"Tidak ada yang retak. Semua baik," katanya singkat.
Sayangnya, sang dokter tidak mengatakan apa penyebab rasa tebal di wajah saya. Sampai pada suatu saat, seorang teman, sebut saja Alan, mengajak saya untuk menjalani terapi di salah satu klinik di Samarinda.
"Fisioterapi. Banyak orang yang terkena stroke agak mendingan setelah menjalani terapi lewat fisioterapi," kata Alan, memberi saya dorongan bahwa cara ini mungkin bisa membantu, "Apa yang kau alami seperti orang yang terkena stroke."
Saya pikir, "Kenapa tidak?" Siapa tahu lewat fisioterapi, saya bisa sembuh dari rasa "tebal" di wajah kiri ini.
Pertama sekali, kalau tidak salah ingat dari segi urutan, saya mendapat terapi "listrik" dulu, baru kemudian wajah saya disinar dengan cahaya "panas".
Terapi "listrik" di sini bukan berarti saya disetrum dengan tegangan listrik yang tinggi, tapi dengan tegangan yang masih mampu dihadapi oleh bagian wajah kiri yang "tebal" tadi.
"Anda bisa rasakan perbedaannya," kata Dedi (bukan nama sebenarnya), sang fisioterapis sewaktu meletakkan batang logam seperti pulpen panjang berujung tumpul (kalau tidak salah ingat) di bagian wajah kiri, lalu bagian wajah sebelah kanan.
Di bagian wajah sebelah kiri, listrik bagaikan sekumpulan semut hitam kecil yang menggaruk kulit. Tapi sewaktu pulpen berpindah tempat ke sisi wajah sebelah kanan yang normal, listrik terasa menggelora seperti gerombolan semut merah yang menggila!
"Terapi listrik ini untuk memancing indera saraf sensorik di wajah sebelah kiri bapak supaya bisa membaik," kata Dedi.
Saya lupa pastinya berapa lama saya menjalani terapi listrik nan istimewa ini. Setelah itu, saya menjalani terapi sinar (mungkin inframerah. Sudah lupa, karena 20 tahun yang lalu).
Mungkin sekitar satu jam terapi itu berjalan. Kalau tidak salah, saya harus membayar sekitar 100 ribu rupiah. Karena kebetulan Dedi, sang fisioterapis, adalah teman dari Alan, saya meminta waktu cukup lama untuk bertanya perihal persentase kemungkinan pulih wajah saya kembali seperti sedia kala.