Oleh karena itu, guru perlu menganalisis tugas atau PR yang diberikan tidak memberatkan keuangan keluarga peserta didik, menimbang untuk membeli kuota internet demi lancarnya PJJ saja sudah susahnya setengah mati bagi orang tua untuk memenuhi, apalagi ditambah kepusingan dengan dana tambahan demi membeli bahan-bahan guna mengerjakan PR putra-putri.
Untuk wawancara sendiri, bisa dibilang tidak perlu dana lebih, karena cukup bermodalkan smartphone yang peserta didik miliki untuk merekam dan menulis laporan di atas kertas biasa.
3. Apakah membahayakan peserta didik atau tidak?
Inilah yang menjadi persoalan terbesar sehingga tulisan ini dibuat.
Sebagai guru, seharusnya Bu Yuli bisa melihat secara jeli bahwa mewawancarai orang asing, apalagi di masa pandemi saat ini, sangatlah berbahaya.
Kenapa berbahaya?
Pertama, Orang tersebut mungkin timbul niat tidak baik terhadap peserta didik
Bukan profesi tukang bakso, tukang bubur, tukang sate, dan lain-lain yang menjadi masalah, tapi niat orang-orang tersebut.
Ada tukang bakso, tukang bubur, tukang sate yang baik; tapi ada juga yang tidak baik, apalagi kalau mereka diperhadapkan dengan kesulitan ekonomi karena berkurangnya omzet penjualan saat pandemi dan harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Seperti Hendra. Seandainya Hendra dan teman-temannya yang berstatus anak tunggal semata wayang, di saat siang mewawancarai seorang tukang bakso sebagai contoh, dan tidak ada orang dewasa semisal paman, bibi, kakak, atau asisten rumah tangga (ART), siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak itu akan aman sewaktu melakukan wawancara?
Kedua, Bisa saja sewaktu mewawancarai, protokol kesehatan tidak dipenuhiÂ
Siapa yang bisa menjamin anak dan penjual makanan keliling tadi menjalankan protokol kesehatan dengan memakai masker dan menjaga jarak aman?