Nah, anjal yang satu ini berbeda.Â
"Om, boleh nebeng, Om? Saya mau pulang ke Jalan Garuda (bukan nama jalan sebenarnya). Gak ada duit buat pulang, Om."
Waktu itu, saya memakai kaca helm yang tidak tembus pandang. Memang saya biasa menurunkan kaca helm di saat siang untuk melindungi wajah dari sengatan sinar matahari, debu yang beterbangan, dan terkadang pasir atau kerikil yang 'melayang' kalau ada truk-truk besar yang melintas.
Saya menatap anjal itu melalui kaca helm, lalu mengibaskan tangan, tanpa bersuara lewat mulut, menandakan saya tidak bersedia mengantarnya.Â
Di sebelah kiri dari si anjal, tidak terlalu jauh, ada anjal yang lebih besar perawakannya. Gerak-geriknya mencurigakan.Â
Karena saya menolak, si anjal kecil ini beralih ke pengendara sepeda motor di depan saya.Â
Seandainya saya bersedia ....
Mengingat peristiwa itu, saya bersyukur, karena Tuhan masih menyertai, memberikan hikmat. Meskipun belum tentu anjal kecil itu berbohong, namun saya teringat pada postingan beberapa waktu yang lalu di media sosial Facebook dan juga broadcast di Whatsapp tentang modus operandi kejahatan yang melibatkan anjal.Â
Pertama, si anjal memanfaatkan wajah memelasnya, membujuk korban untuk mengantarkannya pulang ke rumah, karena si anjal mengaku tidak punya ongkos pulang untuk membayar angkot.
Kedua, korban bersedia, anjal duduk di boncengan, dan tanpa setahu korban, konco si anjal membuntuti di belakang dengan sepeda motor.Â
Ketiga, konco si anjal menyalip dan menghentikan sepeda motor korban di tempat sepi yang sudah direncanakan. Dengan leluasa, anjal dan konco merebut tas korban yang berisi hp, sejumlah uang, dan lain-lain, kemudian mereka berlalu, meninggalkan korban tanpa mencederai.Â
Itu kemungkinan yang terjadi.Â