Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pelajaran Hidup dari Buah Jeruk

3 Mei 2020   12:24 Diperbarui: 4 Mei 2020   18:13 2057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buah jeruk (Dokumentasi Pribadi)

Awal Januari 2020 lalu, seperti biasa saya pergi ke rumah saudara perempuan saya. Kakak perempuan saya sedang sibuk memasak di dapur waktu saya tiba. 

"Tunggu sebentar ya, Ton. Sebentar lagi selesai. Tanggung," kata Mbak Nia (bukan nama sebenarnya). Suara sutil beradu dengan wajan (menurut asumsi saya) di dapur.

"Iya, mbak," jawab saya sembari mendaratkan pantat di sofa. TV menyala, menampilkan berita. Di meja tamu, ada sepiring jeruk yang mengundang selera.
"Oya, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Mbak Nia dari dapur. 

"Sudah," jawab saya singkat.
"Itu, ada jeruk di meja. Makan aja."

"Oya. Makasih, Mbak," jawab saya dengan girang. Memang saya sudah tergoda untuk memakan jeruk yang terhidang. Warna, tampilan, begitu fresh, menyegarkan.

Tapi tidak semua jeruk berpenampilan "menggoda". Ada beberapa jeruk yang "buruk rupa" alias tidak kinclong. Ada bercak-bercak di kulit dan warna juga tidak mengkilap.
"Manis semua itu, Ton," Mbak Nia meyakinkan saya. 

Saya mengambil jeruk yang berpenampilan "kurang menawan". Rasa? Ternyata manis sekali. Setelah habis saya makan, saya mengambil satu lagi. Kali ini saya mengambil yang penampakannya mulus dan bersinar. Ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Jeruk yang berpenampilan "oke" ternyata kecut. Asam. 

Saya terpaksa menghabiskan jeruk yang "menipu" tadi dengan cepat. "Sayang. Makanan jangan dibuang," pikir saya dalam hati. Setelah Mbak Nia selesai memasak, saya bicara padanya tentang jeruk-jeruk tersebut. 

"Kukira semua jeruk yang bagus penampakannya rasanya manis. Ternyata asam," ujarku, memberi penilaian.
"Ah, masa? Aku dapat yang manis. Coba ambil yang bagus lagi. Makan lagi," kata Mbak Nia.
Saya pun mengambil satu lagi jeruk yang berpenampilan baik. Saya mengupas dan memakannya. 

Rasanya?
Manis. 

Pelajaran yang bisa dipetik
Ternyata, pelajaran hidup bisa disimpulkan dari benda mati sekalipun. Jeruk mudah ditemukan dalam keseharian. Dari jeruk, ada pelajaran yang bisa dipetik.

Menurut pemandangan saya, ada tiga pelajaran hidup yang bisa ditarik. 

Pelajaran Hidup #1 - Rupa bisa menipu

Seperti halnya tertipu mengira jeruk "buruk rupa" pasti masam, padahal belum tentu seperti itu, begitu juga di dalam menilai karakter seseorang. 

Jangan terpesona, terbuai dengan paras rupawan dan untaian kata yang memikat, karena kita tidak tahu apa isi hati orang tersebut. 

Waspadalah! Mungkin Anda pernah mendengar kata ini di salah satu program TV swasta. 

Ya, waspada. Jangan mudah percaya, meskipun itu saudara kita sendiri. Apalagi kalau menyangkut soal uang. 

"Karena uang itu tidak mengenal kata saudara atau keluarga," begitu kata Pak Robert (bukan nama sebenarnya), salah seorang teman yang juga berprofesi sebagai guru. 

Pelajaran Hidup #2 - Jangan selalu mengartikan buruk rupa sama dengan buruk perilakunya 

Dari jeruk tadi terbukti kalau penampilan yang tidak elok bukan berari dalamnya juga tidak elok. Setelah merasakan sang jeruk "buruk rupa", baru saya tahu. Ternyata rasanya manis. 

Kalau bicara soal pakaian yang buruk atau rupa yang tidak menawan, itu semua cuma "kulit luar". Untuk mengetahui isi hati seseorang, kualitas karakter seseorang, kita harus "mengupas kulit" dan menyelami kepribadian mereka, berkenalan dengan orang tersebut, bercakap-cakap dengannya, berusaha untuk mengenalnya lebih lagi. 

Setelah bergaul cukup lama, barulah bisa menilai perilaku seseorang. Tak bisa hanya berdasarkan pandangan pertama semata.

Pelajaran Hidup #3 - Jangan selalu menganggap paras rupawan berarti karakter budiman

Wajah rupawan. Paras cantik, ganteng, siapa yang tidak tertarik? 

Wajar kalau tertarik pada paras rupawan seseorang. Tapi ingat satu hal bahwa isi hati terkadang tidak seia sekata dengan paras menawan. 

Seperti halnya jeruk rupawan di awal tulisan ini. Saya mengira manis rasanya. Setelah dikupas dan dimakan, ternyata asam. Dalam kehidupan juga begitu. 

Jangan langsung "terbuai" dengan "kata-kata manis", " sanjungan", dan "pujian". Jangan langsung percaya pada seseorang yang berpenampilan menarik. Apalagi kalau Anda tidak mengenal orang tersebut. Anda harus tetap waspada. Asah kepekaan Anda. 

Bukan berarti harus curiga berlebihan, tapi tetap memelihara sikap siaga dan tidak "menelan mentah-mentah" apa pun yang orang lain katakan. Anda harus menelaah setiap perkataan supaya tidak salah memahami. 

Tidak sekadar membaca
Mudah-mudahan tulisan ini tidak sekadar "numpang lewat". Mudah-mudahan Anda tidak sekadar tahu. Kalau seandainya tulisan ini bermanfaat, sebaiknya Anda juga melakukannya, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Karena, kalau Anda salah dalam menilai seseorang, akibatnya mungkin akan fatal kemudian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun