan apa langkah ke depan yang harus saya tempuh seandainya Google dan beberapa platform yang biasa saya gunakan sudah tidak ada lagi di kemudian hari.

Tidak ada yang abadi. Manusia saja bisa mati, apalagi platform-platform yang ada di dunia maya. Sudah banyak contoh yang bertumbangan karena kalah dalam bersaing dan bertahan. 

Oleh karena itu, ada 3 (tiga) hal yang perlu saya lakukan dan mungkin juga bisa Anda terapkan, kalau Anda pikir penting adanya melakukan, demi menghadapi seandainya tiba saatnya hidup tidak diwarnai oleh Google dan YouTube di kemudian hari (mudah-mudahan tidak dalam waktu dekat).

Tiga hal yang perlu saya (dan mungkin Anda) lakukan adalah:

1. Menulis juga data-data pribadi yang penting di buku fisik

Menyimpan data-data atau informasi yang bersifat pribadi di dunia maya mungkin dilakukan oleh Anda seperti juga saya.

Tak perlu disebutkan apa saja info-info very, very important tadi. Yang jelas, kemudahan akses di mana saja melalui Google dengan komputasi awan (cloud computing) lewat Google Drive dan kawan-kawan menyebabkan keterikatan yang langgeng dan menyenangkan.

Hanya saja, kita juga harus mempersiapkan diri seandainya kita tidak lagi bisa mengakses Google and friends dan berakibat segala data terlambat di-backup dan tak bisa diperoleh lagi. Kehilangan data penting bikin kepala pusing tujuh keliling.

Oleh karena itu, menuliskan (juga) data-data pribadi yang penting di buku fisik perlu dilakukan.

Mungkin terkesan djadoel, tapi sudah banyak buku jurnal dan catatan yang penuh oret-oretan tak beraturan menolong saya di saat menghadapi kehilangan data dan informasi.

Saya kira itu juga akan membantu Anda di saat internet lagi down, karena buku, tulisan di atas kertas tidak akan pernah down, kecuali Anda menghilangkannya.

2. Mencari platform sejenis yang bisa menjadi alternatif penyimpanan dan pengolah data

Menggantungkan diri pada satu keranjang pendapatan tentu saja tidak bijak. Semakin banyak keran penghasilan akan meningkatkan pemasukan, sehingga apabila satu saluran terhenti, masih ada berbagai sarana lain yang memberikan asupan materi.

Hal yang berlaku dalam bidang finansial juga bisa diterapkan dalam komputasi awan. 

Tidak masalah bergantung pada Google, namun juga bukan soal kalau ada beberapa platform lain yang sejenis menjadi "cadangan" seandainya Google "bermasalah".

Sebagai contoh, untuk aplikasi pengolah kata, saya terkadang juga menggunakan Evernote dan Simplenote. Selain ringan dan berkapasitas kecil sehingga tidak menguras memori smartphone, kedua aplikasi ini juga cepat dalam hal akses.

Ada banyak platform serupa yang bisa membantu dan memberi kemudahan dalam hidup yang sangat "bergegas" saat ini. 

Sudah saatnya mencari berbagai platform yang serupa dengan Google dan YouTube, sehingga hidup tak tergantung sepenuhnya pada keduanya terutama saat ada "masalah" seperti down, kita masih bisa bekerja seperti biasa menggunakan platform-platform lain.

3. Terkadang penting untuk menyediakan "waktu bebas internet"

Kadang-kadang saya merindukan waktu kecil, waktu dimana tidak ada internet dan semua "keriuhan" di dunia maya dan hanya ada buku, serta keindahan taman bunga di rumah.

Anak-anak dan generasi muda saat ini kebanyakan terpapar dengan sangat berlebihan oleh internet melalui media gawai, seperti laptop, tablet, dan smartphone.

Keindahan fantasi lewat gelombang kata-kata beruntun di buku fisik, bagi saya pribadi lebih indah dari kemudahan membaca e-book di gawai, meskipun memang memudahkan saya membaca di mana saja dan kapan saja, tapi tetap tak bisa menggantikan kenyamanan membaca buku fisik.

Lagipula, membaca buku fisik menjaga konsentrasi, fokus perhatian ke rangkaian kalimat di buku. Berbeda kalau membaca e-book di gawai. Bisa saja tergoda untuk membaca pesan WhatsApp yang baru masuk, kepo-in linimasa media sosial mantan (uhuk), atau menonton video YouTube yang lagi viral.

Kalau anak-anak yang memegang gawai kemungkinan besar bisa dipastikan, bukannya membaca e-book, tapi malah main game online.

Saya pun masih sulit menyediakan "waktu bebas internet", karena bisnis online adalah salah satu pemasukan keuangan saya. Namun, saya bertekad untuk menyediakan "waktu bebas internet" satu jam sebelum tidur di malam hari, supaya tidak ada "keberisikan" sebelum mata terpejam.

Membaca buku fisik menjadi pilihan, karena bebas radiasi dan sekalian mengenang saat membaca buku bersama keluarga.

Terkadang saya heran dengan beberapa kenalan yang berkumpul dengan keluarga besar, yaitu bersilaturahmi dengan ayah, ibu, kakak, adik, dan semua personelnya. Anehnya adalah anak-anak mereka berkumpul di satu kamar, tapi bukan mengobrol, melainkan bermain game online. 

"Kalau cuma main game online di smartphone, untuk apa kumpul bersama di hari Minggu? Lebih baik di rumah masing-masing," kata Tina (bukan nama sebenarnya), salah seorang kenalan yang heran dengan kebiasaan keluarga besar sang suami yang membawa serta anak-anak berkumpul bersama di hari Minggu, tapi anak-anak tersebut malah sibuk sendiri dengan smartphone masing-masing dan tidak ada interaksi nyata satu sama lain!

Berada di satu ruangan tapi tidak ada komunikasi verbal!

Alangkah tragisnya dunia anak saat ini! Miskin komunikasi, interaksi, dan olahraga. Malas gerak, mager, itu selalu menjadi alasan.

Hidup bukan melulu soal internet

Bagaimana cara menghadapi hidup tanpa Google dan YouTube sudah kita ketahui di atas. Saya berusaha untuk melakukan dengan disiplin. Kalau sekiranya bermanfaat, Anda juga bisa melakukannya.

Tapi pada dasarnya, seperti dipoin tiga sebelumnya, apa pun yang terjadi dengan dunia maya, itu tetaplah dunia maya. Bukan dunia nyata.

Tidak akan habis-habisnya kalau kita mengurusi seisi internet beserta dalamannya.

Dunia nyata, keluarga kita, sahabat, handai tolan, teman, semua itu adalah dunia nyata senyata-nyatanya. 

Sudah seharusnya kita lebih dekat pada keluarga dan sesama daripada malah menghabiskan sebagian besar waktu dari 24 jam sehari dengan main game online dan bercakap dengan teman-teman daring yang jangankan alamatnya, wajah dan nama aslinya pun kita tidak tahu dan belum pernah bertemu dengan mereka.

Hidup bukan melulu soal internet. Hidup ini soal dekat dengan Tuhan, keluarga, dan sesama, serta bagaimana kita memberikan jejak dan manfaat bagi semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun