Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

Disabilitas "Two-Face" dan Kisah 20 Tahun Bersamanya

7 Desember 2020   20:49 Diperbarui: 3 Desember 2021   09:15 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang disabilitas, mungkin banyak orang tak mengira kalau saya "tidak baik-baik saja". 

Secara fisik, saya lengkap, mempunyai organ tubuh yang sempurna dan tanpa kendala. Mata bisa melihat, telinga dapat mendengar, kaki bisa melangkah berjalan bahkan berlari, dan lain sebagainya. Namun itu dari penampilan fisik di luar diri. 

Di dalam diri, ada "sesuatu" yang mungkin tak pernah terbayang di benak kebanyakan orang. Suatu "kondisi" yang biasanya diidap oleh kebanyakan orang yang berusia lanjut. Saya mengalami "lumpuh" saraf sensorik di bagian wajah sebelah kiri.

Kalau stroke biasanya dialami oleh kebanyakan warga lanjut usia (lansia) dimana terjadi kelumpuhan saraf motorik dan sensorik di satu sisi tubuh dari kepala sampai kaki, entah sisi tubuh sebelah kiri atau kanan saja, sehingga mengalami kendala dalam beraktivitas, maka saya hanya mendapat kelumpuhan saraf sensorik saja. Saraf motorik masih baik-baik saja. Masih dapat menggerakkan otot-otot wajah sebelah kiri.

Awalnya saya tidak tahu kalau saya mengalami kelumpuhan saraf sensorik di bagian wajah sebelah kiri imbas dari kecelakaan lalu lintas yang saya alami 20 tahun yang lalu. Kecelakaan sewaktu saya mengendarai sepeda motor. 

Saya tidak mengingat bagaimana terjadinya kecelakaan tersebut. Dokter mengatakan, kemungkinan saya mengalami gegar otak ringan, sehingga ada fragmen-fragmen ingatan yang "terlepas" dari pikiran.

Dan mengenai kelumpuhan saraf sensorik yang saya idap ditandai dengan adanya rasa tebal di kulit wajah sebelah kiri yang terkena benturan. Awalnya, saya mengira bengkak di wajah sebelah kiri beserta rasa tebal yang saya rasakan akan hilang dengan sendirinya setelah waktu berlalu.

Bengkak di wajah sembuh, tapi rasa tebal masih tetap saya rasakan.

Waktu saya menanyakan perihal rasa "tebal" tadi pada dokter saat datang kembali memeriksa kondisi pasca kecelakaan di rumah sakit, sang dokter menyarankan saya untuk pergi ke laboratorium demi mendapat hasil foto rontgen tengkorak kepala saya.

"Mungkin ada yang retak," begitu katanya.

Setelah foto rontgen keluar, saya kembali ke rumah sakit dan dokter memeriksa foto tersebut.

"Tidak ada yang retak. Semua baik," katanya singkat.

Sayangnya, sang dokter tidak mengatakan apa penyebab rasa tebal di wajah saya. Sampai pada suatu saat, seorang teman, sebut saja Alan, mengajak saya untuk menjalani terapi di salah satu klinik di Samarinda.

"Fisioterapi. Banyak orang yang terkena stroke agak mendingan setelah menjalani terapi lewat fisioterapi," kata Alan, memberi saya dorongan bahwa cara ini mungkin bisa membantu, "Apa yang kau alami seperti orang yang terkena stroke."

Saya pikir, "Kenapa tidak?" Siapa tahu lewat fisioterapi, saya bisa sembuh dari rasa "tebal" di wajah kiri ini.

Pertama sekali, kalau tidak salah ingat dari segi urutan, saya mendapat terapi "listrik" dulu, baru kemudian wajah saya disinar dengan cahaya "panas".

Terapi "listrik" di sini bukan berarti saya disetrum dengan tegangan listrik yang tinggi, tapi dengan tegangan yang masih mampu dihadapi oleh bagian wajah kiri yang "tebal" tadi.

"Anda bisa rasakan perbedaannya," kata Dedi (bukan nama sebenarnya), sang fisioterapis sewaktu meletakkan batang logam seperti pulpen panjang berujung tumpul (kalau tidak salah ingat) di bagian wajah kiri, lalu bagian wajah sebelah kanan.

Di bagian wajah sebelah kiri, listrik bagaikan sekumpulan semut hitam kecil yang menggaruk kulit. Tapi sewaktu pulpen berpindah tempat ke sisi wajah sebelah kanan yang normal, listrik terasa menggelora seperti gerombolan semut merah yang menggila!

"Terapi listrik ini untuk memancing indera saraf sensorik di wajah sebelah kiri bapak supaya bisa membaik," kata Dedi.

Saya lupa pastinya berapa lama saya menjalani terapi listrik nan istimewa ini. Setelah itu, saya menjalani terapi sinar (mungkin inframerah. Sudah lupa, karena 20 tahun yang lalu).

Mungkin sekitar satu jam terapi itu berjalan. Kalau tidak salah, saya harus membayar sekitar 100 ribu rupiah. Karena kebetulan Dedi, sang fisioterapis, adalah teman dari Alan, saya meminta waktu cukup lama untuk bertanya perihal persentase kemungkinan pulih wajah saya kembali seperti sedia kala.

"Fisioterapi tidak bisa menjamin, Pak. Soalnya kasus bapak ini baru kali ini saya temui. Biasanya kami di sini menangani terapi pada orang-orang yang terkena stroke berat yang lumpuh sebelah, wajah mencong, sulit berbicara, salah satu tangan tidak bisa berfungsi dengan baik, begitu juga dengan salah satu kaki.

"Yang diserang adalah saraf motorik dan sensorik. Sedangkan bapak kan saraf sensorik wajah sisi kiri saja yang terkena.

"Menurut saya, sembuh total kemungkinan tidak bisa dicapai, tapi kemungkinan bisa mengurangi rasa 'tebal' di wajah sebelah kiri bapak. Merangsang saraf sensorik Anda berfungsi kembali.

"Seperti bapak tua yang ada di sebelah Anda tadi. Beliau sudah menjalani terapi di klinik kami selama kurang lebih satu tahun. Hasilnya, beliau sudah lumayan lancar berjalan, meskipun terkadang masih perlu menggunakan tongkat; tangan kanan beliau sudah lumayan bisa digerakkan untuk menulis, walaupun belum sebaik sebelumnya; dan bicara sudah agak lebih lancar.

"Di awal sekali, sebelum terapi, beliau tidak mampu berjalan. Harus menggunakan kursi roda. Tangan kanan tidak bisa digunakan, bahkan untuk menyendok makanan ke mulut sekalipun. Beliau juga tidak bisa bicara dengan jelas dan lancar," pungkas Dedi.

"Jadi tidak ada jaminan sembuh total dari kelumpuhan saraf sensorik ini setelah menjalani terapi, Mas?" tanya saya, memastikan.

"Iya, Pak. Fisioterapi tidak bisa menjamin, namun terapi bisa memberikan perbaikan meskipun tidak bisa dibilang menyembuhkan. Kalau bapak mau tetap diterapi, kami akan selalu siap membantu, tapi kami tidak bisa menjamin kesembuhan saraf sensorik bapak pulih seperti semula."

Sejak itu, saya memutuskan tidak lagi menjalani fisioterapi. Selain tidak ada jaminan kepastian kesembuhan saraf sensorik, nominal biaya terapi per satu kali, menurut saya, tidak bisa dibilang murah.

Disabilitas "Two-Face"

Disabilitas "Two-Face", dua sisi wajah yang berbeda seperti salah satu musuh Batman, harus saya jalani.

Tentu saja, wajah saya tidak berubah menjadi menakutkan. Saya juga tidak berubah menjadi jahat dan aneh seperti sosok Two-Face di film Batman. Karakter tidak berubah. Sifat masih tetap sama. Namun, ada berbagai kondisi yang harus saya hadapi pasca kecelakaan, tiga di antaranya adalah:

1. Pusing seperti migrain

Hal kedua selain rasa "tebal" di wajah sebelah kiri adalah rasa pusing seperti migrain yang sesekali menyerang, timbul nyeri kepala sebelah kiri.

Saya tidak pernah menderita hal semacam ini sebelumnya. Tentu saja, menderita pusing seperti migrain ini membuat saya terganggu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

2. Cepat lelah

Sebelum menderita kelumpuhan saraf sensorik di sisi wajah kiri, saya rajin berolahraga dan kegiatan berolahraga tetap saya lanjutkan setelahnya.

Namun memang ada perubahan yang sangat mencolok. Saya menjadi cepat lelah. Stamina melorot dengan tajam meskipun melakukan kegiatan yang dulu sangat tidak menguras tenaga, tapi setelah menderita "two-face", malah jadi terasa berat.

3. Susah fokus dalam berpikir

Fokus. Satu kata ini yang susah saya lakukan setelah menyandang disabilitas "two-face".

Konsentrasi yang sebelumnya tidak menjadi masalah, setelahnya menjadi masalah besar, karena susah berkonsentrasi mengerjakan sesuatu hal.

Butuh tenaga ekstra menjaga konsentrasi tetap prima sembari menekan pusing kepala sebelah yang mendera.

Bagaimana saya menghadapi disabilitas "two-face" dalam diri?

"Berteman" dengan "two-face". Itulah yang terpaksa saya lakukan, karena rasa "tebal" ini "membandel", nempel terus dan tidak lepas-lepas.

Saya menghadapi disabilitas "two-face" ini dengan tiga cara yang ampuh bagi saya.

1. Tetap berpikir positif

Dulu ada pikiran kalau saya adalah orang yang paling malang di dunia. Saya pernah berpikir begitu. Mendapatkan kelumpuhan saraf sensorik di sisi kiri wajah bagaikan kiamat.

Untungnya, kebiasaan membaca kitab suci dan buku biografi mencelikkan mata saya kalau ada orang-orang yang mengalami berbagai kesukaran yang melebihi apa yang saya alami.

Oleh sebab itu, saya menjaga pikiran tetap positif dengan membaca kitab suci, buku-buku biografi, dan menjauhkan diri dari hal-hal negatif yang berada di sekitar.

Saya berhenti mengasihani diri sendiri dan juga berhenti membandingkan diri dengan orang lain, karena belum tentu orang lain yang kelihatan senang di penampakan juga bahagia di kehidupan nyata.

2. Menjaga kesehatan dengan berolahraga

Olahraga sudah terbukti menjaga kesehatan saya tetap prima sebelum mendapat disabilitas "two-face. Tentu saja olahraga tetap akan menjaga kesehatan saya setelah "two-face" menetap di wajah.

Dan memang terbukti kalau pusing sebelah yang sebelumnya mengganggu sudah tidak terlalu mengganggu lagi, karena efek dari olahraga lari yang saya lakukan dengan rutin.

3. Tetap aktif menulis dan bermain gitar demi mencegah penurunan daya otak

Saya tidak tahu apa efek negatif dari "two-face" ini kelak. Apakah karena ini, akan ada penyakit susulan yang timbul ataukah hidup saya akan berakhir dengan singkat, semua itu tidak menjadi persoalan bagi saya.

Yang jelas, saya berusaha menjaga otak saya tetap baik dengan melakukan berbagai kegiatan yang saya sukai dan bermanfaat.

Menulis adalah hobi saya yang dulu terkadang seperti yoyo. Naik-turun. Tapi saya terus melatih diri menulis, supaya otak saya tetap terasah dengan baik dan mencegah penuaan dini.

Bermain gitar juga saya lakukan. Selagi jari-jari tangan masih bisa saya gerakkan dengan leluasa, saya akan bermain gitar selagi masih dapat melakukannya.

Kita semua mempunyai "disabilitas"

Tak pelak, kita semua mempunyai "disabilitas". Saya mempunyai disabilitas "two-face". Saya tidak tahu apa disabilitas yang Anda punya. Apa pun itu, tetap tegar. Percaya. Tuhan punya rencana yang indah bagi setiap kita.

Disabilitas "two-face" ini selalu mengingatkan saya kalau saya cuma manusia biasa. "Two-face" ini adalah tanda, dan suatu waktu saya akan menghadap Sang Pencipta.

Bersyukur. Itu yang selalu saya ucapkan setiap pagi, mengawali hari. Tuhan telah memberikan kesempatan bagi saya untuk hidup lagi di hari yang baru.

Disabilitas "two-face"? Dibandingkan berkat Tuhan yang melimpah, rasa "tebal" di wajah ini tidak ada apa-apanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun