Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wahai Para Perempuan, Hati-hati dalam Memilih Calon Suami!

13 Agustus 2020   22:15 Diperbarui: 13 Agustus 2020   22:10 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Kompas.com/Romanno

"Nyesal aku pilih dia!"

Perkataan itu keluar dari mulut Dina (bukan nama sebenarnya), seorang teman yang mengeluhkan tentang kelakuan suaminya.

Dina jengkel dengan suaminya yang ternyata "cerewet" perihal makan. 

"Tidak bisa makan seafood-lah, gak suka ini-lah, gak mau itu-lah. Dia terkadang makan masakanku, tapi seperti terpaksa. Dimakan, tapi masih tersisa banyak. Terpaksa aku yang habiskan," keluh Dina.

Namun, yang membuat Dina tambah menyesal memilih Ronald (nama samaran) sebagai suami adalah ternyata sang suami selingkuh dengan perempuan lain, bahkan dari perselingkuhannya tersebut, "terbitlah" anak.

"Apa sih kurangnya diriku? Dulu, aku menerima dia apa adanya. Meskipun dia cuma mahasiswa dan belum bekerja. Aku membantu dia. Membiayai kuliahnya. Bahkan waktu dia ingin melanjutkan ke S-2, aku bantu dengan dana. 

"Apakah karena aku tak mungkin memberikan anak karena sudah berusia lanjut, sehingga dia berpaling kepada wanita lain untuk mendapatkan keturunan?..."

Sedih mendengar kisah seperti kasus Dina ini. Ibarat kata, habis manis, sepah dibuang. Apa yang sudah diperbuat Dina dibalas Ronald dengan tak sepatutnya. Air susu dibalas dengan air tuba.

Pikir matang-matang sebelum menikah

Sebagai guru yang sudah bertahun-tahun mengajar, saya tidak asing lagi dengan pengalaman yang diterima Dina. Ada beberapa peserta didik saya yang berasal dari keluarga broken home. Ayah dan ibu bercerai.

Alasannya? Macam-macam.

Ada yang karena ketidaksesuaian paham. Ada juga yang karena masalah finansial. Ada lagi yang disebabkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Masih banyak lagi alasan-alasan yang lain.

Akibatnya, anak menjadi korban. Ikut ayah atau ibu. Itu pilihan yang diputuskan di pengadilan. Anak terpaksa hanya bisa menerima nasibnya.

Oleh karena keprihatinan melihat Dina dan para orangtua murid yang pernah mengalami "penyesalan" karena merasa salah memilih suami, izinkan saya untuk memberikan masukan pada Anda, para perempuan, yang mungkin membaca tulisan ini.

Saya tidak bermaksud menggurui Anda. Tujuan saya dalam tulisan ini adalah sekadar memberikan masukan, saran, khususnya bagi Anda, perempuan yang belum menikah, supaya berpikir secara matang sebelum memutuskan menikah dengan pilihan hati.

Ada tiga hal yang harus Anda lakukan sebelum memutuskan untuk menikah.

Pertama, Ketahui latar belakang calon suami dengan baik

Anda harus mengetahui dengan baik latar belakang calon suami sebelum janur kuning melambai.

Anda perlu tahu tentang keluarganya, hobinya, pekerjaan, pola makan, dan lain sebagainya.

Mungkin Anda bertanya, "Kok detail banget?"

Anda perlu mengetahui selengkap mungkin hal-hal yang berhubungan dengan calon pasangan hidup Anda, karena sekali Anda menikah, seumur hidup Anda akan tinggal di bawah satu atap dengan dia. Anda perlu mengenalnya dengan baik. Untuk itu, Anda perlu melakukan pendekatan pada anggota keluarga dari pihak calon suami untuk mengetahui selengkap mungkin segala hal tentang doi.

Tentu saja, jangan mengadopsi budaya barat mengenai "tinggal bersama sebelum menikah" yang alasannya adalah untuk mengenal lebih dekat satu sama lain. Jangan lakukan tindakan "tinggal bersama sebelum menikah".

Jangan!

Selain bertentangan dengan budaya timur, juga bertentangan dengan ajaran agama tentang moralitas.

Tanyakan pada calon kakak atau adik ipar atau mertua tentang kebiasaan, pola makan doi, dan lain sebagainya. 

Mungkin Anda berpikir lagi, "Ah, nanti dikira kepo, pengin tahu."

Lebih baik Anda tahu kalau calon suami Anda tidak bisa makan seafood sebelum menikah daripada waktu Anda sudah menikah dengannya, Anda baru tahu kalau suami tidak bisa makan seafood plus tidak bisa makan yang lain-lain, dan setiap harinya hanya bisa makan tempe dan tahu saja!

Anda juga bisa menanyakan ke teman-teman kuliah atau rekan-rekan kerja doi. Biasanya mereka lebih objektif dalam menilai karakter doi, khususnya teman-teman yang tidak begitu akrab dengan doi. 

Analisa berbagai info tersebut, apakah kebiasaan, pola makan, karakter, sifat, dan lain-lain dari sang doi sesuai dengan kebutuhan Anda akan suami yang ideal atau tidak.

Kedua, Telusuri motivasi sang doi yang sebenarnya sebelum menikah

Kejomplangan finansial mengambil porsi terbesar dari retaknya hubungan suami-istri, baik itu dari segi pemasukan suami yang kurang memadai; atau pendapatan istri yang lebih "superior" dibanding suami, dan suami merasa diri tak punya power, tak punya wibawa di rumah.

Selama 20 tahun lebih berprofesi sebagai guru, saya mendapati masalah finansiallah yang menjadi pemicu perceraian kebanyakan dari orangtua atau wali murid.

Saya bisa mengetahuinya, karena saat saya meminta beberapa orangtua murid untuk datang ke sekolah, kebanyakan anak yang bermasalah itu adalah dari keluarga broken home dan kebanyakan masalahnya adalah faktor finansial. Sangat disayangkan, tapi itulah kenyataannya.

Dalam kasus Dina di awal tulisan ini, sebenarnya persis seperti menonton kebanyakan sinetron Indonesia yang ide ceritanya "itu-itu saja". Seorang pria miskin menikah dengan wanita kaya, dengan tujuan meraih kekayaan sang wanita setelah menikah, dengan membalik nama semua akta tanah dan kepemilikan rumah beserta kendaraan bermotor yang dipunyai.

Setelah dikuasai semua harta milik si istri, sang suami 'sengaja' berselingkuh dengan wanita lain dan mempunyai anak dari WIL tersebut, dan diperkuat dengan kondisi istri yang tidak memungkinkan untuk hamil atau punya anak karena usia tua, dan kelanjutan cerita sudah bisa ditebak.

Cerai.

Atau yang lebih parah, cerai mati yang dipilih suami, bukan cerai hidup, karena suami juga "tergiur" oleh asuransi jiwa sang istri.

Mudah-mudahan "kisah sinetron" yang ada di atas cuma ada di dalam sinetron saja. Tidak merambah ke kehidupan nyata. Sejauh ini, saya belum pernah mendapati yang seperti di atas.

Untuk mengetahui motivasi menikahi Anda yang sebenarnya dari calon suami, Anda perlu menjalin komunikasi yang baik dengan doi. Tapi Anda perlu hati-hati. Jangan sepenuhnya mempercayai apa yang doi katakan. 

Saya ingat perkataan dari seorang rekan guru yang saya sudah anggap sebagai "suhu" atau mentor, sebut saja Pak Hendra. 

Beliau mengatakan, "Laki-laki itu lemah di mata, sedangkan perempuan itu lemah di telinga. Makanya, kaum pria kebanyakan jatuhnya di pornografi dan seks bebas, sedangkan kaum wanita kebanyakan terjerumus ke dalam rayuan gombal dan bujuk rayu lelaki hidung belang yang belum kelihatan belangnya saat pacaran, saking pintarnya menyembunyikan belang. Setelah menikah, baru terkuak seluruh belang bontengnya.

"Makanya dikatakan cinta itu buta, namun kalau sudah menikah, tidak cukup hanya bermodalkan cinta, tapi juga logika."

Oleh karena itu, Anda harus hati-hati. Apakah calon suami memang tulus mencintai Anda sepenuh hati atau punya motivasi "ada duit di balik batu"? Bagi Anda, wanita karir yang sudah mapan secara ekonomi atau putri dari keluarga berada, Anda harus ekstra waspada pada modus terselubung yang bernama "harta" tersebut.

Anda perlu mengenal lebih dekat sang doi, dari perkataaan dan tindak tanduk kesehariannya. Seperti poin pertama, Anda juga perlu menggali info dari anggota keluarga dan teman doi. 

Yah, tidak apa berlaku seperti 'detektif'. Untuk kebaikan Anda juga. Daripada nanti Anda menyesal seperti Dina dan perempuan-perempuan lainnya.

Ketiga, Jangan terpaksa memilih karena faktor usia sudah tak muda lagi

Ibarat tenggat waktu sudah dekat, akibatnya semua cara dilakukan supaya mencapai tujuan. 

Yang menjadi masalah, ini bukan perihal kerjaan, tapi masalah pasangan hidup. Memilih pasangan hidup tidak boleh gegabah. 

Saya jadi teringat kata-kata dari Pak Heri, seorang rekan guru di SD terdahulu yang sekarang sudah pensiun.

Beliau mengatakan, "Kalau salah memasak sehingga nasi menjadi bubur, menyesalnya cuma satu hari. Besoknya bisa masak nasi yang baru. Kalau salah potong rambut, menyesalnya selama sebulan. Kita harus menunggu rambut tumbuh kembali selama sebulan. Kalau salah memilih calon suami atau istri, menyesalnya seumur hidup. Ya, terpaksa menerima nasib."

Jangan Anda memilih karena terpaksa disebabkan faktor usia sudah tak muda lagi. Karena kalau Anda salah memilih, Anda akan menyesal seumur hidup.

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna

Sekali lagi, saya mohon maaf, jika ada kata-kata saya dalam tulisan ini yang kurang berkenan di hati Anda. Saya hanya bermaksud baik untuk memberikan masukan pada Anda untuk berhati-hati dalam memilih calon suami, karena kalau Anda salah memilih, penyesalan seumur hidup yang akan Anda peroleh.

Hati-hati, sikap waspada yang tetap harus dijaga, supaya hidup jadi bermakna.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda.

Salam Kompasiana.

"Salah memilih pasangan hidup akan menimbulkan penyesalan sepanjang hayat"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun