“Nilai bahasa Inggris saya di Rapor Tengah Semester tidak menggembirakan, Pak. Cuma 67. Dapat D. Nilai KKM-nya 75. Papi dan Mami marah ke saya…”
Sebagai guru les Wanda (bukan nama sebenarnya), saya cuma bisa tersenyum.
Kenapa?
Karena saya baru mengajar les bahasa Inggris ke Wanda belum ada dua bulan. Dengan pertemuan sebanyak dua kali seminggu, yang berarti delapan pertemuan dalam sebulan, tentu saja saya tidak bisa berbuat banyak, mengingat keberhasilan peserta didik tidak tergantung sepenuhnya pada guru les, tapi juga guru di sekolah, orang tua murid, lingkungan, dan tentu saja, kemauan kuat peserta didik itu sendiri.
Meskipun demikian, saya juga tidak cuci tangan begitu saja melihat kegagalan Wanda dalam menuntaskan atau harapannya, melampaui nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Saya terus berupaya, merancang dan mengaplikasikan materi ajar yang kiranya bisa meningkatkan kompetensinya dalam berbahasa Inggris.
Namun, saya jadi bertanya-tanya dalam hati setelah pernyataan mengejutkan Wanda pada hari Jumat, 30 Oktober 2020. Saya melihat ada perbedaan tingkat kompetensi siswa-siswi SMP dan SMA dulu dibandingkan dengan sekarang.
Saya, yang merupakan lulusan SMA tahun 1990-an, membandingkannya dengan lulusan SMA (atau yang mau lulus) sekarang, melihatnya dari sudut pandang kompetensi dan materi.
Tentu saja, saya tak mau berkomentar dalam segi kompetensi peserta didik saat ini, karena beda zaman, beda juga permasalahannya, terutama yang menyangkut teknologi dan sarana belajar mengajar. Dalam hal ini, saya ingin menitikberatkan pada materi mata pelajaran (mapel) bahasa Inggris dulu dan sekarang.
Kurikulum berganti berkali-kali, namun saya melihat ada perbedaan materi mapel bahasa Inggris di tahun 1990-an dengan materi di tahun 2000-an ke atas.
Ini murni penilaian saya secara subjektif, karena berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya sebagai guru bahasa Inggris selama kurang lebih 20 tahun.
Dan juga hanya berfokus di SMP dan SMA, menimbang sampai sekarang pun mapel bahasa Inggris di SD belum menjadi mapel “wajib”, dan juga sama kondisinya di tahun 1990-an, jadi itulah sebabnya tulisan ini lebih menitikberatkan pada uji materi SMP dan SMA.
Uji materi akan membahas dari 4 (empat) language skills atau keterampilan bahasa, yaitu :
- Listening Comprehension (Pemahaman Mendengar)
- Speaking Ability (Kemampuan Berbicara)
- Reading Comprehension (Pemahaman Membaca)
- Writing Ability (Kemampuan Menulis)
“Drama Adu Penalti” dimulai. Siapakah yang bakal menang, Materi mapel bahasa Inggris Dulu atau Sekarang?
Ayo kita saksikan bersama!
Dulu (Tahun 1990-an)
Sebenarnya sebelum tahun 1990 juga kurang lebih sama dengan tahun 1990-an ke atas, semasa saya berstatus siswa SMP dan SMA.
Berikut kondisi pandangan mata semasa masih berseragam putih biru dan putih abu-abu :
1. Listening → Peserta didik tidak mempunyai “banyak” kesempatan untuk mendengarkan penutur asli bahasa Inggris
Jangankan penutur asli, rekaman suara dari penutur asli bahasa Inggris pun tidak pernah terdengar semasa saya bersekolah dulu di SMP dan SMA.
Secara pribadi, saya tidak bisa menyalahkan keadaan waktu itu, karena saat itu internet belum ada. Compact Disc (CD) saja belum muncul pada tahun-tahun tersebut. Yang ada hanya kaset dengan pita yang keseringan diputar mengakibatkan kusut tak terkira.
Kebanyakan guru bahasa Inggris yang mengajar kami juga tidak banyak berbicara dalam bahasa Inggris. Saya pikir juga disebabkan karena kesibukan dalam membahas materi pelajaran untuk persiapan ujian.
Wisatawan mancanegara juga tidak banyak, karena kota Balikpapan, waktu saya bersekolah dulu, di tahun 1990-an lebih terkenal sebagai "kota minyak". Objek wisata belum banyak seperti di tahun 2000-an ke atas. Automatis, tidak ada contoh bule yang bisa bicara di depan kelas.
2. Speaking → Peserta didik tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berlatih di dalam proses belajar mengajar
Dikarenakan jumlah murid yang berkisar antara 30 sampai 40 siswa-siswi dan metode mengajar waktu dulu kebanyakan berkutat pada menulis saja, mengerjakan soal.
Waktu saya berstatus siswa SMP dan SMA, jumlah peserta didik di dalam satu kelas bisa berjumlah 40 orang lebih. Dengan durasi belajar 90 menit untuk satu pertemuan, kisarannya satu peserta didik mempunyai kesempatan bicara dua menit.
Bisa juga kalau mempraktikkan role play atau bermain peran dengan teman sebangku, atau melakukan class survey, seperti yang pernah saya lakukan dulu waktu mengajar di SD.
Sayangnya, waktu untuk speaking bisa dikatakan minim saat itu, cuma mengulangi apa yang dikatakan guru.
3. Reading → Ada porsi membaca teks, tapi hanya pada saat mendekati ulangan semester saja
Sekitar 80 persen pertemuan di satu semester lebih banyak menulis yang berhubungan dengan grammar (tata bahasa).
Membaca (Reading) kurang banyak mendapat porsi yang memadai dalam proses belajar mengajar.
4. Writing → Menulis dalam hal ini mengerjakan soal menerjemahkan, karena guru menggunakan Grammar Translation Method
Dalam hal ini, peserta didik di era saya dulu, tahun 1990-an, lebih banyak menerjemahkan kalimat dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan juga sebaliknya, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Imbasnya adalah kemampuan peserta didik dalam hal grammar bisa dibilang mumpuni. Kosakata juga bertambah karena harus menghafal banyak kata baru dalam bahasa Inggris.
Sayangnya, peserta didik kurang mendapat pelatihan lebih lanjut dalam bidang menulis kreatif, seperti puisi, cerpen, dan lain sebagainya.
Sekarang (Tahun 2000-an)
Nah, setelah sebelumnya kita sudah membahas tentang empat language skills dari materi mapel bahasa Inggris tahun 1990-an, maka sekarang kita akan membahas materi mapel bahasa Inggris tahun 2000-an.
Kita mulai saja.
1. Listening → Nyaris tidak ada materi ajar yang berkaitan dengan listening comprehension
Sebetulnya, saya melihat ada beberapa segmen dalam buku-buku pelajaran murid-murid les saya yang membahas tentang pembelajaran listening.
Sayangnya, kebanyakan murid saya mengatakan bahwa mayoritas guru bahasa Inggris mereka melewatkan materi tersebut.
Ada laboratorium bahasa, tapi jarang dipakai, malah ada yang tidak pernah digunakan sama sekali, kecuali dipakai saat UN saja. Begitu penuturan dari kebanyakan murid les saya.
2. Speaking → Mendapat porsi sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada, karena terlalu banyak berkutat dengan drill, mengerjakan soal UN
Sudah bukan rahasia lagi kalau UN menjadi momok, bukan hanya bagi peserta didik, tapi juga bagi guru dan sekolah.
Bagaimana seandainya kalau ada peserta didik yang tidak lulus UN? Bagaimana dengan peringkat dan nama baik sekolah jika nilai rata-rata UN murid jeblok?
Tak heran, proses belajar mengajar lebih dititikberatkan pada drill, mengerjakan soal yang berhubungan dengan UN, biarpun bukan di kelas sembilan SMP dan dua belas SMA.
3. Reading → Mendapat porsi terbesar, karena soal-soal UN hampir 90 persen memuat teks bacaan dan pertanyaan yang berhubungan dengan teks-teks tersebut
Tak bisa disangkal kalau proses belajar mengajar diisi dengan membahas tentang soal-soal UN yang "mendewakan" pemahaman membaca (reading comprehension).
Apakah peserta didik memahami yang mereka baca? Bicara masalah paham, saya menyimpulkan sebagai "Tidak", karena kalau saya menanyakan apa yang menjadi ide utama dari teks-teks tersebut, kebanyakan murid les tidak bisa menyebutkan. "Banyak kata-kata yang tidak tahu artinya, Pak," begitu kebanyakan mereka beralasan atas ketidakmampuan mereka dalam menyatakan ide utama teks bacaan.
4. Writing → Kurang mendapat perhatian guru dalam proses belajar mengajar
Saya bisa mengatakan kalau peserta didik tidak mendapat “kesempatan” untuk menulis berbagai teks yang sebenarnya harus mereka tulis sesuai materi ajar.
Selain itu, peserta didik tidak mendapat pengetahuan perihal grammar yang menjadi modal dalam menulis. Imbasnya: kebanyakan peserta didik tidak mempunyai kemampuan menulis dalam bahasa Inggris.
Bagaimana hasil duel keduanya?
Kalau diibaratkan drama adu penalti di sepakbola, maka hasilnya, menurut saya sesuai dengan pemaparan di atas, adalah Draw, 1 - 1, karena Dulu lebih berfokus pada Writing Ability, sedangkan Sekarang pada Reading Comprehension.
Masukan untuk Kurikulum Darurat dan ke depannya
Izinkan saya memberikan masukan untuk kurikulum darurat yang mungkin sedang diimplementasikan saat ini dan untuk pengembangan kurikulum yang lebih baik lagi ke depannya.
Ada 3 (tiga) masukan :
1. Perbanyak perihal kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris di kurikulum dan dalam proses belajar mengajar secara nyata
Ibarat mendengar adalah input, maka berbicara adalah output, hasilnya. Bagaimana bisa mengatakan piawai dalam bahasa Inggris kalau tidak bisa berbicara dalam bahasa tersebut?
Praktik berbicara dalam bahasa Inggris harus mendapat durasi yang banyak demi tercapainya English Speaking Ability yang mumpuni.
2. Meningkatkan porsi kemampuan menulis dalam bahasa Inggris di kurikulum dan dalam proses belajar mengajar secara nyata
Membaca penting, tapi menulis juga sama pentingnya. Sama halnya dengan listening dan speaking yang bagaikan dua sejoli tak terpisahkan, begitu juga dengan reading dan writing.
Reading adalah input, masukan ke dalam otak dengan berbagai kosakata beserta dengan pemahamannya; sedangkan Writing adalah output, keluaran dari berbagai kata-kata yang didapat dari aktivitas membaca.
Tidak cukup hanya ability dalam speaking, tapi kemampuan menulis dalam bahasa Inggris sangatlah penting, khususnya dalam dunia kerja yang menuntut syarat active in spoken and written.
Jadi peserta didik harus dipersiapkan sejak dini supaya bisa berbahasa Inggris dengan baik, secara lisan maupun tulisan, supaya dapat bersaing di dunia Internasional.
3. Berikan pelatihan kepada para guru bahasa Inggris secara berkelanjutan; dan mengevaluasi kinerja serta kompetensi mereka secara rutin
Meskipun kondisi dalam masa pandemi covid-19, tidak menjadi penghalang untuk memberikan pelatihan kepada para guru. Malah suatu keharusan menimbang para guru perlu mengetahui tips dan trik mengajar di masa sukar sekarang ini.
Selain itu, kepala sekolah dan pengawas tetap harus memantau kinerja dan kompetensi guru supaya tetap terjaga semangat membagikan ilmu demi mencerdaskan anak bangsa.
* * *
Sekali lagi, tulisan ini sifatnya subjektif dari pengalaman dan pengamatan saya sebagai guru bahasa Inggris selama 20 tahun lebih. Kiranya bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk merancang kurikulum mapel bahasa Inggris yang juga mendukung praktik, bukan sekadar teori saja.
Semoga bermanfaat.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H